29. A hard decision to make

4K 421 198
                                    

"Ade!"

Tubuh Julian mendadak kaku dan beku mendengar suara itu. Suara yang sudah empat hari belakangan ini tidak didengar oleh telinganya. Suara yang membuat seluruh sel-sel motorik tubuhnya seakan menyangkal untuk menyadari bahwa dia tidak ingin mendengar suara itu.

Otot-otot tangannya punya keinginan sendiri untuk mencari pegangan. Telapak tangannya tanpa sadar begitu saja menyusup masuk ke dalam genggaman telapak tangan Faiz. Mencari kekuatan agar dia mampu menahan gelombang serbuan amarah Papa dan Mama yang biasanya selalu menatapnya dengan penuh kasih sayang.   

Jari-jari tangannya menggenggam dengan erat jari-jari tangan kekasihnya yang hangat dan menghadirkan rasa teguh, karena memang itulah yang sepertinya dia butuhkan untuk menopang tubuhnya, agar dia tidak melesat melarikan diri dari sosok yang sekarang seakan punya ancaman tersendiri untuk hatinya. Agar dia tidak berlari seperti seorang pengecut dan membiarkan kekasihnya sendirian menghadapi amukan badai murka kedua orang tuanya.

Pandangan matanya mematri senyum Faiz, waktu kekasihnya itu menoleh dan melihat wajahnya yang mungkin saja sudah pias tak berwarna. 

Melihat senyum damai penuh perlindungan yang diberikan kekasihnya itu, tidak membuat gentar di hatinya mereda. Tapi setidaknya sudah membuat perasaannya yakin. Bahwa masih ada satu tempat perlindungan yang akan menampung risau resahnya. Ada satu naungan jiwa yang akan berdauh menenangkan badai di hatinya. Bahwa masih ada satu orang yang masih mendukung dan menyayanginya, karena sepertinya kedua keyakinan itu tidak didapatnya lagi dari kedua orang yang selama ini disebutnya sebagai orang tuanya.  

Dibalasnya lagi genggaman erat jari-jari hangat Faiz dengan jari-jarinya yang terasa mati rasa. 

"Selamat malam, Om." sapa kekasihnya itu dengan suara hangat dan mantap pada Papa.

"Pulang!"

Suara berat dan rendah Papa menggema keras di lobby hotel yang sepi dan hening itu. Sampai dua orang resepsionis yang berdiri di belakang meja, tertegun menatap ke arah laki-laki paruh baya yang masih berwibawa itu. Dua orang lagi yang duduk di balik meja resepsionis itu menunduk di depan layar komputer, pura-pura sibuk dengan pekerjaaannya walaupun terlihat mereka mencuri-curi lirik ke arah Papa dan kekasihnya.

Julian bisa merasakan hawa dingin yang mencengkeram dadanya, melintas ke jantung dan memelintir jiwanya yang pengap. Tanpa sadar dia makin beringsut sedikit ke belakang tubuh besar Faiz, seakan ingin berlindung dibalik bayangan tubuh kekasihnya. Telapak tangannya makin menggenggam erat telapak tangan kekasihnya. Meremas dengan kecemasan yang mulai menjalar ke relung-relung sanubarinya.   

"Pulang, Ade!"

"Maaf Om," Faiz menyahut masih dengan suara hangatnya. "Apa tidak sebaiknya kita bicara baik-baik dan mencari tempat private? Om tidak ingin mempermalukan kami di depan orang lain kan?"

"Kamu masih punya rasa malu tidak meminta hal itu pada saya?"

"Setidaknya saya ingin menghindari Om dan Tante dari rasa malu agar masalah kita tidak terdengar oleh telinga orang lain yang tidak berkepentingan sama sekali dengan urusan saya dan Julian."

"Lebih baik kita mencari tempat private untuk bicara, Pa." Mama Julian yang sudah berdiri menghampiri mereka, mengedarkan pandangannya ke sekitar.

"Om sama Tante baru mau cek in atau... ?" 

Faiz tidak melanjutkan pertanyaannya karena dia tidak melihat Papa dan Mama Julian membawa tas travel atau bagasi. Tangannya tidak melepaskan genggamannya pada tangan Julian, meski Julian berusaha menarik kembali jari-jari tangannya, saat menyadari tatapan sekilas Mama pada kedua tangan mereka yang bertautan. 

Fallen Deeply In Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang