7. The Cold Snow

47 6 1
                                    

7. The Cold Snow

Aku terus bergerak gelisah di bangku penumpang. Tanganku tak bisa diam untuk memainkan jemari-jemariku. Sial, mobil ini lambat sekali jalannya.

"Sakurai-kun! Nyetirnya yang cepat!" Kataku gemas. Kulihat dua pasang mata melirik kearahku dengan tatapan mata gelisah.

Mereka kenapa jadi ngeliatin aku, sih!? Aku berdecak dan hendak menarik Sakurai untuk bertukar denganku. "Sini! Gantian aja nyetirnya sama aku!" Kataku.

"Mou! Gabisa!" Balas Sakurai tegas. Aku mendengus dan hendak mencekiknya dengan melingkarkan tanganku di sekitar lehernya. Namun, gerakkanku terhenti oleh ucapan pacar Sakurai yang duduk di sebelahnya.

"Gaboleh, obachan! Masaki-niichan gak izinin neechan untuk nyetir dalam keadaan panik dan cemas!" Ujar sosok perempuan yang ku kenal sebagai Kana Miyazaki. Sahabat Masaki yang sudah Masaki anggap sebagai adiknya sendiri.

Aku terdiam. Termenung dengan ucapannya dan kemudian kembali memilih untuk duduk diam di jok belakang. "Nah, diam-diam ya, Nyonya Aiba disana." Kata Sakurai membuatku berdecak kearahnya.

"Lolos kau kali ini, Sakurai!" Aku mengancamnya.

"Kowai!" Kudengar gumaman Sakurai.

Aku mengabaikannya dan terus memanjatkan doa, berharap agar Masaki baik-baik saja meski kabar yang Kana bawa  tidaklah mengindikasikan bahwa Masaki baik-baik saja.

Tidak... Aku tak boleh berburuk sangka dulu... Pasti Masaki baik-baik saja!

Aku terus bergerak gelisah begitu mobil Sakurai memasuki wilayah rumah sakit Tokyo, tanpa menunggu mobil itu berhenti di parkiran rumah sakit, aku langsung lompat keluar dan berlari masuk, mengabaikan teriakan Kana dan Sakurai yang menyuruhku untuk berhenti.

"Ruang isolasi khusus Covid-19... dengan pasien... Bernama Aiba Masaki dimana?" Tanyaku dengan napas tersengal. Kulihat wajah sang perawat di bagian resepsionis itu terkejut sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

Aku segera berlari kearah lift menekan lantai teratas rumah sakit. Namun, karena terlalu lama, aku memilih untuk naik lewat tangga darurat.

"Matte!" Kudengar suara Kana menyuruhku untuk berhenti. Namun aku tak mau mendengarkan. Ku abaikan rasa sakit di kakiku karena lompatanku tadi dari mobil Sakurai.

Tak ada yang lebih sakit selain melihat belahan jiwamu terbaring di rumah sakit....

Aku membuka pintu lantai yang kutuju, tanpa berhenti sedikitpun aku terus berlari menuju tujuanku.

Aku masuk ke salah satu ruangan dan mataku melebar melihat Masaki yang terbaring di depanku yang di beri batas bilik kaca dua lapis, dengan masker oksigennya dan segala macam alat medis di sekitarnya.

Aku mengigit bibir bawahku begitu melihat dokter terlihat melakukan sesuatu dengan alat kejut jantungnya. Ada apa? Apa yang terjadi?

Masaki! Kamu baik-baik saja kan!?

Aku mendekat kearah bilik yang memisahkanku dengan Masaki yang berada di ruang isolasi. Kusentuh kaca bening yang membuat mataku bisa melihat kearah Masaki.

Para dokter dan perawat nampak masih bolak balik melakukan sesuatu dengan alat kejut jantung itu. Namun, beberapa saat kemudian dokter menggeleng dan memasang wajah pasrah.

Apa yang terjadi!? Tunggu! Pasti ada yang salah!

Mataku bertemu pandang dengan dokter yang rupanya  Yoshizawa-sensei. Beliau menatapku kemudian menggeleng dan merunduk dalam-dalam.

Dadaku sesak. Mataku terasa perih dan basah. "TUNGGU! APA MAKSUDMU?! MASAKI BAIK-BAIK SAJA KAN!?" Aku berteriak histeris saat otakku menyadari sesuatu. Namun, hatiku tak mau melihatnya.

Kakiku hendak melangkah masuk ke dalam bilik dimana Masaki berada namun tertahan oleh seseorang yang menahan tanganku agar tak pergi.

Aku menoleh dan menemukan Matsumoto yang menatapku sedih. Di belakangnya ada Sakurai, Kana, Ninomiya dan Ohno dengan ekspresi yang sama.

Aku tertawa. Meski begitu air  mataku sudah mulai jatuh. "Ada apa dengan wajah kalian itu? Masaki baik-baik saja! Dia pasti sembuh!"

Matsumoto menggeleng dan memberikan amplop putih dengan logo rumah sakit yang sama. Aku menatapnya curiga. Biasanya yang di bawa amplop ini tidaklah baik. Aku harus waspada.

"Ini hasil rapid test milikmu." Ujar Matsumoto. Aku mengernyit. Pantas aku merasakan sedikit nyeri di hidungku. Ku buka amplop itu dengan cepat dan kulihat isinya.

"Nanti, kita obati lukamu ya." Lanjut Matsumoto namun aku mengabaikannya.

Negatif.

Aku terdiam. Ya Tuhan....

Kepalaku menoleh kearah Masaki hendak memberikannya kabar baik ini, namun mataku menangkap para perawat sudah melepaskan masker Masaki dan mata pria belahan jiwaku itu tertutup rapat. Seakan-akan tak mungkin lagi untuk terbuka.

Aku histeris. Menjerit agar perawat itu tak melakukan hal itu. Masaki masih hidup! Dia berjanji tak akan meninggalkanku!

"LEPASKAN! AKU MAU KE MASAKI! DIA MASIH HIDUP!"

Aku terus menjerit histeris dengan air  mataku yang tak henti untuk mengalir. Aku menggeleng dan mengacak-acak rambutku. Tubuhku jatuh terduduk dengan Matsumoto yang memegangi tanganku.

Aku terisak. Menangis sejadi-jadinya. Kulempar amplop hasil test milikku. Aku tak pernah suka amplop rumah sakit. Kabar yang di bawanya tak pernah baik untukku.

Aku terisak terus hingga kurasakan dadaku sesak. "Obachan..." Kurasakan sepasang tangan mendekapku. Namun, kutahu ini bukan Masaki. Dia tidak semungil ini.

"Masaki-niichan pasti tak mau hal ini terjadi." Bisik suara yang ku kenal sebagai Kana. Aku menangis. Membalas pelukkan Kana.

"Aku masih butuh Masaki, Kana.... Aku masih butuh dia di sisiku.... Aku mencintainya, Kana.... Sangat mencintainya..." Ujarku dengan sesegukan dan napas tersengal. Hatiku sakit. Otakku berusaha menerima ini tapi tetap tak bisa.

Kana mengusap punggungku. Bermaksud menenangkanku. "Niichan juga mencintai obachan kok. Aku percaya itu."

Aku memberontak kembali saat ingat surat Masaki yang ku temukan di kamarku. Kurasakan Kana langsung memelukku dari belakang yang sedang menggedor-gedor kaca bening yang memisahkan ku dengan Masaki.

"BANGUN! MASAKI! KAMU DENGAR AKU KAN!? MASAKI!"

"MOU, AIBA MASAKI!"

Tapi, aku tak percaya takdir, Kana...
Aku marah, sedih, kecewa... Mengapa Tuhan dengan mudahnya mempermainkan takdirku...

Seharusnya ini musim semi... Tapi, kenapa dinginnya salju masih terasa setiap aku mengingat Masaki...

-----------------------

Bangke... Aing nangis woi... Nangis mulu gue ngetik ginian... ಥ‿ಥ

See you. Xx💚💕

[✓] When The Warm Spring Come With The Cold SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang