Bagian 15

31 0 0
                                    

Sore ini aku sedang menunggu bus seperti biasa. Tempat ini tidak ada yang berubah dari hari ke hari, hanya dihinggapi mahasiswa-mahasiswa yang pengiritan macam aku. Yang membedakan hanya satu, kalau kemarin-kemarin cuacanya bersahabat, maka hari ini tidak.

Hujan rintik-rintik menjadi peneman sore ini. Gemercik airnya berhasil mengenai pakaian serta rambutku hingga separuhnya sudah basah.

Kuhembuskan nafas sepanjang-panjangnya. Agak menyesal kenapa tadi tidak pulang cepat maka mungkin aku tidak terjebak hujan. Padahal aku sedang ingin menggulung diri dibalik selimut atau setidaknya melamun sampai kelelahan dan kemudian tidur dengan pulas. Moodku sedang glommy sekali saat ini. Ah, ini semua gara-gara lelaki itu. Fajar yang menyebalkan!

Aku kesal! Sekesal-kesalya sampai rasanya ingin menangis.

Apa aku harus menangis?

Ah, tapi kalau alasannya hanya menangisi lelaki itu, sayang sekali rasanya. Heiii.... bukankah air mata itu berharga?

"Belum pulang?"

Asik melamun, aku dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Belum juga semenit aku membahas soal Fajar kini ia malah menampakan batang hidungnya didepan mataku. Dasar ya, tidak tahu diri sekali orang ini.

Aku mengalihakan pandangan kejalanan, memutus kontak mata diantara aku dan Gilang.

Eh, Gilang atau Fajar ya?

Aku belum terbiasa dengan panggilan barunya.

Awalnya aku berniat pergi, tapi kalau dipikir ulang kelihatannya childish sekali menghindari sesuatu. Lalu aku teringat kata-kata Bening bahwa kenyataan itu harus dihadapi bukan dihindari.

Aku menarik nafas sekali menyiapkan diri. Ok, baiklah.

" Belum." Balasku singkat.

"Gue boleh duduk ya." Ujarnya meminta ijin, tapi ketika aku siap membuka mulut, mengatakan kalau aku tak mengijinkannya. Dia malah sudah mendaratkan bokongnya disisiku.

"Senja...."

Aku diam saja, tidak menoleh meski tahu kalau dia sedang memanggilku.

"Senja.. gue mau minta maaf sama lo."

Aku berdehem." Binar." Koreksiku." "Lo bisa panggil gue Binar mulai sekarang. Likes the other people."

"Tapi gue gak suka nama itu."

Aku mengedik bahu."Terserah. Gue juga gak minta supaya lo suka."

"Senja.... gue----"

"Binar, Fajar! Please lo ngerti gak sih!" Kini kekesalanku sudah berada diujung tanjuk.

Rasa-rasanya kok aneh ya, dulu lelaki ini adalah segalanya bagiku. Membentaknya adalah sebuah kemustahilan tapi sekarang rasanya seperti sebuah keharusan.

Memang benar ya, kalau Tuhan itu maha membolak-balikan hati manusia.

Kembali aku berbicara soal Fajar. Kutatap wajahnya yang menggurat keterkejutan bercampur kecewa. Tapi alih-alih marah Fajar malah tersenyum. Khas dia sekali, kalau dimarahi atau dikecewakan dia akan membalasnya dengan senyuman. Menelan bulat-bulat kemarahannya sendiri.

"Oke.. Binar ya." Gumamnya. kemudian mengangguk sekali lalu  menunduk, menyelami pikirannya dengan menatap objek yang tersemat di jari tengah tangan kiriku.

Aku ikut melirik kearah sana. Oh Ya ampunnn! Ternyata cincin mainan itu yang menjadi objek perhatian Fajar.

Sial! Aku menyesal sekarang, Kenapa tak mendengarkan Bening untuk mengenyahkan cincin ini dijari tengahku. seharusnya aku menyimpannya kemarin-kemarin. atau lebih bagus lagi aku buang saja. Huft! memang ya yang namanya menyesal pasti selalu diakhir. Selepas akibatnya sudah terasa.

NOTHING IMPOSSIBLE!! Binar Mentari SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang