Bagian 13

24 5 1
                                    

Perkataan seenak jidat yang keluar dari mulut Zee kemarin tidak kubawa serius. Buktinya, sekarang sudah sore, beberapa jam lagi mentari akan segera pupus. Namun batang hidungnya saja tidak kunjung terlihat. Sudah kubilang dia aneh.

Disaat sedang menikmati secangkir cokelat panas dan jutaan kata tanpa gambar dengan angin yang menghempas kulit, suara Mama terdengar memanggil. Aku tidak langsung beranjak, melainkan melihat dari balik balkon. Mama terlihat berbincang dengan seorang lelaki berkaos putih, yang wajahnya tidak dapat dilihat dari atas sini.

“Siapa, Ma?” Tanyaku pada Mama yang baru saja masuk.

“Temanmu,”

“Teman? Cowok?”

“Iya, katanya mau ngasih sumbangan, aduh kamu tanya sendiri aja,”

Setahuku, tidak ada yang mengetahui letak rumahku, kecuali lima orang gadis yang selalu bersama denganku.

Aku membeo, “Sumbangan?”

“Iya, sudah sana temui dulu, kalau kamu bingung yang ada Mama lebih bingung,” ujar Mama kemudian meninggalkanku dengan segala teka-teki.

Maunya tidak meladeni manusia yang kata Mama adalah temanku itu, namun jika seperti itu, rasanya tidak sopan. Tunggu… Sebenarnya siapa yang tidak sopan di sini?

Ketika aku membuka pintu, terpampang seorang lelaki yang sedang berdiri dengan pandangan yang berlawanan denganku.

“Permisi, cari siapa, ya?” Tanyaku pelan.

Ia membalikkan badan.

Ya, Tuhan, aku terkejut setengah mati. Wajah itu muncul di hadapanku. Sekarang.

“Dengan Natsvi Darenia, betul?”

“Kamu ngapain ke sini? Dapat alamatku dari mana?”

Tidak mengindahkan pertanyaanku, dia melanjutkan dramanya, “Sumbangan atas nama Natsvi Darenia, sudah sampai,”

“Ih, aku tanya, kamu ngapain ke sini?”

“Bukannya, Mama-mu sudah beri tahu alasan aku kemari?”

“Sumbangan?”

“Itu kamu tahu,”

“Sumbangan apa, sih, jangan aneh-aneh deh.”

“Ikut aku sebentar, mau?”

Untuk kesekian kalinya, aku beri tahu bahwa; Zee adalah makhluk Tuhan paling berbeda di muka bumi. Terlalu beda, sampai-sampai heran dia berada di takson yang mana.

“Sudah hampir malam,”

“Mau atau gak?” Ia bertanya sambil menatapku santai

“Kamu diam, berarti jawabannya mau,” Ia menarik pergelangan tanganku tanpa seizin sang empunya

Lihat, lagi dan lagi dia asal mengeluarkan ucapan. Dasar manusia darah pelangi!.

Seperti seorang penjahat yang kedapatan mencuri, aku hanya bisa diam dan mengikuti langkah kakinya. Lagian, mau lari ke mana?  Tanganku masih digenggam olehnya. Oh, ralat, dipegang saja, itu pun pergelengan tangan. Dia menyeretku ke arah sepeda yang terlihat seperti model lama. Sepeda tua nan kukuh.

“Ini punyamu?” Tanyaku, menunjuk ke arah sepeda berwarna biru tua. Dia mengangguk sebagai respon.

“Kita akan naik ini?”

“Ya, atau kamu jalan saja?”

“Memangnya dekat? Jika dekat, jalan saja, kenapa harus naik sepeda?”

ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang