Part 11

34 0 0
                                    

Ini ospek kedua. Dan sekali lagi, aku mendapati namaku terdaftar dalam absen Maba yang datang paling akhir

Tuhan... nikmat mana lagi yang engkau dustakan!

Hari ini, semua Maba sedang berjajar rapi dilapangan. Nafasku masih tersengal ketika memasuki barisan. Berusaha mengatur nafas agar tidak ada yang curiga. Syukur-syukur nasibku mujur tidak ketahuan.

Namun sepertinya karena penampilanku yang mencolok ini beberapa panitia ospek yang sedang berjalan-jalan menyadari bau-bau kriminal ketika menatapku. Aku menunduk, membuang nafas panjang-panjang sambil menggumamkan berbagai macam harapan do'a. Tapi harapan itu sirna begitu sebuah suara menunjuku dari depan.

"Lo yang dibelakang! Maju sini!" Perintah bernada tegas itu terdengar menggelegar. Dari seorang lelaki yang berdiri satu-satunya didepan lapangan. Siapa lagi kalau bukan Raka. Siketua BEM sok itu.

Aku melenguh sebentar sebelum menurutinya. Habis sudah riwayatku!

Kenapa aku begitu yakin kalau yang ditunjuknya adalah aku. Itu karena cuma aku satu-satunya yang berdiri dibelakang. Sementara Maba yang lain sudah baris berpasang-pasangan.

"Cukup! Berhenti disitu."

Kakiku reflek berhenti begitu menempati titik dimana puluhan pasang mata dapat menyorotku dengan leluasa. Aku merasakan firasat buruk akan menimpaku tidak lama lagi. Itu juga yang membuat tubuhku tiba-tiba panas dingin. Belum apa-apa saja aku sudah gemetaran, aku juga bisa merasakan peluh membanjiri keningku yang terpapar langsung sang mentari padahal panasnya belum seberapa.

"Lo lagi, lo lagi." Decaknya malas.

Dengan tangan bersidekap, Raka memicingkan mata kepadaku. Dagunya mengedik angkuh.

"Lihat jam sekarang?"

Aku reflek mengangkat tangan. Bukan karena patuh akan perintahnya tapi karena aku sedari tadi memang berniat ingin melihat jam. Hanya saja belum ada kesempatan.

Pukul 08 lewat 5 menit.

Aku memelototi jam tanganku. Sial! Hanya terlambat 5 menit. Padahal seharusnya aku bisa mengikis 5 menit itu seandainya tadi aku berlari dari halte bus.

Sial! Sial!sial! Lagi dan lagi aku hanya mampu memendam umpatan karena tak bisa berbuat banyak selain menyesalkan sesuatu yang sudah terjadi. Ya tuhan... kenapa sih nasibku sesial ini?

"Udah tahu apa kesalahan lo?"

"Tahu kak." Cicitku sambil menunduk. Aku terpaksa memanggilnya dengan embel-embel Kak karena kampus ini menjunjung tinggi sopan santun.

"Sebutin apa?"

"Gue terlambat lagi."

" Good girl. Lo cukup berani mengakui kesalahan ya." Dia tersenyum sinis." Gue suka." Ungkapnya kemudian yang kuyakini sebuah sindiran.

"Tapi gue punya alesan..."

"No!no!no!" Kalimatku terpenggal ketika tangan kanan Raka mengibas dengan angkuh." Gue gak mau tau alesan lo apa? Dan gue juga gak ada niat kasih lo kesempatan buat menjelaskan. Apalagi buat membela diri. Jelas gak akan gue kasih!"

"Hukuman yang kemarin nyatanya gak cukup bikin lo jera ya." Dihelanya nafas begitu dalam, seolah menghadapiku sesuatu yang menguras jiwa, raga dan fikirannya.

" Yang laki-laki aja udah pada insaf, apa kabar sama lo yang kodratnya perempuan." Ujarnya yang berhasil menyentil nuraniku sebagai perempuan. Tapi aku masih tak bergeming, meski hasrat ingin memoles mulut Raka dengan lem sepatu terpatri begitu besar.

" Oh, atau jangan-jangan ini kebiasaan lo pas sekolah ya? Gue gak peduli gimana cara guru dan pengurus-pengurus sekolah lo memprioritaskan lo dan menganggap siswi teladan. Tapi disini gue pastiin skandal yang lo buat gak berlaku sama sekali."

NOTHING IMPOSSIBLE!! Binar Mentari SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang