5. Obsessed Courage

2.5K 347 4
                                    

□■□■□■□■□

Sambil menunggu ibu Hinata selesai menyiapkan teh, Naruto melihat-lihat sekitarnya. 

Pigura-pigura kecil yang diletakkan di atas bufet di ruang tamu. Pigura yang menempel pula di tembok dan di atas televisi. 

Foto keluarga menunjukkan, ternyata Hinata punya adik perempuan yang cantik dan imut. Bola mata bulat dengan rambut panjang yang terurai.

Tidak lama kemudian, ibu Hinata kembali setelah menyiapkan teh untuknya di dapur. "Maaf lama," kata ibu, dengan sikap lembutnya beliau menawari Naru kue buatannya. "Aku kebetulan sedang memanggang kue yang barusan matang, dan aku ingin kau mencobanya." 

Naru memandangi kue dengan parutan keju di atasnya. Potongan segitiga dan sepertinya disiram oleh sirop mapel, yang mungkin sangat manis. "Duduklah. Apa kau khawatir Hinata akan pulang ke rumah jam segini, lalu kau malah diusir olehnya seperti tadi malam?"

"Dia kadang memang agak kejam, tetapi hal itulah yang membuatnya terlihat manis," ujar Naruto yang kemudian mengambil duduk di sofa. Menatap lekat-lekat kue tersebut sebelum mencicipinya. "Rasanya sangat lembut."

"Habiskan sambil mengobrol."

"Jadi, Hinata anak pertama ya?" ia harusnya pura-pura tidak tahu tentang gadis itu. Tidak sopan kalau dia mengatakan bahwa dirinya sejak awal tahu keluarga ini dari Sakura. "Tidak ada anak laki-laki."

"Iya, kami tidak punya anak laki-laki. Lalu—" Naruto mengangkat wajahnya. "Kau menyukai Hinata, ya?" ia kemudian tersedak saat ibu Hinata justru terbahak melihat respons darinya. "Benarkah itu?"

"Hinata masih trauma soal pacarnya. Aku kira seperti itu."

"Benar," ibu tidak bisa menutupi wajah sedihnya. "Aku benar-benar tidak suka dengan mantan pacar Hinata. Dia sangat tidak sopan. Tapi karena Hinata sangat menyukainya, kami tidak bisa begitu saja bilang kalau kami tidak menyukainya. Kami ingin Hinata bahagia."

Semua tentang kebahagiaan. Apalagi kalau mau mengingat, orangtua Hinata tidak memiliki masa lalu bahkan sejarah kebersamaan yang baik. Orangtua yang terbuka dan ingin anaknya dapat memiliki pilihannya sendiri. "Tapi masalahnya—" Naru membuka suara. Hasil dari pemikiran singkatnya. "Kalau kalian membiarkan Hinata memiliki pilihan yang tidak baik, itu akan membuat dia terluka suatu hari nanti."

Ibu Hinata malah menahan tawa. "Kau benar-benar menarik. Tidak salah aku mengundangmu minum teh dan menikmati kue di rumah."  

Naru justru tidak mengerti sekarang. Apa yang lucu. Apa yang menarik dari dirinya ketika berbicara seperti itu, hingga membuat ibu Hinata agaknya tertarik kepadanya. Seharusnya, ibu Hinata tidak menyukainya karena terang-terangan mengungkapkan hasil pemikirannya. Kebanyakan orang dewasa pasti tidak suka kalau digurui oleh anak muda.

"Kami tahu risikonya. Dan Hinata juga sudah tahu risiko yang dia hadapi jika itu menjadi pilihannya. Dia ataupun adiknya, kami selalu mengajari mereka untuk mengambil tanggung jawab. Kurasa ada banyak kesalahan yang justru memberikan dampak kebaikan daripada penyesalan. Kami punya masa lalu buruk untuk mempertahankan hak kami. Apa pun yang terjadi, Hinata berhak memilih, bahkan mungkin itu akan jadi kesalahan, dan mungkin membuatnya terluka."

Naru membuang tawanya sambil menatap kembali kue yang sudah dipotong olehnya jadi setengah bagian. Ibu Hinata benar untuk mengajari anaknya bersikap dewasa dalam menyikapi pilihan mereka yang mungkin memberikan dampak menyakitkan.

"Anak-anak memang berhak memilih. Aku juga berhak memilih Hinata." 

"Jadi, kau menyukai putriku?"

Growing Wave ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang