Bel pulang berbunyi nyaring. Sedikit demi sedikit kelas mulai sepi.
Kalian tahu bagaimana aku, kan? Paling susah beranjak jika keadaan sedang ramai, kecuali dalam posisi genting.
Kali ini, aku ingin pulang sendiri. Berniat untuk mampir sebentar ke tempat yang berisi jutaan buku. Setiap hari jumat, pasti aku menyempatkan diri ke toko buku. Melihat, apakah ada sesuatu yang baru di sana atau tidak.
Jika kalian pikir aku akan membelinya, maka itu salah. Aku hanya akan membacanya sambil melantai. Saking seringnya, beberapa pegawai yang ada di sana sudah mengenaliku. Kadang-kadang, aku membelinya jika sedang punya uang.
Jadi, kalau kalian mampir di toko buku dan melihat gadis remaja yang masih memakai seragam sekolah melantai di salah satu rak buku, maka mungkin itu aku. Atau kalian juga demikian?
Sekitar lima belas menit perjalanan, sampai juga di toko buku yang kumaksud tadi.
Suasana yang kusuka, berada di tempat ini. Sepi. Tenang. Pokoknya aku suka. Rasanya ingin berumah di sini.
Melangkah menuju satu rak buku, fisafat. Dulu, tidak tertarik. Namun, tidak tahu kenapa jadi penasaran dengan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi itu. Hingga pada akhirnya, jadi adiktif.
"Nats? Sudah lama tidak jumpa, ya" Sapa seorang lelaki.
Menyingkirkan rambut yang menghalangi, aku melihat ke arahnya.
"Eh, Kak Dimas. Apa kabarnya, Kak?" Tanyaku dengan mempertahankan posisi melantai yang mengakibatkan kepala menjadi mendongak.
"Baik, kamu sendiri?"
"Seperti yang Kakak lihat"
Perkenalkan, satu tokoh baru lagi Namanya Dimas, seorang mahasiswa Arsitektur tahun pertama, dia juga salah seorang pegawai di toko buku ini sebagai pekerjaan sampingan. Dia sudah mengenaliku, dan sudah kuanggap seperti Kakak-ku sendiri. Orangnya baik, ramah, suka senyum entah kenapa.
"Oh, sudah gemar baca fisafat?"
Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.
"Iya, ternyata menarik, berat di kepala dan aku suka"
Ia melihatku melantai, ikut melantai juga.
"Kamu orang kedua yang suka dengan hal-hal yang memberatkan isi kepala"
"Yang pertama, siapa?"
"Ilmuwan. Seluruh ilmuwan. Heran, ya, padahal bikin pening tapi jadi kesukaan"
"Haha, kadang yang akhir bahagia jadi membosankan untuk disantap"
"Tapi, gak pusing kepala juga, Nats"
"Itu istimewanya, Kak Dim"
Ia mengacak-acak rambutku seraya tersenyum hingga menunjukkan giginya.
Kalau kalian pikir dia suka padaku, aku rasa itu tidak mungkin. Karena Ia sudah punya kekasih. Cantik. Beberapa kali aku berbincang dengan Kakak cantik itu. Namanya, Selin. Sekarang sedang kuliah Psikologi di luar kota.
"Kamu mau baca di sini apa mau beli?"
"Itu pertanyaan atau mengusir secara halus?"
"Haha, serius bertanya, Nats."
Aku mengangkat bahu, tidak tahu.
"Nanti lihat, deh. Tapi mau baca dulu"
Kak Dimas menganggukkan kepala lalu berdiri. Akan kembali bekerja, mungkin.
Namun, baru beberapa detik Ia berdiri, beberapa perempuan berseragam sekolah putih-biru mendekat.
"Permisi, Kak Dimas, kan?" Tanya salah seorang yang rambutnya dikuncir satu. Terlihat bibirnya mengenakan lip warna merah. Terlalu mencolok untuk anak seusianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate
Teen FictionDengar, ada yang ingin aku kisahkan padamu. Perihal peluk yang tak jadi hangat semenjak kalimat keramat terucap. Kau tahu, tidak? Hal yang lebih patah dari luka? Bersama namun raga saling menjauh. Digenggam namun harus dilepaskan. Bersatu dipaksa be...