5. Kertas di Ujung Pintu

46 7 7
                                    

5. Kertas di Ujung Pintu

Aku terbangun dengan ketukan keras di pintu kamar. Kutegakkan kepalaku dan kemudian sadar bahwa aku tertidur di depan pintu kamar Masaki dan diriku. Aku termenung selama beberapa saat, merasakan rasa pegal karena semalaman tertidur dengan posisi duduk.

Lamunanku buyar begitu ku dengar ketukan pintu lagi dan desah napas seseorang yang terdengar sesak di sertai batuk-batuk. Aku tersentak dan panik. "Masaki? Ne, Masaki!? Kamu bisa dengar aku?!" Seruku.

Aku panik. Kakiku segera beranjak untuk mengambil kunci cadangan kamar dan kembali. Namun, langkahku terhenti begitu kulihat secarik kertas terselip di bawah pintu, aku berjongkok dan mengambilnya.

Ada  tulisan tangan Masaki yang sekarang tak terlihat begitu jelas karena huruf kana nya yang ditulis mungkin dalam keadaan gemetar.

Aku semakin panik melihat bentuk tulisannya. Tidak. Masaki kamu kuat....

Aku berusaha menguatkan diriku sendiri dan menetralkan rasa panikku.

Telepon Matsujun.
Jangan dekat-dekat denganku kecuali petugas medis.

Ku remas kertas itu. Aku menangkup mulutku dengan sebelah tanganku, menahan tangisanku yang mendadak mendesak keluar. Tidak, jangan, kumohon...

Aku memejamkan mata sembari menunggu teleponku tersambung ke Matsumoto. Ayo cepatlah angkat!

"Moshi-moshi? Dare?"

Aku menahan napasku untuk menetralisirkan isakkanku yang bisa saja keluar kapanpun. Setelah merasa tenang, aku berusaha bicara.

"Matsumoto, Ma-Masaki, ne... Dia.... " Aku tak sanggup melanjutkan ucapanku karena sesak akibat berusaha menahan tangisanku.

"Tunggu disana! Aku akan segera kesana bersama tim medis, okay! Jaga Aiba-kun!"

Kututup telepon tersebut dan kulempar ke atas sofa. Kakiku kembali melangkah kearah pintu kamar kami dan kemudian memutar kuncinya. Aku diam sebentar sebelum membuka pintu itu. "Ma-Masaki... Aku buka pintunya ya." Kataku parau.

Kudengar balasan berupa ketukan keras dan napas yang semakin tersengal dengan disertai batuk-batuk, seakan-akan melarangku untuk membukanya.

Aku mengigit bibirku. Ya Tuhan... Andai aku bisa  menghilangkan rasa  sakitnya...

"Kamu kuat, Masaki! Kamu kuat! Bertahanlah!" Ujarku dengan seulas senyum meski rasanya tak mungkin Masaki bisa melihatnya. Terdengar ketukan halus di pintu.

Aku mengatupkan tanganku di depan mulutku. Terisak lagi. Entah sudah berapa kali aku menangis selama tiga hari ini.

Tapi, aku tak peduli. Yang kupikirkan saat ini hanyalah Masaki. Hanya dia seorang...

Aku mendongak begitu mendengar ketukan pintu depan. Tanpa berpikir lagi, aku segera berlari ke depan dan membukakan pintu. Mataku melihat Matsumoto dengan maskernya dan beberapa orang petugas medis dengan APD lengkap, juga manajer apartemen.

"Matsumoto..." Aku sudah hendak menangis lagi namun Matsumoto menarik tanganku untuk keluar dan membiarkan para petugas medis itu mengurus sisanya.

Aku bersandar ke dinding di sisi apartemenku dan jatuh terduduk. Tangisku kembali keluar tanpa bisa di cegah.

Matsumoto menyentuh pundakku. Aku melihat kearahnya dengan mata yang sembab. "Kami baru dua tahun, Matsumoto... Baru dua tahun..." Kataku dengan isakkan.

Kulihat Matsumoto mengangguk dengan wajah masamnya yang terlihat dari setengah wajahnya yang tak tertutup. "Tapi, mengapa Tuhan tega melakukan ini padaku... Pada kebahagiaan kami... Kenapaa, Matsumoto..."

Tak lama, sebuah tandu keluar, di atas sana terbaring Masaki yang tak sadarkan diri dengan masker oksigen menyelimuti hidung dan mulutnya. Aku beranjak dan hendak menghampiri Masaki namun Matsumoto menahanku.

"Lepaskan! Aku mau ikut Masaki!" Aku berseru sembari memberontak dari kedua tangan Matsumoto yang menahan ku dari belakang. "MATSUMOTO! LEPASKAN!"

"Tidak..."

Ucapannya barusan membuatku semakin memberontak namun perlahan berontakkanku terhenti karena tandu yang membawa Masaki sudah menghilang di balik lift.

Aku jatuh terduduk dengan tangan yang menangkup wajahku. Mengapa kau bawa dia, Tuhan? Mengapa....
Aku masih belum menjadi istri yang baik baginya. Aku belum memberikan anak untuknya.

"Ini hasil rapid test Aiba-kun."

Aku menurunkan tanganku yang menangkup wajahku dan menerima sebuah amplop putih dengan logo rumah sakit Tokyo di pojok kanan bawah. Aku melirik Matsumoto sebentar sebelum akhirnya membuka surat tersebut. Ku keluarkan kertas di dalamnya.

Mataku bergerak perlahan membaca semua isi di dalam sana. Entah ini bisa disebut sebuah keberuntungan atau tidak tapi aku bisa  membaca semuanya dengan tanpa harus bertanya pada yang paham soal istilah medis.

Tapi, semua yang ada di sana membuat dadaku sesak, air mataku mengalir dan kemudian pandanganku menggelap. Jatuh ke dalam kegelapan pekat yang aku tak ingin ada di dalamnya.

Yang ku lihat terakhir sebelum aku benar-benar jatuh adalah sebuah tulisan.

Aiba Masaki positif (+) Covid-19 (Corona)

Ya Tuhan, mengapa tak Engkau jadikan aku saja yang positif penyakit itu...

-----------------------

HUWEEEE!!! PASTI! AIBA  MASAKI PASTI NEGATIF! DIA SEHAT! SEHAT WALAFIAT!

😭😭😭😭😭

See you. Xx 💕💚

[✓] When The Warm Spring Come With The Cold SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang