"I don't want a luxurious or sparkling birthday gift, his presence by my side is enough to be the most beautiful gift in my life"
•••••
Kafe tersebut nampak lengang pagi itu. Hanya ada beberapa pelanggan yang tengah sarapan ataupun mengerjakan pekerjaan mereka juga beberapa pegawai yang berlalu-lalang mengantar pesanan maupun membersihkan meja.
Di meja paling belakang, dekat jendela besar yang dapat menampilkan suasana di luar kafe, aku duduk disana. Menunggu kekasihku datang dengan senyuman cerahnya bak sinar baskara yang menghias cakrawala.
Kafe ini merupakan kafe yang biasa aku kunjungi bersama kekasihku. Entah untuk sekedar bercengkerama ataupun saling melepas rindu karena kesibukan masing-masing.
Dan meja ini merupakan meja yang biasa kami tempati, kekasihku yang pertama kali mengajakku untuk duduk disini.
Aesthetic, katanya.
Itu karena bohlam kuning yang mereka gunakan, serta hiasan pada dinding yang bernuansa retro juga jendela besar yang amat disukai kekasihku karena ia dapat melihat orang-orang berlalu lalang dengan berbagai ekspresi.
Raut kesal karena pekerjaan, raut bahagia karena hari berjalan sesuai keinginan serta raut jatuh cinta yang terpancar dari pasangan dengan tangan saling bertaut.
Kekasihku memang unik. Aku tak bisa bosan menatap wajah cantiknya yang ia tunjukkan setiap hari. Ingin aku masukkan ia kedalam kantong saku agar tak ada orang yang menatapnya kagum. Namun, ia selalu memukulku karena aku sebut cantik.
Tampan dan manly, bukan cantik! Katanya.
Setelah itu, ia menunjukkan raut wajahnya yang kesal. Aku tak takut, aku malah merasa gemas dengan bibirnya yang mengerucut dan pipinya yang mengembung serta gayanya yang bersedekap dada dengan obsidiannya yang menatapku tajam.
Lonceng yang terpasang pada pintu kafe itu bergemerincing. Menandakan bahwa ada pelanggan yang datang membuka pintu.
Itu kekasihku.
Dengan surai peraknya dan hoodie hitam bertabur titik-titik air yang terbalut apik pada tubuh mungilnya.
Sinar pada kedua manik rubahnya tampak meredup. Wajah cantiknya pun nampak kusam tanpa ekspresi yang biasa terpatri disana.
Ia melangkahkan kakinya dengan gontai untuk memesan sesuatu kemudian ia kembali melangkah menuju kursi yang ada di hadapanku.
Ia duduk disana tanpa berkata sepatah katapun.
Kedua manik legamnya menatap jendela besar itu dengan kosong, seperti tanpa jiwa di dalamnya. Aku mengikuti pandangannya yang terpaku pada rintikan hujan yang berlomba-lomba menjatuhkan dirinya pada buana.
"Injunie"
Ia tetap diam, tak membalas panggilanku. Bahkan berdehem atau bergeming saja tidak, ia terus menatap rinai hujan yang terus-terusan menghantam manusia yang berlalu-lalang.
"Maafkan aku karena sibuk belakangan ini hingga kita tak memiliki waktu untuk berdua"
Tanganku berusaha memegang jemari mungilnya, berharap mengembalikan suasana hatinya yang kelabu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Eyes
FanfictionJaemRen fanfic collection. ©EternalFox23 | February, 2020 [pict cr to the fanartist]