4. Avoid

48 8 5
                                    

4. Avoid

Setelah pemeriksaan tadi sore, Masaki terlihat mengabaikan dan menghindariku. Bahkan makan malam kami yang biasanya di hiasi oleh obrolan hangat kali ini terasa sepi mendinginkan suasana hati kami.

Ya Tuhan....

Kulihat Masaki segera beranjak dari duduknya dan mencuci bekas makan malamnya di tempat cucian piring yang terpisah dari tempat biasa aku mencuci piring. Mungkin mencegah dia  menyebarkan virus di dalam rumah ini dengan lebih lagi.

Ku perhatikan punggungnya, berharap dia akan berbalik badan dan memberikan ciuman selamat malam. Namun, nyatanya dia hanya berlalu begitu saja tanpa menoleh kearahku. Aku merasakan sengatan di dalam dadaku.

Astaga ... Kumohon ... Jangan biarkan ini berlangsung selamanya...

Aku menyelesaikan makanku dan kemudian memanggilnya. "Masaki ..." Panggilku pelan. Langkahnya terhenti namun dia tak menoleh. Aku terdiam selama beberapa saat, kepalaku menunduk.

"Ada apa?" Tanyanya membuatku buyar dari lamunanku. Aku beranjak dari dudukku dan menghampiri Masaki namun dia kembali berjalan tanpa kata apapun, masuk ke dalam kamar kami.

Aku mengigit bibir bawahku. Ya Tuhan, kemana sikap tegasku yang kuperlihatkan pada Masaki kemarin? Mengapa  aku malah takut kalau aku bersikap tegas dan keras kepala padanya akab membuat dia semakin jauh?

Aku mengusap wajahku dan bersandar di pantry. Mengutuk diriku mengapa tak bisa seperti itu. Padahal kami baru saling mendiami dan jaga jarak satu meter selama beberapa jam tapi kenapa aku sudah merasa sangat merindukannya?

*******

Malam terus semakin tinggi dan udara semakin terasa menyesakkan namun aku tetap tak bisa tertidur. Kamar dengan single bed ini membuatku tak nyaman. Aku seperti kehilangan sesuatu.

Tubuhku bangkit dan aku beranjak dengan membawa selimut yang menyelimutiku. Ku lihat kearah kamar kami, aku dan Masaki, yang biasanya selalu jadi saksi bisu akan kehangatan yang kami bagi.

Apa aku diam-diam saja masuk kesana dan tidur di sebelahnya? Mungkin, nekat sedikit tak jadi masalah. Aku berjalan ke seberang ruangan dan berdiri di depan pintu kamar kami. Kuraih gagang pintunya perlahan dan kugerakkan. Tak bisa.

Masaki mengunci pintunya. Rupanya dia tahu kebiasaanku dulu. Ku hela napas sembari menyandarkan kepalaku di depan pintu kamar kami. Tanpa kusadari dengan cepat, aku sudah jatuh terduduk sembari kemudian bersandar di daun pintu itu.

"Masaki..." Panggilku perlahan. "Kamu udah tidur ya?" Tanyaku tanpa berharap untuk di jawab olehnya.

"Syukurlah kalau kamu sudah tidur." Kataku lagi. Aku tersenyu mengingat perasaan kesepian yang lagi-lagi kurasakan. "Aku tak bisa tidur. Mungkin karena terbiasa tidur bersama Masaki." Tawa kecilku lolos. Namun, aku tak yakin itu bisa di sebuat sebuah tawa atau bukan.

"Masaki, kamu sehat kan? Kamu pasti baik-baik saja kan?" Kataku mulai parau dan air mataku nyaris mengalir.

"Katakan, Masaki. Kamu pasti baik-baik saja. Tak akan ada yang sakit di antara kita, Masaki. Apalagi meninggalkan salah satu di antara kita." Kataku. Entah aku bicara pada siapa, tapi aku tak peduli.

Aku hanya ingin Aiba Masaki ku...

"Hiks... Masaki, kamu pasti sehat. Gak akan ada yang positif, Masaki." Aku terisak. Ku tekuk lututku dan ku peluk erat-erat.

"Jangan tinggalkan aku, Masaki... Kamu janji akan tetap di sebelahku!" Ku ketuk pelan pintu itu. Masih dengan terisak, aku terus berbicara.

"Aku mencintaimu, Masaki... Jangan pergi...." Isakkanku semakin keras. Air  mata tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Tak kusangka akan begini sakitnya saat kamu takut orang yang paling kamu sayangi akan terjangkit pandemi.

Tak ada yang ingin sebuah perpisahan kan?

"Jangan nangis... Nanti kamu sesak lagi..."

Aku terkejut begitu mendengar suara Masaki dari balik pintu ini. Isakkanku semakin keras. Air mataku juga tak berhenti mengalir. Ya Tuhan...

"Mou, dibilangin jangan nangis, nanti kamu sesak lagi,  loh..." Suara Masaki yang ku dengar dari balik pintu ini sangatlah lembut. Aku rindu.

Yang akan sesak nantinya kamu, Masaki....

Membayangkannya saja aku sudah tak kuat.
"Ma-Masaki, baik-baik aja'kan?" Tanyaku. "Uhn. Daijobou yo." Balas Masaki. Aku tersenyum di tengah isakkanku.

"Kita pasti sama-sama lagi. Kamu jangan nangis, dong." Aku semakin terisak mendengarnya. Tidak bisa, Masaki. Ini terlalu menyakitkan, melihatmu seperti ini. "Sekarang, aku gak bisa ngusap air mata di wajah kamu. Tapi, nanti, saat semuanya sudah kembali tenang, aku janji gak akan kemana-mana dan akan selalu ada saat kamu nangis sekalipun." kata Masaki.

Ucapannya selalu saja lembut seperti ini. Entah aku sanggup atau tidak, menerima kemungkinan terburuknya nanti.

"Janji, jangan nangis lagi!"

"Uhn."

Setega-teganya Masaki mengabaikanku, dia paling tak tega dan tak suka melihatku menangis.

Dan aku tak suka melihatnya kesakitan, seperti dulu.

-----------------

AIBA MASAKI, LO SEHAT YE! KUDU WAJIB HARUS SEHAT! 😭😭😭💚💚💚

See you. Xx 💞

[✓] When The Warm Spring Come With The Cold SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang