Jam menunjukkan pukul sepuluh, artinya tiga jam sudah aku berada di sini. Rencana hanya 'sebentar' dan berakhir seperti ini. Kadang kita gak butuh rencana kali, ya? Supaya kalau gak sesuai, gak perlu kecewa.
"Bar, aku pamit pulang," pamitku padanya sebelum pergi.
Karena seorang barista, jadi, panggil saja Bar. Aku tidak tahu nama dia siapa dan tidak mau tahu juga.
Sambil membuat kopi dia bilang, "Nama saya bukan Bar, gadis kecil"
Gadis kecil? Menyebalkan juga lama-lama.
"Namamu siapa, aku tidak peduli"
"Kamu masih pakai piama, yakin mau pergi? Di sini saja dulu"
Tadinya aku berdiri sekarang kembali duduk. Secara tidak langsung aku menuruti perkataannya. Kenapa? Tidak tahu, saraf motorik bergerak begitu saja.
Beberapa menit setelah itu terlihat dia telah mengubah penampilannya. Dengan pakaian yang tidak tampak seperti seorang barista.
"Ayo," katanya sambil menutupi bagian atasku dengan jaket miliknya
"Kenapa jaketnya?"
"Mau pergi kan? Saya tahu kamu kurang nyaman dengan piama itu"
Sambil mengerutkan kening, "Bukannya kamu harus di sini, ya?"
Dia tersenyum dan menjawab tenang, "Nanti saya balik lagi"
Akhirnya dia melangkah ke luar dengan aku yang mengikutinya dari belakang. Ia berhenti tepat di sebelah mobil berwarna putih, aku pun sama.
"Aku duluan kalau begitu," ucapku mengembalikkan jaketnya
"Tunggu"
Kuberhenti lalu kembali menatapnya seakan bertanya "Kenapa?"
"Saya antar saja"
Eh? Dia tidak sedang bermimpi, kan? Mau gitu antar orang yang tidak ia kenal?
"Aku?"
"Iya, saya antar kamu pulang"
Aku menggeleng, "Tidak usah, bisa sendiri"
"Anggap saja ini tebusan dari permintaan maafmu"
"Katamu tidak apa-apa, kok dibahas lagi? Gak ikhlas?"
Dia tertawa kecil dan berkata, "Makanya saya antar saja, tidak perlu protes"
Ternyata ada orang yang keras kepalanya seperti Zee. Tetap Zee sih yang lebih. Bicara soal Zee, aku tidak dapat kabar darinya sejak semalam.
Selama perjalanan dia terlihat fokus menyetir tanpa mengeluarkan suara. Lama sekali mobil ini bergerak. Tidak sampai-sampai. Padahal hanya memakan waktu lima menit jika pakai kendaraan.
"Belum sampai juga? Perasaan rumahku cuma dekat dari kedai kopi tadi"
Tanpa menoleh dia menjawab, "Bagaimana bisa sampai? Jika alamatmu saja aku tidak tahu"
Kenapa tidak tanya dari tadi! Malah diam saja. Kupikir sudah tahu. Mustahil juga sih, aku kan belum lama kenal dia.
"Mana ponselmu"
Terlihat dia kebingungan tapi tetap ia memberikan ponselnya.
Aku menulis sesuatu di sana, "Nih"
"GPS?"
Ku anggukkan kepala
"Ada-ada saja," ucapnya tertawa kecil
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate
Teen FictionDengar, ada yang ingin aku kisahkan padamu. Perihal peluk yang tak jadi hangat semenjak kalimat keramat terucap. Kau tahu, tidak? Hal yang lebih patah dari luka? Bersama namun raga saling menjauh. Digenggam namun harus dilepaskan. Bersatu dipaksa be...