Aku menyelusuri koridor sekolah yang cukup sepi. Bukan tanpa sebab, tapi sekarang masih pukul enam pagi. Kenapa bisa sepagi ini? Salahkan imajiku yang tidak bisa beristirahat. Tidak tahu kenapa, hari ini terasa lebih berapi.
Hal apa yang akan kalian lakukan jika sepi seperti sekarang? Mungkin tidur, ya?
Namun, tidak denganku.Ini adalah waktu paling tepat untuk bersenandika seraya menikmati suasana yang tak berpenghuni, apalagi jika ditambah iringan sebuah instrumental. Bukan nikmat lagi, tapi suralaya tanpa batas.
Berselang beberapa menit, gegap-gempita hadir mengisi ceruk kosong. Mendengar lagu dengan volume penuh pun, tidak ampuh.
Iya, segaduh itu.
Hingga pembelajaran berlangsung, isi kepala tetap saja tidak bisa berhenti membuat keributan. Kucoba untuk fokus, fokus memikirkan Zee. Bercanda.
Sebenarnya tidak benar-benar fokus. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benak, meminta untuk dijawab, tapi aku saja tidak tahu apa jawabannya.
Setiap beberapa jam sekali, kutatap arloji kecil yang melingkar di tangan kanan. Kapan waktunya pulang?
Sampai akhirnya hal yang dinanti tiba. Bel pulang berbunyi. Jika biasanya aku menunggu sepi datang menjemput, maka saat ini hal tersebut tidak berlaku.
Dengan segera aku berlari menuju kelas Risa, terlalu penasaran beginilah jadinya. Bahkan beberapa meter sebelum benar-benar sampai, aku berteriak dengan suara yang sedikit nyaring.
“Risa!!”
Keadaan belum terlalu ramai di luar sini, oleh sebab itu suaaku terdengar amat jelas di seantero koridor.
Risa membalikkan badan sambil menghela napas sebelum datang menghampiriku.
”Gak perlu teriak juga!”
Dengan santai kujawab, “Sudah terlanjur, Ris”
“Terus sekarang kamu kemari ngapain? Secepat cemeti dewa, pula,”
“Bahasamu cemeti dewa,” ujarku menyindir
“Aku balik kalo kamu gak ngomong apa-apa”
“Daritadi, kan, aku ngomong, Ris”
Dengan ancang-ancang beranjak, Ia berkata, "Aku balik beneran, nih”
“Iya-iya, bercanda”
“Yaudah, kamu ada mau bilang sesuatu? Atau bertanya?”
“Hadiah yang kutitip. Bagaimana?”
“Kirain kamu mau nanya serius,”
“Bagaimana? Bagaimana, Ris?”
“Beres semuanya, Nats. Tenang aja,”
“Dia suka?”
“Sepertinya begitu, kalau nanti---“
“Tapi dia suka, kan?”
“Aku bukan cenayang, kali. Kalau memang kamu penasaran banget, tanya aja langsung ke orangnya” Katanya kemudian berlalu dari hadapan, meninggalkanku yang diam berdelusi.
Tapi, tunggu dulu.
Aku lupa cerita ke kalian, hehe. Akhirnya kuputuskan untuk meminta bantuan Risa. Perantara tentang hadiah itu.Setelah monolog tiba-tiba, ku melangkah menuju rumah. Sempat lihat Zee juga, tapi aku menghindar. Entah kenapa, ragaku tidak siap saja menatap dia, atau mungkin karena gugup. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu juga.
Sesampainya di rumah, dengan isi kepala yang bermain, aku segera masuk ke dalam kamar.
Tanpa mengganti seragam, kududuk depan cermin sambil menatap diriku yang lain di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate
Teen FictionDengar, ada yang ingin aku kisahkan padamu. Perihal peluk yang tak jadi hangat semenjak kalimat keramat terucap. Kau tahu, tidak? Hal yang lebih patah dari luka? Bersama namun raga saling menjauh. Digenggam namun harus dilepaskan. Bersatu dipaksa be...