Sudah tiga bulan lamanya Negeri Kakung dilanda wabah misterius yang mematikan, setiap pagi surat kabar mencatat jumlah korban yang terus bertambah dan tak terkendali.
Desa Woku, Desa yang terletak di ujung Selatan Negeri Kakung tempat dimana Fatur tinggal tak pernah memperdulikan berita yang tercatat disurat kabar, mereka tetap menjalani hidup seperti hari-hari biasa, tidak ada rasa was-was yang berkecamuk, tidak ada rasa khawatir yang bergelut dan tak ada rasa kepanikan yang melanda, hal ini mungkin karena belum adanya satu korbanpun dari penduduk Desa Woku.
Berbeda dengan warga yang lain, Fatur, pria muda yang gemar membaca itu tak kunjung tenang selama bebarapa bulan terakhir setelah kabar wabah mulai dimuat di berbagai surat kabar, ia terus mencari tau informasi yang jelas tentang wabah misterius yang sedang melanda negerinya.
Pagi itu langit cerah dengan awan putih menghiasi bukit-bukit hijau yang mengelilingi Desa Woku. aktifitas warga masih tetap berjalan seperti pagi-pagi sebelumnya.
Tak terkecuali dengan Fatur, di bawah pohon belimbing rimbun depan rumah berwarna biru, ia terlihat duduk menunggu pak tua pengantar surat kabar yang selalu setia mengantarkan surat kabar pagi untuknya.
Dari kejauhan terlihat sepeda kumbang tua dengan keranjang depan berisikan surat kabar melaju diatas aspal tua berkerikil tanpa hambatan.
"Jumlah korbannya bertambah?" Belum lagi sepeda itu benar-benar berhenti Fatur sudah bertanya dengan nada yang cukup tenang.
"Semakin buruk, wabahnya meluas, bahkan salah satu petinggi negeri ini dikabarkan meninggal". Sambil mengambil salah satu surat kabar yang bertumpuk di keranjang depan sepeda kumbangnya, pak tua itu menjawab tanpa ragu.
"Ini, kau baca saja sendiri". Setelah memberikan Fatur gulungan surat kabar, Pak tua itu pun kembali mangayuh kendaraan tempurnya. Sekejap ia sudah melesat beberapa meter meninggalkan Fatur.
"Hei pak tua, upahmu belum kau ambil". Teriak Fatur yang lupa memberikan upah untuk pak tua.
"Tidak perlu, melihat kau mendapatkan bahan bacaan saja aku sudah cukup senang". Sambil mengangkat tangan kiri diatas kepala, teriak pak tua tanpa menoleh kebelakang.
Bukan kali pertama pak tua memberikan Fatur surat kabar secara cuma-cuma, entah apa yang dipikirkannya.
Penduduk Negeri Kakung adalah penduduk dengan minat membaca yang sangat rendah. Di Negeri Kakung, menemukan seorang pria muda yang gemar membaca sangatlah sulit, meski demikian adanya, pak tua tetap saja setia menjual surat kabar dari waktu ke waktu.
Kursi kayu tua panjang di teras rumah biru tempat tinggal Fatur selalu menjadi tempat favorit ia menikmati surat kabar pagi. Sambil menyalakan sebatang kretek dengan pemantik api berwarna coklat gelap, Fatur kini mulai menatap tajam halaman depan surat kabar dengan gambar hitam putih yang memperlihatkan poster Jenderal Barta, Kepala pertahanan Negeri Kakung.
"KAKUNG - Wabah yang melanda negeri Kakung terus memakan korban. Ibu Kota negeri Kakung menjadi tempat dengan dampak paling parah. Setelah dirawat tiga hari dirumah sakit Jaya Agung, Selasa kemarin Jenderal Barta dinyatakan meninggal dunia akibat terjangkit Wabah misterius tersebut. Selain itu Desa-desa di pesisir Utara Negeri Kakung juga mulai banyak menelan korban, berdasarkan berita yang telah dihimpun total korban telah mencapai dua ratus korban dan tercatat dua puluh enam korban baru meninggal dunia. Rabu, (2 Februari 1962)." Keterangan surat kabar disamping poster Jenderal Barta.
"Gila, sekelas Jenderal saja bisa sampai meninggal, masalah wabah ini tidak boleh dianggap sepeleh". Batin Fatur sedikit terguncang dengan isi berita yang baru saja ia baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Negeri Kakung
General FictionPada tahun 1962 sebuah negeri terserang wabah yang tak bisa dikendalikan. Para ilmuwan dan dokter yang berusaha menciptakan obat untuk segera mengakhiri penyebaran wabah terus mendapatkan hambatan. Meski mendapat hambatan dari berbagai pihak, dua or...