〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
I never expected this day. It appears like a coincidence again when i saw your eyes.
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
Malam itu, Seoul tiba-tiba diguyur rinai hujan. Lumayan lebat, hingga orang-orang pun mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh. Tak terkecuali untuk seseorang dengan surai kebiruannya yang kini agak memudar. Ia melangkahkan kakinya cepat untuk mencari sebuah tempat untuknya berlindung dari hantaman air hujan. Akhirnya ia menemukan kios kecil yang tutup, pemuda itupun menghela nafasnya lega dan segera meneduhkan dirinya disana.
Tangan kekarnya menepuk-nepuk bahu tegapnya yang basah kemudian mengacak surainya yang lepek.
Ah rambutnya yang biru.
Ia tersenyum tipis mengingat warna rambut yang menjadi kebanggaannya kini mulai menyilam. Bila dipikir kembali, untuk apa ia mempertahankan warna rambut itu?
Sia-sia, seseorang itu tak akan kembali.
Pandangannya terpaku pada angkasa yang mulai pekat dengan awan kelabu. Hujan turun semakin lebat dengan tiba-tiba. Ia membawa telapak tangannya untuk menadah sedikit air hujan, merasa dingin ketika bulir-bulir air itu jatuh dalam genggamannya.
Layaknya rasa yang telah ia kembangkan setiap waktu, berlipat kali lebih deras hingga ia tak mampu untuk membendungnya kembali. Mau itu menunggu hujan reda ataupun menunggu ia kembali, tak ada kemungkinan yang pasti.
Menunggu, ia hanya bisa menunggu tanpa tahu ujung waktunya.
"Renjun, kembalilah..."
Ia meremat butiran air hujan yang membasahi telapak tangannya. Tetesan air itupun merembes darisana hingga membasahi punggung tangan yang terlihat pucat tersebut.
Bukankah sesuatu yang terlalu digenggam pastinya akan terlepas hingga tak tersisa?
"Jaemin-ah?"
Ia mengalihkan pandangannya pada sumber suara. Jujur, ia sempat berharap bahwa yang memanggilnya tadi adalah seorang yang amat dirindukannya. Namun harapannya pupus ketika menjumpai pemuda berkulit agak gelap dengan sebuah payung berwarna cokelat di tangan kanannya dan sebuah paper bag di tangan kirinya.
"Kau belum pulang?"
"Seharusnya aku yang bertanya itu padamu"
Pemuda itupun menutup payungnya dan memilih berdiri di samping Jaemin. Haechan— sahabat si Jilin sejak sekolah menengah itu memang telah menjadi teman Jaemin. Berada di kampus bahkan fakultas yang sama, membuat mereka semakin akrab dari hari ke hari. Apalagi Haechan adalah kekasih Jeno, yang mau tak mau Jaemin harus bertemu pemuda itu berkali-kali ketika ia dan Jeno berkencan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Eyes
FanfictionJaemRen fanfic collection. ©EternalFox23 | February, 2020 [pict cr to the fanartist]