Twenty Three - Afraid

151 20 0
                                    

VOTE SEBELUM MEMBACA

***

Ponsel di atas nakas bergetar membuat tidur Alex terganggu, matanya menyipit melihat tirai begitu terang. Alex mengambil ponselnya, bersamaan dengan hilangnya getaran itu. Pukul sepuluh lewat lima belas menit, Alex bangun terlalu siang. Lelaki itu menyimpan kembali ponselnya, berjalan menuju toilet untuk mandi.

Ponselnya kembali berdering, nama Erlan tertulis disana. Alex tidak berniat mengangkat panggilan itu karena Alex mengerti pastilah lelaki itu hanya akan menanyakan pekerjaan yang tempo hari ia kerjakan.

Alex masih merasa janggal, tidak biasanya Qeyna bangun siang. Perempuan itu selalu bangun lebih awal, lalu menyiapkan sarapan untuk mereka dan membangunkan Alex untuk akhirnya sarapan bersama. Alex memutuskan untuk keluar kamar, mengetuk pintu kamar Qeyna lalu membukanya. Tempat tidur itu kosong, bahkan sangat tertata seperti tidak ditiduri. Perasaan Alex mulai tidak enak, lelaki itu kini masuk.

"Qeyna," panggilnya seraya mengetuk pintu kamar mandi barang kali dia ada di dalam sana. Nihil, tidak ada jawaban. Alex membukanya, masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ada siapapun disana, bahkan handukpun terlipat kering di samping wastafel.

"Sial," umpat Alex ketika ingat kemarin Qeyna berperilaku berbeda, dugannya kemarin ternyata benar. Seseorang telah menemuinya.

Tatapan Alex kini menangkap sebuah kertas di atas tempat tidur.

Jangan khawatir, aku baik-baik aja.
Maaf pergi tanpa pamit.

Qeyna.

Hanya ada kalimat itu, benar-benar sangat singkat.  Alex membuka lemari pakaian, berharap menemukan tumpukan pakaian Qeyna masih disana. Lagi-lagi hanya kekosongan yang Alex temukan, lelaki itu menutup lemari dengan kasar hingga menimbulkan bunyi cukup keras.

Sekarang, Alex meraih cepat ponselnya. Menghubungi Erlan. Baru satu kali nada sambungan, lelaki di seberang sana sudah mengangkatnya.

"Berengsek lo dari mana aja?" ucap Erlan.

"Lan lo cek bandara sekarang."

"Justru itu gue mau kasih informasi."

"Qeyna di Jakarta?"

"Bukan, Lex—"

"GUE CARI QEYNA, LAN!"

"Diam dulu berengsek, gue belum selesai. Dengar baik-baik. Orang tua lo di Milan."

"Sejak kapan?"

"Dua hari lalu. Mungkin itu bisa bantu lo cari dimana Qeyna."

Dengan sepihak Alex memutus panggilan itu, bergegas memakai pakaiannya. Sekarang Ia tahu harus kemana Ia pergi. Kecepatan mobil yang ia kendarai sudah lebih dari kecepatan normal, beberapa kali hampir menabrak pengguna kendaraan lain. Setelah sampai di sebuah apartemen mewah, Alex memarkirkan mobilnya lalu berlari masuk ke dalam apartemen. Dengan kasar membuka pintu salah satu apartemen, membuat orang-orang yang berada di dalam kini menoleh ke arah Alex.

"Alex," panggil Alena seraya berdiri dan menghampiri putranya.

"Qeyna dimana?"

"Duduklah dulu, kamu seperti orang kesetanan."

"Dimana Qeyna, Pak?"

"Bukannya kamu yang membawa dia ke Milan?"

"DIMANA QEYNA?"

"JAGA NADA BICARA KAMU, ALEX!"

"Saya benci terlihat seperti robot di mata anda. Saya berusaha menghormati anda sejak anda memberi saya pilihan itu, tetapi bagi anda saya hanya alat balas budi."

Everything I NeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang