5. Aku nggak membunuhnya!

118 20 0
                                    

Jantung Steve berdebar cepat, dia lantas duduk di sofa untuk menenangkan diri. "Apa benar-benar ada korban di sana?"

"Ya. Korban meninggal sewaktu ambulance datang. Kalau kami lebih cepat mencari, mungkin nggak akan terlambat."

Steve langsung mematikan ponselnya, mengusap rambut hitamnya dengan frustrasi. Andai dia tidak buru-buru ke rumah sakit, mungkin nyawa orang itu masih tertolong. Dia jelas masih mendengar orang itu meminta tolong.

Setelah penyesalan mendalam itu, lalu Steve teringat Ares. Dia kembali menghubungi Smith.

"Bang, apa ada anak bisu bermasker hitam saat kamu di sana?"

Smith di ujung telepon sebenarnya sangat kesal karena Steve memutus teleponnya sesuka hati, tapi setelah mendengar suara adiknya yang panik ini, amarahnya menguap begitu saja. "Nggak ada anak yang kamu maksud."

"Bagaimana dengan senjata yang dipakai pembunuh? Apa itu benar-benar palu? Apa mayatnya dipukul pakai palu sampai mati?"

"Steve, aku nggak bisa jabarkan kasus ini karena akan menyalahi kode etik kepolisian. Aku masih harus urus beberapa hal. Sebaiknya kamu istirahat sekarang."

Steve benar-benar mengakhiri panggilan telepon kali ini, meski mengkhawatirkan Ares setengah mati. Pikirannya berkelana ke berbagai asumsi. Bagaimana kalau Ares ternyata masuk ke tempat itu dan bertemu pembunuhnya? Bagaimana kalau Ares dibunuh oleh pembunuh itu karena coba menyelamatkan korban? Pada akhirnya, Steve dipenuhi rasa bersalah karena membawa Ares dengan semua masalah ini.

Selagi Steve memikirkan semua itu, erangan kesakitan terdengar dari brankar Lila. Steve segera bangkit, mendatangi adiknya yang berkeringat dingin, dan bergumam sesuatu.

"Il... Jangan, Nil... Nil..."

Steve menghela napas, lalu menggenggam tangan Lila. Dia sudah tahu kalau adiknya ini selalu bermimpi buruk tentang seseorang bernama Nil sejak dulu. Hanya sambil memeluk boneka Stitch, baru Lila bisa tidur lelap, tapi saat ini tidak ada bonekanya. Sebagai gantinya, Steve menggenggam tangan Lila, dan menepuk-nepuk pelan punggung tangan pucat itu sambil bersenandung lirih.

"Kamu mimpi apa, Lilo?" lirih Steve sembari mengusap keringat di dahi Lila. "Siapa Nil? Apa dia penyebab keluargamu meninggal?"

🌺🌺🌺

Ares membuka pintu rumah perlahan. Dia membuka sarung tangan tebalnya yang berdarah dan memasukkan ke saku celana. Setelah membuka sepatu, kakinya merasakan dingin keramik, lalu terdengar suara sendok beradu dengan piring dari dapur. Dia lantas mengambil payung di balik pintu, berjalan pelan ke dapur. Langkahnya pasti, tatapannya tak gentar, bahkan iris gelapnya masih tenang seperti biasa seolah tak ada yang dia takutkan.

Mencapai dapur, Ares menyalakan lampu. Terlihat Andika menyeruput mie dalam gelap, dengan cahaya dari lampu ponsel sebagai penerangnya.

"Oh..? Ternyata bukan pemadaman listrik, ya?" tanya Andika, di wajahnya terpasang senyum tanpa dosa. "Kau sudah makan, Keponakan?"

Ares menghela napas. Pamannya pastilah masih mabuk. Meletakkan kembali payung ke balik pintu, pemuda itu lalu memerhatikan dapur yang berantakan. Dia melepas ransel, bergerak ke wastafel. Dibasahinya kain lap di dekat rak piring, kemudian membersihkan muntah Andika yang berserakan di lantai.

Pink Peonies [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang