Eighteen - Same

263 22 3
                                    

BUDAYAKAN VOTE SEBELUM BACA

***

"Maaf, Qeyna. Maaf."

"Bukan salah kamu, Lex. Kita cuma..."

"Cuma dua takdir yang berbeda," lanjut Qeyna.

Beberapa menit kemudian, mereka saling diam. Sebelum akhirnya Alex menoleh, menggenggam lengan Qeyna. "Qey."

Qeyna menoleh, bersamaan dengan air matanya yang luruh. Entahlah, ini begitu menyakitkan pastinya. Kadang, kita juga tidak tahu mengapa semesta mempertemukan dua orang yang bahkan tidak mungkin bersama. Kehilangan memang perlu dibiasakan, tapi bukankah banyak cara lain selain mempertemukan yang tidak bisa saling menggenggam?

"Ada janji yang harus saya penuhi, Qey."

"Kamu juga berjanji sama aku, Lex."

Alex terdiam. Ia tak menyangka Qeyna akan bersikap seperti ini.

"Ini bukan soal kamu berjanji pada siapa, Lex. Tapi ini tentang janji siapa yang akan kamu penuhi. Dan pilihanmu jatuh sama dia, kan?"

"Qey—"

"Lex, its okay. Dibanding aku, dia lebih dulu menemukan kamu. Bukannya udah sewajarnya kamu memilih dia?"

"Bukan begitu, Qey—"

"Udahlah, Lex."

"Ini bukan cuma soal perasaan, Qey. Ini tentang mimpi saya."

Qeyna diam. Iapun mengerti saat ini ia begitu egois, tapi bukankah ini terlihat wajar? Ia punya banyak alasan untuk bersikap demikian.

"Dari dulu ini yang saya takutin, Qey. Saya takut jatuh cinta sama seseorang dan itu bukan Tania. Karena artinya, secinta apapun saya, tetap pada akhirnya saya harus melepaskannya."

"Lalu kamu akan melepaskan aku, kan, Lex? Jadi aku udah gak seharusnya nunggu kamu, kan?"

Alex diam tak menjawab. Qeyna cukup paham untuk melepas seutuhnya mulai detik itu. Ia sadar bahwa baik Alex maupun dirinya sama-sama terikat oleh keinginan orang tuanya. Alex dan Qeyna adalah kesalahan, pertemuan itu tidak seharusnya sampai pada bagian ini. Seharusnya Alex tidak membawa Qeyna ke apartemennya, seharusnya Alex tidak menolong Qeyna. Seharusnya. Karena dibandingkan harus kehilangan, lebih baik tidak pernah mengenal.

"Saya minta maaf," ucap Alex.

Qeyna mengusap air matanya yang luruh. "Jauh sebelum sampai disini, aku udah memaafkan, Lex."

"Mengenai pembagian harta waris itu—"

"Cukup, Lex. Ini bukan tentang hal itu, ini tentang kita," ucap Qeyna dengan nada sedikit meninggi. Alex menarik punggung Qeyna, membawanya masuk ke dalam pelukannya. Perempuan itu terisak, menyadari bahwa sekeras apa pun ia meraung, tetap saja semesta tak berjalan sebagaimana inginnya. Alex akan tetap pergi, dan ia juga akan tetap menikah dengan Dimas sebagaiamana yang diinginkan Ibunya.

"Beri saya waktu, Qeyna."

"Percuma, Lex. Kita ini percuma."

"Nggak. Saya yakin kita masih punya cara lain."

Apartemen senyap, Qeyna tidak ingin melepas pelukan itu. Baginya, pelukan itu adalah pelukan terakhir yang ia rasakan. Karena setelah itu, mereka asing. Tidak lagi bertemu, tidak lagi mengirim pesan, seolah tidak ada sedikitpun yang terjadi.

***

Di sudut ruangan kerja, Alex sekali lagi menyenggol lengan Erlan. Lelaki itu mendesah lelah, lagi-lagi menggeleng.

Everything I NeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang