Kita tak pernah mengerti perihal rindu hingga desah waktu mempersilakanku mencicip lagi senyummu di sepasang bangku akur, yang memajang lelap dan doa-doa. tepat disaat kita bersama-sama menuliskan nama masing-masing pada selempar kertas berlipat.
kau ingat lidah bumi yang pernah kita lumuri dengan cokelat panas? kicauan burung di pagi hari yang sering kali mengantarkan kita keluar rumah dan juga kisah yang selalu masak, setiap pagi hingga petang tiba. keabadian itu tak pernah kembali dan tak pernah muncul lagi sejak kepergianmu.
tersisa debur kenangan, semakin hari semakin mengelupas oleh waktu, lalu pergi sembari mengirimkan gerimis untuk membasuh wajahmu. jika semua yang telah pergi tak pernah bisa kembali, lalu untuk apa Tuhan memberikan kita kenangan?
Secangkir Puisi
Yogyakarta, 730 hari sebelum 2020Taburkan bintang ya, Readers..