Trial Run | 21

59 12 0
                                    

Andreas tidak begitu paham dengan ucapan Christof ditelpon pagi ini. Ia mengangkat telpon dengan malas seraya berbaring di tempat tidur. Dering ponsel yang nyaring itu membangunkannya tanpa menghilangkan rasa kantuknya. Christof menanyakan apakah dia sedang bekerja? Tapi Andreas enggan membuka mulut dan hanya menjawab dengan gumaman. Mungkin karena itu ia menganggap jawaban Andreas dengan "ya" dilanjutkan dengan ucapan aneh tentang melindungi diri. Otak Andreas sedang tidak dapat bekerja dengan normal. Ia hanya sangat bersyukur Christof segera mematikan panggilannya. Hari ini Andreas sedang libur. Jason dan karyawan lain yang yang sedang menjaga minimarket. Tanpa mau menyia-nyiakan waktunya, Andreas sudah berencana hanya akan berada di rumah tanpa melaukan apa-apa.

***

Marlos dan Reon sedang menikmati hidangan yang disediakan dengan penuh semangat saat Edward dan Oliver datang dengan raut wajah yang cukup untuk membuat Marlos menghentikan kunyahannya.

"Ibu tolong beri kami waktu untuk berbicara," Seru Edward yang membuat Ibunya bergegas naik keatas menyisakan keempat pria itu di meja makan.

"Aku yakin kalian belum tau apapun bukan?" Todong Oliver yang membuat Marlos dan Reon semakin bingung.

"Baiklah, dari mana kita harus memulai?" sahut Edward dengan nada putus asa seraya mengacak rambutnya.

"Baiklah, jadi..." Seru Oliver.

"Orang-orang itu gila. Mereka bukan berniat mengakhiri penyakit itu, Tapi sedang mengembangkannya." Lanjut Oliver.

"Maksudmu?" Kini Marlos sudah benar-benar meninggalkan makanannya. 

"Yah, begitulah. Aku Oliver, ya.. tentu saja kalian tau. Tapi aku tidak sekecil tubuhku, tapi ya aku pasti lebih muda dari kalian. Setelah lulus kuliah aku melakukan ini itu sampai aku diterima untuk bekerja di lab. Awalnya ini sangat keren. Tapi akhir-akhir ini aku tau jika ada yang salah dengan lab itu. Aku sudah melakukan berbagai uji pengembangan vaksin tapi hasilnya selalu nihil sampai aku melakukan semuanya sendiri termasuk menyuntikkan vaksin buatanku langsung ke orang terinfeksi. Dan setelah kucari tau, wabah ini bukan hal yang besar..." ada keheningan ketika Oliver mengatakan kalimat terakhirnya.

"Maksudku, ini bukan wabah yang vaksinnya mustahil untuk ditemukan. Bahan yang diperlukan pun tidak terlalu rumit. Jadi apalagi yang ditunggu? Sampai aku tau Edward dan jamuan makan malamnya. Yah, dan kini aku juga paham kenapa kalian, dan... Oh dimana pria banyak tanya yang satu lagi?"

"Dia sedang bertugas" jawab Marlos secepat mungkin karena tidak sabar menunggu ucapan Oliver selanjutnya.

"Kalian juga mengetahui tentang ini bukan? Tentang apa yang terjadi di lab. Oleh sebab itu Prof. George mengirim kalian pergi sebelum semuanya menjadi  jelas."

"Jadi, intinya mereka bukan mau mengembangkan vaksin, tapi justru sedang mengembangkan zombie?" Ulang Marlos.

"Oh, sungguh mengerikan. Tidak bisa dipercaya." Sahut Reon.

"Tapi untuk apa mereka melakukannya?" Tanya Marlos.

"Itulah kenapa kami ingin bertemu kalian." Seru Edward.

"Mengenai apa yang kalian ketahui, kami sebenarnya juga mengalami hal yang sama. Seorang kenalan kami juga berhasil menyelamatkan salah satu orang terjangkit dengan vaksin racikannya. Namun lab seolah menyembunyikan kenyataannya dan terus mengatakan bahwa itu tidak berhasil." Jelas Marlos.

"Kupikir semua ini memang tidak beres." Seru Oliver seraya memainkan dagunya.

***

Anthony masih berkutat dengan pikirannya saat Arnold mengintrupsinya.

"Apa yang mereka lakukan? Apa lab juga melakukan operasi bedah seperti itu?" Seru Arnold yang membuat Anthony menjatuhkan tatapannya pada layar yang menampilan ruangan dengan CCTV yang baru dinyalakan itu.

Nampak disana sedang dilakukan persiapan sesuatu. Orang-orang berpakaian layaknya dokter bedah dengan pakain steril sibuk melakukan ini dan itu. Sampai pada akhirnya seseorang yang diposisikan pada meja pasien membuat Anthony membelalakkan mata. 

"Apa yang mereka lakukan? Mengoperasi orang terjangkit?" Tanya Anthony.

"Mungkin sedang mencari sesuatu? Untuk pengembangan vaksin?" Sahut Arnold enteng.

Namun ada yang tidak beres, beberapa menit kemudian Anthony melihat dengan mata kepalanya sendiri jika organ yang dibedah adalah bagian belakang leher. Yang membuatnya semakin mengerutkan kening ialah, bukan hanya satu manusia terjangkit saja yang diperlakukan seperti itu. Melainkan seolah bergantian dan terdapat sesi-sesi tertentu. Jika mereka berniat melakukan pengecekan akan suatu tertentu, apa mereka harus melakukan itu pada setiap manusia terjangkit.

"Bisa jadi, bukankah untuk melakukan suatu penelitian diperlukan beberapa sampel?" Jawab Arnold menanggapi Anthony yang terus menanyakan apa yang ada dipikirannya.

"Tidak, coba lihat apa yang mereka lakukan pada leher itu?" Seru Anthony dan Arnold mulai mengotak-atik layar.

"Apa itu sebuah kepingan?" Tanya Arnold, Anthony menyipitkan mata.

"Semacam SD Card? Warna hitam?" Jelas Arnold lagi.

"Sebuah chips?" Celetuk Anthony yang membuat keduanya saling berpandangan.

***

Bukan cahaya matahari pagi yang membangunkan Andreas. Melainkan cahaya senja yang separuh langitnya telah menggelap. Andreas bergegas menyalakan shower untuk merefresh badannya. Flat tempat tinggal Andreas tidak besar. Hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, ruang TV dan dapur yang menjadi satu. Biasanya Jason tidur disofa. Tapi lelaki itu nampaknya belum pulang. Mungkin lembur, atau ia hanya ingin jalan-jalan ke kota.

Andreas mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk seraya memgambil makanan instan apapun di kulkas dan memasukkannya kedalam microwave. 5 Menit kemudian ia sudah duduk santai di sofa depan TV seraya menikmati makannya. Seharian ia berbaring di tempat tidur dan baru sekarang ia mengisi perutnya. Rasanya sangat melegakan.

Hingga tatapannya jatuh pada layar TV dihadapannya. Bukannya ia ingin menonton TV, tapi sebuah siluet seseorang yang berdiri dilorong depan pintu masuk mengintrupsinya. Kapan ia menyadari pintu flatnya dibuka? Apa dia terlalu menikmati makanannya?

"Jason? Kau sudah pulang?" Seru Andreas melanjutkan makannya. Tapi ia berhenti mengunya saat sang pemilik nama tidak menanggapi panggilannya. Andreas kembali menatap layar TV tapi siluetnya menghilang.

Secepat itu pula napas Andreas membura dan dengan gerakan hati-hati ia melambatkan kunyahannya seraya menaruh makanannya diatas meja. Dengan mengumpat lirih, Andreas mengingat samar Christof yang menelponnya pagi ini.

Andreas menunduk dengan cepat saat suara tembakan dengan peredam tiba-tiba saja dilontarkan diikuti perawakan serba hitam. Dengan waspada Andreas mengangkat tangannya.

"Siapa kau?" Tanya Andreas seraya berusaha mendekati laci tempat ia menyimpan senjata.

"Apa yang kau mau?" Tanyanya lagi namun tidak ada jawaban.

Melihat gerak-geriknya, agaknya orang ini tidak bermaksud menembak Andreas. Sudah sejak tadi harusnya Andreas tertembak mengingat dirinya sudah terpojok karena ruangan ini saja sudah cukup sempit serta dirinya yang tidak membawa senjata apapun.

Seolah menunggu waktu yang pas, Andreas memilih untuk melakukan aksi heroik dengan melempar sembarangan benda disekitarnya ke arah orang itu untuk mengalihkan perhatian sehingga ia bisa segera mengambil senjatanya. 

Begitu Andreas mendapatkan pistolnya, adu tembak pun terjadi. Namun, seperti yang sudah-sudah, orang itu hanya terus menembak kearah dinding. Seolah mengerti, Andreas pun memutuskan untuk menyerang orang itu dalam jarak dekat dengan melayangkan sebuah bogeman yang nyatanya tidak memberikan efek apapun.

Sebaliknya, orang itu justru dengan mudah mengunci kedua tangan Andreas dibelakang punggungnya. Andreas meronta seraya berusaha melepaskan dirinya namun tidak berhasil. Ia diseret keluar dari flatnya disambut orang serba hitam lainnya yang siap menutup wajahnya dengan sebuah kain hitam.

***

Published © 10 June 2023

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Trial Run (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang