5

792 100 32
                                    

"Bagaimana rasanya bisa melihat dunia?"

Wajah tunduk Jada terangkat. Matanya beralih dari layar komputer pada Seulgi yang menatap lurus kosong. Seulas senyum getir muncul. "Maafkan aku karena tidak bisa membujuk Jimin agar kau dapat mengikuti penelitian ini," sendunya. Jada menghentikan kegiatan mengetiknya demi memeluk Seulgi yang bersedih.

Dua minggu lagi proyek bersama Profesornya akan dimulai dan Jada harus mendampingi selama masa penelitian berjalan, sekaligus mendampingi volunteer. Padahal ia ingin sekali Seulgi mengikuti penelitian ini. Ia sangat yakin bahwa tidak akan terjadi apapun, bahkan peluang keberhasilan akan lebih besar dari kegagalan. Profesornya bukan orang sembarang. Namanya sudah dikenal seluruh penjuru negri sebagai peneliti medis senior. Pengalamannya pun sudah tidak perlu diragukan lagi. Sayangnya, walaupun sudah dijelaskan sedemikian rupa Jimin tetap menolak dengan tegas. Dan Jada pun tidak bisa membantah, toh ia hanya orang luar yang kebetulan hadir diantara keduanya.

"Ah, Park Jimin menyebalkan. Dari seluruh lelaki di dunia, kenapa harus Park Jimin?" keluh Seulgi dengan nada kesal, demi menutupi kesedihannya. "Kau bawa saja diriku diam-diam. Jangan sampai ketahuan lelaki itu, bagaimana?" usulnya lagi yang hanya bisa dijawab dengan kekehan kecil Jada. "Mana mungkin aku bisa melakukannya. Jimin akan langsung meringkusku dan menjebloskan ke penjara tanpa pengadilan jika aku membawa kabur kekasihnya."

Seulgi menghela nafas panjang. "Sialan itu memang memiliki kuasa besar." Dan karena kuasa itulah aku masih bisa hidup seperti ini walaupun macam orang lemah, batinnya.

Melihat Seulgi yang lumayan terhibur, Jada kembali menghadap komputernya. "Kau harus berhenti memanggilnya 'sialan'. Dia sudah sangat baik padamu."

"Dia sangat baik padamu," cibir Seulgi tak senang. "Tidak ada baik-baiknya sama sekali!" cercanya.

"Benarkah? Menurutku dia sangat baik. Tipikal kekasih impianku sih," cetus Jada.

"Dia itu sangat lemah. Kau goda dia, maka dia akan langsung berpaling padamu."

"Mana mungkin aku menggoda kekasih teman baikku?"

"Siapa yang digoda?"

Jada langsung menutup mulutnya terkejut ketika Jimin bersuara dari belakang. Lelaki itu pulang dengan beberapa kantung fast food.

"Bukan urusanmu!" ketus Seulgi cepat, bahkan dengan wajah tak senang mengetahui kehadiran Jimin. "Berhenti marah padaku, ini sudah seminggu lebih," balas Jimin tak kalah ketus. Lelaki itu meletakkan kantung yang ia tenteng diatas meja, lalu berkata, "Setelah makan siang kau bisa pulang, Jada. Maaf sudah merepotkanmu di akhir pekan. Aku dan Seulgi akan mengunjungi suatu tempat."

Wanita berkulit cokelat, Jada, tersenyum manis. "Jangan khawatir. Lagipula aku tidak ada kegiatan akhir pekan ini."

"Ah, satu lagi." Jimin meletakkan amplop cokelat yang diambil dari balik coat-nya lalu mendorong ke depan Jada. "Bayaranmu minggu ini. Dan sedikit tip untuk kau bersenang-senang," ucapnya sambil tersenyum. Senyum manis yang Jada suka. Bahkan mampu membuat rona merahnya muncul yang untungnya tertutupi oleh kulit cokelat tan miliknya. "Terima kasih."











###







"Aku ingin melihat langit cerah hari ini," cetus Seulgi, mengedarkan pandangan seolah ia sedang melihat dari balik jendela mobil.

"Sekedar informasi, langit sedang gelap saat ini," ejek Jimin yang langsung merubah mimik Seulgi. "Kalau begitu aku ingin melihat langit gelap seraya berdoa pada Tuhan untuk menambahkan petir dan menyambar lelaki keras kepala disampingku ini."

Jimin tertawa kecil. Hobinya selama seminggu terakhir adalah menggoda Seulgi yang nampaknya masih marah. Lagipula semua yang ia lakukan juga demi kebaikan wanita itu. Jika semuanya kembali seperti semula, Seulgi akan kembali seperti dahulu. Menjadi seorang pendendam yang tidak pernah Jimin inginkan. Mungkin dengan ini akan mampu menghentikan paksa wanita itu. Walaupun memang harus melewati beberapa penderitaan.

Sedikit perjalanan ke pinggiran kota sudah mampu menghilangkan penat Jimin dari kasus berat yang harus ia tangani akhir-akhir ini. Tentu saja tujuannya hanya satu, yaitu rumah Hoseok. Sudah cukup lama juga ia tidak bertemu dengan teman baiknya itu.

Namun pemilik rumah justru menyambut kedatangan mereka dengan wajah muram.

"Kau yakin dia benar-benar buta?"

Hoseok menatap Seulgi dari luar mobil penuh selidik. Yang ditatap hanya diam walaupun ia mendengarnya.

"Santai saja, Hyung."

Jimin membuka pintu samping mobil dan menuntun Seulgi turun.

"Kau yakin itu bukan akting? Mengingat dia menipu kau juga di rumah sakit jiwa," kata Hoseok lagi.

"Menurutmu?" sahut Seulgi, membalas perkataan Hoseok. "Menurutku kau masih berbahaya," jawab Hoseok dan membuat Seulgi tersenyum. "Tentu saja. Menjadi buta bukan berarti menjadi lemah, kan?"

Sambil melenggang pergi, Hoseok menyahut, "Pokoknya jangan dekat-dekat denganku."

Mereka memasuki rumah sederhana Hoseok yang dipenuhi oleh komputer-komputer rusak. Menyentuh beberapa monitor dan motherboard yang tergeletak sembarangan, Jimin bertanya, "Berapa banyak komputer yang kau perbaiki dalam seminggu?" Lelaki itu menatap takjub karena memang ia tidak tahu menahu tentang komputer. Berbeda dengan Hoseok yang begitu menekuni profesinya.

"Kau seorang mekanik komputer?" tanya Seulgi kaget. Hoseok hendak menjawab namun ditambah lagi oleh Seulgi. "Kalau begitu bisa kau perbaiki sesuatu dan setrum Jimin hingga tidak sadarkan diri?" Kening Hoseok mengerut mendengar pertanyaan wanita yang sudah duduk manis di sofanya. Ia menatap Jimin yang hanya memberikan senyum singkat. "Ceritanya panjang," gumam Jimin.

Kemudian Jimin menarik Hoseok untuk memisahkan diri dari Seulgi, meninggalkan wanita itu sendirian di ruang depan. Sebenarnya ini juga salah satu alasan Jimin ingin mengunjungi Hoseok karena ia tidak tahu harus bercerita pada siapa lagi. Jungkook bernasib sama dengannya dalam pekerjaan yang melelahkan sehingga ia tidak mau menambah beban lelaki itu. Yoongi dan Taehyung sedang dalam situasi yang sulit juga.

Cerita meluncur dari mulut Jimin tanpa tertinggal. Tentang pendapatnya, pendapat Jada, keinginan Seulgi, kemungkinan yang akan terjadi, pendapat Taehyung karena sebelumnya Jimin sempat berkonsultasi juga dan resiko yang akan didapat. Terakhir, ia meminta pendapat Hoseok.

"Pendapatku?"

Hoseok nampak berpikir. "Kau seharusnya tidak bertanya padaku, tanyakan pada Seulgi. Apa yang ada dibenaknya sampai ia menginginkan hal tersebut."

"Tapi, Hyung..."

"Jimin, keputusan tidak boleh jatuh oleh sepihak. Kau menanyakan pada yang bersangkutan juga. Apa dan kenapa. Lagipula, jika kau memosisikan dirimu sebagai dirinya, apa yang akan kau lakukan?"

Jimin terdiam. "Kau yang bilang bahwa dia masih berbahaya..."

"Karena aku memandangnya seperti apa yang kutahu. Bagaimana dengan kau? Sebagai seseorang yang memiliki perasaan padanya?"

Kata-kata tersebut menohok Jimin, tapi masih tidak melunakkan keras kepalanya. Hoseok menghela nafas panjang. "Begini saja... apa kau tidak sedih melihat wanita itu menderita?" hoseok menepuk bahu Jimin pelan. "Jika penglihatannya kembali, mungkin dia akan berubah pikiran. Mungkin dia akan memandangmu sebagai seorang lelaki kali ini. Pikirkan sesuatu yang positif, itu akan menenangkan hatimu."

Giliran Jimin yang menghela nafas. "Aku hanya tidak ingin dia kembali menjadi dulu," desis Jimin.

"Dan dia tidak ingin menjadi dirinya yang sekarang, Park Jimin."

JADED - Wild Liar IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang