Hampir dua minggu aku menjalani hari-hari dengan di rumah saja. Kadang-kadang mampir ke kedai kopi dekat rumah dan selalu ketemu si barista tanpa nama. Sampai-sampai dia sudah hafal pola kapan aku akan mampir. Dia juga hafal apa yang akan kupesan. Mau bilang cenayang, tapi bukan.
Selama itu juga aku hanya bertukar kabar dengan Zee. Dia sangat sibuk. Masih sibuk dengan organisasinya. Minggu depan dia akan kembali.
Siang tadi Mama dan Kakak-ku sampai di rumah, tapi Papa masih berada di luar kota.
Sekarang sudah jam sepuluh malam. Mau minum cokelat panas, tapi masih buka, gak ya?
Semua penghuni rumah sudah tidur sejak sejam lalu. Kalau bilang-bilang pasti gak akan diizinin. Jadi, maaf sekali, harus keluar diam-diam.
Malam ini cuaca amat baik, sedang bersahabat. Perjalanan yang biasanya membutuhkan waktu lima menit itu akhirnya berujung menjadi lima belas menit.
Sesampainya, tempat itu tidak menampakkan gelap. Masih buka, mungkin. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam, tapi tidak ada orang di sana. Semua pun sudah bersih. Sepertinya aku salah, kedai ini sudah tutup.
Ketika aku membalikkan badan, tiba-tiba...
"Hayo!!"
Tentu saja suaranya membuatku terlonjak kaget sampai menabrak meja di belakangku.
"Ihs! Kenapa muncul tiba-tiba!"
Dia tertawa sambil merapikan baju, "Kamu ngapain ke sini?"
"Rencana, sih, mau pesan minuman, tapi kelihatannya sudah tutup, ya?"
Dia mengangguk dan berlalu begitu saja.
"Ya sudah, aku pulang kalau begitu." Ujarku meski tidak tahu dia mendengar atau tidak.
Saat tangan kananku memegang gagang pintu, dia bersuara, "Tunggu dulu"
Kutengok ke arahnya yang sedang memegang secangkir minuman.
"Kenapa?"
Tangannya mengisyaratkanku untuk duduk di depannya. Entah kenapa aku mengikuti perintahnya untuk duduk.
Sambil menyodorkan minuman yang tadi ia pegang, dia bilang, "Satu hot chocolate, seperti kesukaanmu"
Selalu. Pasti dia tahu apa yang aku mau tanpa harus bilang.
"Loh? Katanya sudah tutup"
"Iya, tapi kasihan adik kecil ini sudah jauh-jauh kemari"
Mendengar perkataan itu, refleks kupukul kepalanya, membuat ia meringis kecil.
"Aku gak minta!"
"Oke, saya saja yang minum," ucapnya sambil menarik pelan cangkir yang ada di hadapanku namun kucegat.
"Gak boleh! Sesuatu yang udah dikasih gak boleh dikembalikan"
"Gadis aneh," ujarnya yang kubalas dengan tatapan tajam.
Menyebalkan sih tapi menyenangkan. Kalau dipikir-pikir, ketika lihat dia, jadi kayak lihat Zee. Seperti kembar tidak identik. Beda tapi sama. Bagaimana ya menjelaskannya. Coba pahami sendiri deh.
Namun, bukan berarti dia sehebat Zee. Tentu saja Zee yang berada atas. Sudah lama gak ketemu dia.
Dia menepuk pundak kananku, "Malah melamun"
"Hobi banget ngagetin!"
Lagi-lagi dia cekikikan, "Maaf-maaf. Lagian kamu melamun tidak jelas"
"Terserah aku,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate
Teen FictionDengar, ada yang ingin aku kisahkan padamu. Perihal peluk yang tak jadi hangat semenjak kalimat keramat terucap. Kau tahu, tidak? Hal yang lebih patah dari luka? Bersama namun raga saling menjauh. Digenggam namun harus dilepaskan. Bersatu dipaksa be...