Memiliki sebutan kembang desa tapi enggak kawin-kawin merupakan adzab atau nikmat?
Bukankah seharusnya gadis cantik itu banyak yang meminang? Aku juga enggak tahu kenapa tak ada lelaki yang meminangku. Padahal aku cantik, berpendidikan tinggi, sopan santunku unggul, pandai memasak, sikap dan sifatku sangat memenuhi syarat untuk dijadikan seorang istri dan menantu idaman.
Tinggalku di desa yang jauh dari perhatian pemerintah, di sini penduduknya banyak yang masih menggunakan cara manual untuk menjalani kehidupan. Membajak sawah menggunakan sapi, misalnya.
Hidup terlalu sederhana sehingga paling pol keluarga kaya di desa ini hanya memiliki satu buah sepeda motor. Terkecuali Pak Camat yang super kaya. Rumahnya gedong, mobilnya satu, sepeda motornya satu, punya toko sembako, dan beliau terkenal sebagai lintah darat.
"Nduk, antarkan makanan ini ke rumah Pak Saleh." Aku mendengar teriakan ibu dari teras rumah. Ahh, bagian paling mendebarkan adalah ketika mengantar rujak cingur pesanan ke rumah Pak Saleh.
Di sana ada sosok pria yang aku kagumi, tetapi entahlah, sepertinya ia sudah memiliki pacar. Aku mengganti pakaianku sebentar, enggak apa-apa kan bila ingin terlihat lebih menawan ketika berkunjung ke rumah Pak Saleh? Siapa tahu bisa bertemu dengan anak sulungnya yang aku idam-idamkan dari dulu.
Berjalan kaki adalah kebiasaan ku sejak kecil, jujur saja aku sangat menikmati tatapan memuja dari para pemuda desa yang diarahkan kepadaku. Mereka terlihat ingin sekali mengajakku berbicara atau sekadar menemaniku berjalan, tetapi aku tak tahu kenapa mereka hanya bisa melihatku dari balik pohon mangga yang lebat buahnya.
Di lain tatapan memuja dari pemuda desa, ada juga tatapan sengit yang diarahkan kepadaku dari para perempuan desa. Iri sudah tentu, tapi ada satu hal yang membuatku geli sehingga mereka begitu membenciku, mereka selalu sibuk membicarakanku dengan judul 'Cantik-cantik tapi enggak laku'. Aku tidak tahu apa yang salah. Kata bapak, para lelaki di desa ini maupun desa seberang sungkan mau melamarku karena statusku yang terlalu tinggi bagi mereka. Padahal aku cuma menjadi guru sekolah menengah pertama di kampung seberang yang terletak di pinggiran kota. Mungkin memang benar, karena pada umumnya para wanita di desa ini hanya bekerja di sawah atau menjadi ibu rumah tangga saja.
Kakiku melepas sandal berwarna merah muda yang tadi ku kenakan, aku mulai menapaki keramik lantai bermotif abstrak ini. Sedikit orang yang rumahnya berlantai keramik, hanya orang-orang yang terbilang sangat mampu. Rata-rata rumah di desaku hanya plesteran dari semen.
Genggaman tanganku mulai mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak kunjung ada sahutan. Aku diam sebentar, hendak memanggil nama Pak Saleh. Sebelum suaraku keluar, pintu terbuka dan menampilkan sosok tinggi tegap berkulit kecoklatan yang terlihat sangat gagah.
Alisnya sangat tebal dan rapih, terdapat bulu-bulu kecil diantaranya seolah kedua alis itu akan menyambung. Sangat tampan. Mendadak lidahku kelu, tak bisa mengeluarkan suara sekalipun itu bisikan.
"Loh, dek Sofiyah, ngapain?" tanyanya yang sukses membuatku hanya menunjukkan kresek yang aku tenteng. "Oalah, bapak pesen rujak cingur ya?" Kulihat bibirnya terseyum ramah, duh, Ya Allah Gustino Agung ... kenapa harus semanis itu aku melihatnya? Kumis tipisnya seakan menghipnotis mataku, memaksa pikiranku agar terus membayangkannya. Tak luput pula dari sudut mataku yang melihat lesung pipit di salah satu pipi pria ini, menambah kadar gula hingga mampu membuat siapa saja terkena diabet jika memandangnya terlalu lama.
Jika aku kembang desanya, maka aku harap Mas Prana ini sebagai kumbang yang memang ditakdirkan untukku. Dia tampan melebihi standart ketampanan pria pada umumnya, sangat disayangkan apabila pria ini sudah memiliki pacar.
Banyak juga para penduduk yang menjodoh-jodohkan aku dengannya, atau hanya sekadar menjuluki bapak-ibuku berbesan dengan bapak-ibunya mas Prana. Aku tentu saja terbawa perasaan dengan candaan para penduduk desa, tapi mungkin berbeda dengan mas Prana. Kapan hari aku melihat dia membawa perempuan ke rumahnya yang ia antar keesokan di pagi harinya. Tak mau suudzan sebenarnya, tapi aku berasumsi bahwa perempuan itu mungkin pacar mas Prana. Bisa jadi, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Illusion
Não Ficçãosisi lain dari diriku ternyata banyak. ada beragam jenis karakter yang hidup dalam diriku. Pada akhirnya, aku sendirilah yang menjadi teman terbaik untuk diriku sendiri. So, enjoy your reading!