Jakarta, pinggiran.
Kali ini tidak ada gambaran apa yang akan terjadi untuk kedepannya, hidup ini hanya tentang bagaimana berlayar, bertahan, dan berlabuh. Kemana nanti akan pergi, dimana nanti akan tinggal, sampai dimana juga akan berakhir. Tapi, bila melihat keadaan seperti ini – bisa jadi akan berakhir terus begini adanya.
Karena namaku, Samu, anak seorang nelayan yang mengikuti jejak orang tuanya. Kini, anakku lah yang disebut anak nelayan. Penampilanku adalah layaknya seorang nelayan biasa. Rambut kusut diinjak-injak panas. Gigi-ku seperti karang di lautan, sering dihantam angin semalaman, pulang-pulang bau garam. "Asin" kata istri-ku menghibur. Namanya, Dra. Kutemukan ia, tepat di pasir pantai tempat tinggalku.
Dulu, aku tinggal di sebuah pulau antara selat Malaka. Seperti yang kubilang, orang tua-ku adalah orang pesisir, Bapak-ku nelayan dan Mamak-ku yang dagangkan hasil tangkapan. Keluarga-ku dulu jauh dari kata punya mimpi besar, bapak hanya punya dua mimpi kalau bukan cuaca, ya, tentang jenis ikan. Aku ingat betapa lucu-nya Bapak ketika ngigau menyebutkan nama-nama ikan.
Biasanya bapak pergi selama tiga hari dari rumah, itu kalau cuaca sedang bagus dan tangkapan banyak – pernah juga sebulan Bapak melaut. Aku tidak pernah tahu aliran mana yang Bapak ikuti, yang aku tahu Bapak lakukan itu untuk kami agar bisa makan di rumah dengan enak, dan itulah mimpi Mamak; bisa masak enak untuk kami. Pernah dia dapat selebaran menu restoran dari saudaranya yang baru pulang dari kota, disitu ada gambar masakan yang terlihat memang menggoda dan sepertinya akan nikmat di lidah. Makanan-makanan itu punya nama yang aneh-aneh, Mamak pernah menyebutkannya sekali, kalau tidak salah Mamak bilang "Saya mau masak Susik untuk anak-anak saya"
"Itu namanya Sushi" kata saudaranya geli.
Lalu, tanggapan Mamak biasa saja – dia memang tidak bisa membaca. Dan itulah mimpiku; belajar, jadi nomor satu. Bapak juga sering bilang, "Kamu sekolah yang tinggi nak, setidaknya kalau nanti putus di tengah jalan. Kamu bisa jadi nelayan yang lebih pandai dari Bapak". Itulah yang membuat alasan kuat-ku untuk rajin sekolah.
Tahun-tahun berlalu, aku semakin dewasa, Bapak semakin tua dan jarang melaut, Mamak yang juga sama seperti Bapak, hanya saja sekarang sudah lebih pandai membaca karena kuajari selama sekolah dulu. – karena Bapak sudah jarang melaut, kini keluarga kami mengandalkan pendapatan dari hasil jualan di pasar, dan itu bisa dibilang masih cukup untuk hidup beberapa hari ke depan. Hanya saja Bapak selalu berpikir maju, bapak melihat sesuatu itu seperti laut – entah di matamu kosong sekarang, hanya melihat sapu tangan berwarna biru. Tetaplah waspada kanan, kiri, belakang, dan depan. Tidak pernah ada yang tahu, kapan ombak marah, hiu lupa diri atau petir tiba-tiba mampir.
Bapak waspada dengan hidup kami, keluarganya. Di waktu tahun terakhir-ku sekolah di sekolah menengah atas, aku dihadapi sebuah masalah yang lumayan besar untuk ukuran keluarga kami, yaitu uang sekolah. Bapak dan Mamak tidak bisa bayar uang sekolah, karena Bapak sudah jarang melaut. Hasil jualan di pasar-pun hanya cukup untuk makan saja.
Tapi bagi Bapak dan Ibu, itu bukan masalah. Mereka tidak ambil pusing, hal yang cukup besar itu, dikecilkan oleh mereka. Aku, sudah paham akan terjadi seperti ini. Seperti laut, inilah ombak marah yang datang dari belakang dan Bapak juga paham, akan datang nanti bencana serta juga nama-nama ikan setiap ia tidur. Insting laut-ku juga sama seperti Bapak, mungkin karena aku anaknya atau karena aku memang besar di sini. Tapi aku rasa, itu karena keduanya.
Aku putus dari sekolah di tahun terakhir, tidak ada yang kukecewakan, tidak ada wajah murung dari keluarga kami, Bapak dan Mamak seperti biasanya dan aku hanya sedikit gelisah ketika aku harus meninggalkan teman-temanku di sekolah. Serta wanita cantik anak orang kaya itu. Dra.
Entah kenapa Dra bisa jadi istriku sekarang.
Semakin dewasa, aku menemukan sebuah nama untuk keluarga ini – Keluarga Mikil. Ya, aku buat itu iseng saja ketika menulis-nulis di pasir pantai. Terdengar seperti kata Mikir yang diucapkan orang cadel, Keluarga Mikil adalah singkatan dari Keluarga Mimpi Kecil. Mimpi Bapak yang hanya seperti itu, Mamak yang jauh dari kata luar biasa, dan mimpi-ku bisa ditemui di setiap mulut anak-anak yang kehidupannya sama sepertiku.
Tapi, ini yang buat kami berbeda. Bapak yang ahli membuat teori filsafatnya sendiri tentang laut, dengan segala macam bentuk pengandaian dan pemahaman-pemahaman bak seorang filsuf yang menari di tengah laut. Bapak sering berbincang dengan camar, mendengar curahan hati gelombang, tidak jarang duduk 'berdua' dengan angin, sambil nikmati secangkir teh yang sering tercampur asinnya laut.
Mamak-pun sama, sampai sekarang mencoba memasak Sushi untukku, meski ikan bandeng dilapisi daun singkong, sumpit bekas mie ayam dan kecap asin punya tetangga. Setidaknya, aku rasa ini nikmat jauh dari gambar pada selebaran yang dulu saudara Mamak kasih.
Aku, kini dengan tekad belajarku yang lain – dulu aku pernah diajari Bapak berlayar, sering rasanya sebelum terlalu sibuk dengan dunia pendidikan. Sekarang, mimpi kecil-ku masih berjalan, sapu tangan biru itu masih ada di depan mataku yang kosong. Sapu tangan itu seperti memanggilku "Samu.. Samu.. belayarlah" – aku renungkan apa maksudnya kali ini, aku menunggu Bapak pulang sajalah.
Sampai-nya Bapak, langsung kutanyakan tentang hal itu kepada Bapak, sang filsuf laut. Dan jawaban Bapak singkat saja "Samu, ini sudah waktunya. Berlayarlah kemana-pun itu" – masih belum kumengerti tadinya, lama kelamaan kutelan bulat saja perkataan bapak, sekarang malah kuanggap dia sebagai dewa laut. "Mati kau Poseidon, kalah oleh Bapakku" setidaknya aku tahu nama itu waktu belajar sejarah di sekolah, Poseidon sang Dewa laut. Mungkin Bapakku cocok dengan nama itu, Poseipuloh.
Berhari-hari aku berlayar kemanapun itu, seperti kata Bapak. Tiba aku di dermaga reyot nan bising. Pesisirnya tidak sama seperti di rumahku, orang-orang di sini berlayar namun seperti tidak mengerti laut. Apa ini tempat orang-orang bodoh tentang laut? Dan kenapa kotor sekali airnya? Sampai aku tanya ini daerah apa, orang jawabnya – Jakarta Pinggiran.
"Oh, ini Jakarta yang katanya kota paling megah di Indonesia itu?" gumamku. Jangan-jangan disini pabrik selebaran dari restoran yang membuat Mamak jatuh hati dengan Sushi. Masa bodoh dengan itulah, Mamak lebih baik dengan Bandeng dibungkus daun singkong itu saja, sudah nikmat. Disini-lah catatan tentang betapa sang filsuf laut itu benar, yang justru sekarang aku anggap sebagai dewa laut – meskipun aku putus sekolah.
Kelak kamu nanti menjadi nelayan yang lebih pandai dari Bapak. Itu katanya. Hidup-ku, masihlah dengan mimpi kecil; belajar ditambah lagi melaut. Meski dengan status nelayanku, aku tetap lebih baik dari nelayan di sini. Mereka jadikanku guru, padahal aku pendatang. Baru empat belas bulan semenjak aku menulis tulisan ini.
Aku mengajarkan beberapa ilmu dari sekolahku dulu, yang sepertinya orang-orang disini juga sulit untuk bersekolah. Kemudian tidak lupa kuajarkan filsafat kelautan buatan Bapak kepada masyarakat di sini. Tentang sapu tangan biru dan segala hal yang kan mengisi kekosongan dari berbagai arah.
Jakarta pinggiran, di sini jugalah tempatku bertemu kembali dengan Dra, wanita kaya yang entah kenapa aku bisa bertemu lagi. Kupikir aku akan berpisah, di sekolahpun aku tidak berani menyapanya. Dia wangi parfum, aku bau matahari dan ikan asin. Setidaknya, sapu tangan biru itu beritahuku, di atas laut, asinnya kan jadi manis bila kau berlabuh di tempat yang tepat. Mungkin, itu maksudnya. Aku bertemu dengan Dra disini.
Dan tentang anakku, dia punya mimpi yang sama denganku – Belajar, tentang apapun.
- 2017
YOU ARE READING
Tukang Ojek dan Kabinetnya
Fiksi UmumIni merupakan kumpulan cerita-cerita pendek yang dimuat penulis pada tahun 2017 sampai 2019, ada 16 cerita yang dimuat di sini dan sebagai cerita pembuka, disambut dengan cerita Tukang Ojek dan Kabinetnya; di dalamnya bercerita tentang bagaimana seo...