Ternyata hidup di kota besar tak semudah hidup di kampung. Yang masih kental dengan kesederhanaan dan jauh dari kemelut kemewahan. Tentu jauh dari apa yang selalu kubayangkan selama ini. Jika hidup di kota jauh lebih enak daripada hidup di kampung.Di kampung tak semuanya harus dibeli.Namun, tidak halnya dengan kota. Semuanya tidak ada yang gratis. Bahkan harga diri pun bisa dibeli di sini. Jika tidak ada uang maka sudah nasibmu untuk menjadi gelendangan diatas belas kasih orang lain.
Sudah enam bulan aku dan ayah terluntang-luntang di kota besar ini. Tak ada sanak saudara yang dapat menolong kami di sini. Tujuan awal kami datang ke Jakarta hanyalah untuk mencari alamat Mas Hendrawan.
Kakakku yang sudah lama tak ada kabar. Namun, sayangnya kakakku sudah pindah dari alamat yang kami ketahui itu. Kata orang kampung kakakku mungkin sudah menjadi orang sukses di Jakarta. Sehingga lupa pada ayah dan adiknya. Namun, aku tak percaya.
Terkadang seseorang hanya bisa menilai saja dari apa yang mereka lihat. Namun, tak pernah mau melihat kernyataan yang sebenarnya. Jika betapa sulitnya hidup di perkotaan. Mungkin saja kondisi kakakku sekarang sama seperti kami. Tidak punya dana untuk sekedar mengabari kami.
Ongkos kami sekarang untuk pulang ke kampung saja pun sudah ludes tak tersisa sama sekali. Karena digunakan ke sana ke mari untuk mencari alamat Mas Hendra. Dan untuk kebutuhan makan sehari-hari.
Entah apa yang akan terjadi jika tante Yuni tak menolong kami pada saat itu. Mungkin saja nasib kami sudah menjadi pengemis di trotoar Jakarta. Wanita feminim itu dengan rendahnya menyewakan rumah untuk kami tinggali sementara dan membiayai kehidupan kami.
Namun, tante Yuni tak setulus apa yang aku pikirkan. Wanita kaya raya itu memintaku untuk menikahi anaknya untuk membalas segala budinya. Mau tidak mau, terpaksa kuiyakan. Karena tidak akan bisa kukembalikan semua pemberiannya.
Entah apa yang ada dalam pikiran tante Yuni untuk memilih wanita gembel sepertiku untuk dijadikan menantu. Rasanya aku sungguh tidak percaya jika akan menikah dengan keluarga kolongmerat besar di Jakarta.
Ketika kata 'Sah' terucap dari para saksi. Ku-ulurkan tangan ini dengan segala hormat untuk menghormati mas Arman sebagai suamiku sekarang. Entah berapa lama tangan ini sudah terpapar untuk menunggu respon darinya.
Dari gelagat wajahnya kutahu jika mas Arman sama sekali tidak menyukaiku. Namun, tidak mengapa jika ia belum bisa menerimaku sebagai istrinya. Karena memang sulit untuk menerima yang tak selevel dengannya. Gadis ndeso dijodohkan dengan kolongmerat itu seperti mimpi. Namun, inilah kernyataannya. Aku akan sabar menunggu cinta tulusmu.
Tangan ini masih kupaparkan walau sudah terasa pegal. Aku tidak tahu apa yang sedang mas Arman pikirkan. Tatapannya tertuju padaku, tetapi terlihat kosong. Akhirnya tangan mas Arman menerima sondoran tanganku. Meskipun dengan kasar. Tak apalah kumakhlumi sifatnya itu. Sepertinya jijik denganku.
Senyuman paling manis kuberikan padanya untuk memberi insyarat agar mas Arman mencium keningku. Seperti layaknya pasangan kekasih yang baru saja selesai ijab kabul. Itu wajar, kan?
Mas Arman sepertinya bergemih tak mau menciumku, tetapi tante Yuni memaksanya. Dengan secepat kilat ia melepaskan bibirnya pada keningku. Seolah-olah menyesali apa yang sudah ia lakukan untukku. Kamu sungguh lucu Mas Arman Jika seperti itu.
Dor ...!Suara tembakan menggema di sudut ruangan sungguh mengejutkan kami. Terlihat para tamu berhamburan keluar dengan wajah ketakutan. Suara tangisan anak kecil berbarengan dengan tembak-tembakan yang mereka lontarkan ke udara.
Tak penduli nyawa siapa yang akan mereka renggut. Aku begitu ketakutan hingga tak menyadari jika sebuah peluru hampir saja mengenai tubuhku. Untung saja mas Arman dengan sigap memelukku untuk melindungi tubuh ini dari peluru itu. Dan rela mengorbankan lengannya untuk terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Menjadi Istri Mafia( Sudah Terbit)
ActionMafia yang takut jatuh cinta, tetapi justru terjebak cinta yang rumit dan sulit dengan gadis kampung, Kinan Permata.