BAGIAN 1

722 23 0
                                    

Malam sudah begitu larut menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu. Seluruh jalan di kota kadipaten itu kelihatan sunyi senyap, tanpa terlihat seorang pun berkeliaran di sepanjang jalan tanah berdebu ini. Angin bertiup cukup kencang, menyebarkan udara dingin dan debu di sepanjang jalan.
Di malam yang sunyi ini, terlihat seseorang tengah berjalan perlahan-lahan memasuki Kota Kadipaten Galumbu. Dari bentuk tubuhnya yang ramping dan berkulit putih halus terbungkus pakaian ketat berwarna hitam, jelas kalau orang itu adalah wanita. Dia tampak terus berjalan memasuki kota kadipaten ini, seakan tidak mempedulikan kesunyian dan hembusan angin yang begitu dingin menusuk tulang.
Dari raut wajahnya yang cantik, kelihatan kalau usianya masih muda. Paling-paling baru sekitar dua puluh satu tahun. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, tanpa berkedip memandang lurus ke ujung jalan yang dilaluinya. Sebilah pedang yang ujung gagangnya berbentuk sebuah bintang berwarna kuning keemasan, tersampir di punggungnya. Meskipun ayunan langkahnya lambat-lambat, tapi sangat ringan hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Dari sini bisa diduga kalau gadis itu bukan orang sembarangan dan pasti memiliki kepandaian tinggi.
"Hm...."
Sedikit gadis itu menggumam, ketika di ujung jalan di depan terlihat dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Maka ayunan kakinya dihentikan sebentar, kemudian kembali berjalan dengan sikap sangat tenang. Sementara dua orang laki-laki yang berjalan ke arahnya semakin dekat saja, sehingga mereka bertemu tepat di tengah jalan.
"Malam-malam begini mau ke mana, Nyi?" tegur salah seorang pemuda itu.
"Hm...."
Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan gumaman saja oleh wanita itu.
"Terlalu berbahaya jalan malam-malam begini, Nyi," kata pemuda satunya lagi.
"Hm."
Lagi-lagi gadis itu hanya menggumam sedikit saja. Sementara, dua pemuda ini saling melirik dan memberi senyum. Memang bentuk tubuh dan wajah gadis ini bisa mengundang hasrat kaum lelaki.
"Boleh kuantar, Nyi...?" salah seorang pemuda itu menawarkan jasa dengan senyuman tersungging di bibir.
"Minggirlah. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah tikus jelek macam kalian!" tiba-tiba saja gadis cantik berbaju hitam itu mendengus dingin.
"Heh...?!"
Tentu saja dengusan bernada kasar itu membuat kedua pemuda ini jadi tersentak kaget. Tapi tidak lama kemudian, kedua pemuda itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sedangkan gadis berbaju hitam ini hanya diam saja. Namun sorot matanya tertuju lurus ke depan, seakan tidak mempedulikan tawa kedua pemuda di depannya.
"Jangan terlalu galak begitu. Kami berdua ini orang baik-baik. Tidak ada maksud kotor di dalam hati kami, Nyi. Kecuali, kalau kau memang menginginkannya. He he he...."
"Ha ha ha...!"
"Hhh!... Mau ke mana, Nyi? Boleh kami antar pulang...?"
"Kalian sudah mulai memuakkan."
"He he he.... Jangan galak-galak, Nyi. Kau tambah cantik kalau galak begitu."
"Baiklah. Apa yang kalian inginkan...?"
"Ha ha ha...!"
Kedua pemuda itu jadi terbahak-bahak. Namun belum juga tawa mereka terhenti, mendadak saja....
"Hih!"
Sret! Bet!
Begitu cepat gadis berbaju hitam ini bergerak mencabut pedangnya, dan langsung dibabatkan ke arah dada kedua pemuda di depannya.
Wuk!
"Akh!"
"Aaa...!"
Tahu-tahu kedua pemuda itu sudah ambruk menggelepar di tengah jalan, dengan dada terbelah lebar mengeluarkan darah segar. Sementara dengan gerakan manis sekali, gadis cantik berbaju hitam itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.
"Hhh! Phuih!"
Sambil menyemburkan ludahnya, gadis itu langsung saja melangkah pergi. Ditinggalkannya kedua orang pemuda yang masih menggelepar, meregang nyawa di tengah jalan ini. Tapi tidak berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah mengejang, lalu kaku tidak bergerak-gerak lagi. Sementara, gadis berbaju hitam itu sudah lenyap tertelan gelapnya malam.
Jeritan melengking dari kedua pemuda itu rupanya membuat penduduk Kota Kadipaten Galumbu jadi terbangun dari buaian mimpi. Terlebih lagi, yang rumahnya dekat jalan itu. Dan sebentar saja, sudah banyak pelita yang menyala. Lalu, disusul munculnya orang-orang dari dalam rumah. Mereka jadi tersentak kaget, begitu mendapati dua orang pemuda sudah tergeletak tak bernyawa di tengah jalan dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Malam itu juga, seluruh penduduk di Kota Kadipaten Galumbu jadi gempar.
Tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi. Sementara gadis berbaju hitam tadi sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Malam yang semula terasa sunyi dan dingin, kini jadi hangat oleh semakin bertambah banyaknya orang yang memadati jalan ini. Mereka ingin melihat dua sosok mayat yang menggeletak di tengah jalan. Namun, tidak ada seorang pun yang berusaha mendekati dan memindahkan kedua pemuda malang itu.
Mayat kedua pemuda itu baru diangkat, setelah muncul sepuluh orang prajurit kadipaten. Prajurit-prajurit itu segera menanyakan apa yang terjadi, tapi tidak seorang pun yang tahu. Mau tak mau mereka hanya bisa mengurus mayat kedua pemuda itu. Dan malam pun terus merayap semakin larut. Kejadian malam ini membuat semua orang jadi bertanya-tanya, tapi memang sulit menemukan jawabannya.
Kematian dua orang anak muda semalam, bukan hanya menjadi buah bibir penduduk Kota Kadipaten Galumbu. Tapi juga sudah sampai terdengar telinga Adipati Gadasewu, orang yang berkuasa di Kadipaten Galumbu ini. Entah kenapa, sikap Adipati Gadasewu jadi berubah setelah mendengar kematian dua orang pemuda semalam. Dan ini tentu saja membuat Ki Jalaksena, orang yang paling dekat dengannya merasa keheranan. Sejak mendengar kabar itu tadi pagi, Adipati Gadasewu terus menyendiri dan merenung di taman belakang istana kadipatenan.
"Gusti Adipati...."
"Oh... kau, Ki Jalaksena. Ada apa...?"
Adipati Gadasewu agak terperanjat begitu Ki Jalaksena menegurnya, saat sedang duduk menyendiri di dalam taman belakang istana kadipatenan ini. Ki Jalaksena segera memberi sembah, kemudian mengambil tempat di depan adipati yang berusia muda ini.
"Maaf, Gusti. Hamba datang menghadap tanpa diminta," ujar Ki Jalaksena sambil memberi sembah hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Adipati Gadasewu hanya tersenyum saja. Meskipun usianya jauh lebih muda, tapi kedudukannya memang jauh lebih tinggi daripada laki-laki tua ini. Dan sudah barang tentu, pangkat tidak melihat perbedaan usia. Kini, Adipati Gadasewu bangkit berdiri dan melangkah ke balik kursi panjang yang tadi didudukinya. Sedangkan Ki Jalaksena tetap duduk bersimpuh di atas rerumputan taman ini. Begitu hormat sikapnya. Bahkan kepalanya sedikit pun tidak diangkat, menekun rerumputan di depannya.
"Ada yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?" tanya Adipati Gadasewu langsung menebak
"Jika Gusti Adipati tidak marah."
"Apa yang harus kumarahi...?"
"Maaf, Gusti."
"Katakan saja, Ki. Apa yang ingin kau bicarakan denganku."
Ki Jalaksena tidak langsung mengutarakannya, dan terdiam beberapa saat. Sementara, Adipati Gadasewu hanya menunggu dan memandangi dengan sabar. Perlahan Ki Jalaksena mengangkat kepalanya. Segera diberikannya sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, seakan meminta izin untuk mengutarakan apa yang terkandung dalam hatinya saat ini.
"Maaf, Gusti. Sejak peristiwa semalam, hamba melihat sikap Gusti jadi lain. Sejak pagi tadi, Gusti selalu menyendiri di dalam taman ini. Maaf atas kelancangan hamba memperhatikan Gusti," ucap Ki Jalaksena dengan sikap sangat hormat. Lalu kembali diberikannya sembah hormat.
Namun kata-kata yang diucapkan Ki Jalaksena tidak membuat adipati muda ini jadi tersinggung. Bahkan jadi tersenyum. Lalu Adipati Gadasewu duduk kembali di kursi panjang yang terbuat dari kayu ini. Dipandanginya laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersimpuh di depannya. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam.
"Aku memang memikirkan kejadian semalam, Ki. Terus terang, seakan-akan peristiwa malam tadi memberi suatu tanda padaku, kalau kadipaten ini tidak lama lagi akan menghadapi suatu persoalan yang tidak bisa dipandang ringan," jelas Adipati Gadasewu pelan, disertai tarikan napasnya yang dalam.
"Firasat apa, Gusti?" tanya Ki Jalaksena.
"Entahlah, Ki. Sepertinya kejadian semalam merupakan awal peristiwa berdarah berikutnya," sahut Adipati Gadasewu, agak mendesah suaranya.
"Gusti! Sebaiknya hal itu tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Mungkin hanya pembunuhan biasa saja. Antara anak-anak muda," hibur Ki Jalaksena berusaha menenangkan pikiran adipati muda ini.
"Mungkin, Ki. Tapi...."
"Tapi kenapa, Gusti?"
"Hatiku jadi tidak enak, Ki. Aku sendiri tidak tahu, seakan-akan peristiwa semalam terjadi begitu dekat di depan mataku."
"Ah! Sudahlah, Gusti. Hamba rasa itu hanya perasaan Gusti sendiri."
"Hhh...!"
Beberapa saat mereka terdiam.
"Gusti, kedatangan hamba ke sini sebenarnya ingin mengabarkan, kalau Gusti Adipati ditunggu seseorang," jelas Ki Jalaksena lagi.
"Siapa, Ki?"
"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Gusti. Katanya, ingin langsung bertemu Gusti Adipati sendiri. Dan hamba tadi memintanya menunggu di pendopo depan."
"Hm.... Apakah dia penduduk kadipaten ini?"
"Melihat dari pakaiannya, seperti bukan. Dan dia membawa pedang, Gusti."
"Orang persilatan..?"
"Mungkin."
"Baiklah, Ki Aku akan menemuinya. Suruh dia menunggu di bangsal agung."
"Baik, Gusti."
Setelah memberi sembah hormat, Ki Jalaksena bergegas meninggalkan adipati muda itu. Beberapa saat Adipati Gadasewu masih duduk merenung dalam taman ini. Dan baru setelah Ki Jalaksena tidak tidak terlihat lagi, taman belakang istana kadipatenan yang sangat megah ini ditinggalkannya.
Kadipaten Galumbu ini memang sangat besar, sehingga tidak heran kalau istana kadipatennya juga megah. Bahkan seperti bangunan istana kerajaan saja. Kadipaten Galumbu juga memiliki prajurit yang cukup banyak, hingga hampir di setiap sudut selalu terlihat para prajurit berjaga-jaga.
Adipati Gadasewu yang masih berusia sekitar tiga puluh tahun itu duduk dengan agungnya di kursi berwarna kuning keemasan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi seorang laki-laki berusa sekitar dua puluh lima tahun yang duduk bersimpuh di lantai, sekitar sepuluh langkah di depannya. Di belakangnya terlihat Ki Jalaksena duduk bersimpuh mendampingi. Sementara sekitar sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak, terlihat berjaga-jaga di sekitar ruangan yang berukuran cukup luas dan megah ini
"Kisanak. Rasanya, aku belum pernah melihatmu. Ada keperluan apa hingga kau ingin bertemu denganku?" terdengar lembut dan ramah sekali suara Adipati Gadasewu.
"Maaf, Gusti Adipati. Hamba adalah utusan dari puncak Gunung Halimun," sahut laki-laki muda bertubuh kekar, terbungkus baju dari bahan sederhana berwarna biru. Sikapnya juga hormat sekali.
"Hm... Siapa namamu, Kisanak?" tanya Adipati Gadasewu lagi dengan kening berkerut
"Nama hamba Rondokulun, Gusti Adipati."
"Lalu, siapa yang mengutusmu?"
"Guru hamba, Eyang Gajah Sakti."
Kening Adipati Gadasewu jadi berkerut. Dipandanginya laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Rondokulun, utusan Eyang Gajah Sakti yang bermukim di puncak Gunung Halimun ini. Tapi beberapa saat kemudian, pandangannya beralih pada Ki Jalaksena.
"Ki Jalaksena...."
"Hamba, Gusti Adipati."
"Tinggalkan aku berdua saja dengannya. Juga kalian semua, Prajurit."
"Tapi Gusti...."
"Tdak apa-apa, Ki. Aku kenal betul Eyang Gajah Sakti. Dan sebagai utusannya, tentu dia membawa kabar penting yang hanya aku sendiri yang boleh mengetahuinya," kata Adipati Gadasewu memutuskan ucapan Ki Jalaksena.
"Baik, Gusti. Hamba akan tetap berjaga-jaga di depan pintu," ujar Ki Jalaksena tidak bisa lagi membantah.
Ki Jalaksena memberi sembah hormat, lalu bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah ke luar dari ruangan ini, diikuti para prajurit yang memang tadi diperintahkan untuk berjaga-jaga. Setelah Ki Jalaksena tidak terlihat lagi di balik pintu, Adipati Gadasewu bangkit dari kursinya. Dihampirinya Rondokulun yang masih tetap duduk bersimpuh di lantai beralaskan permadani berbulu tebal
"Rondokulun, bangunlah...," ujar Adipati Gadasewu meminta.
"Hamba, Gusti Adipati."
Setelah memberi sembah, Rondokulun bangkit berdiri. Tapi sikapnya masih tetap hormat, tanpa sedikit pun berani mengangkat kepalanya. Sedangkan Adipati Gadasewu merayapinya beberapa saat dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
"Kau datang ke sini diutus Eyang Gajah Sakti. Kalau demikian, pasti ada kabar yang sangat penting, hingga kau ingin bertemu langsung denganku," kata Adipati Gadasewu.
"Benar, Gusti Adipati. Hamba membawa kabar yang sangat penting dari Eyang Gajah Sakti," sahut Rondokulun.
"Hm, katakan kabar apa yang kau bawa."
"Gusti, sebenarnya Eyang Gajah Sakti sudah tiada...," pelan sekali suara Rondokulun.
"Apa...?!"
"Pesan yang hamba bawa, diucapkan pada saat terakhir."
Adipati Gadasewu hanya diam saja, seperti tidak mendengarkan. Memang, hatinya tadi begitu terkejut saat mendengar Eyang Gajah Sakti yang dikenal sebagai pertapa di puncak Gunung Halimun sudah tiada. Sungguh suatu kabar yang tidak diinginkan.
"Gusti...."
"Oh...?!" Adipati Gadasewu tersentak. Buru-buru sikapnya diperbaiki.
"Hm, Rondokulun. Bagaimana meninggalnya Eyang Gajah Sakti?" tanya Adipati Gadasewu.
"Hamba sendiri tidak tahu apa yang terjadi, Gusti. Saat itu, hamba sedang mencari kayu bakar. Tapi belum juga terkumpul, terdengar jeritan yang datangnya dari arah pertapaan. Hamba langsung kembali, dan mendapatkan Eyang Gajah Sakti sudah terkapar berlumuran darah."
"Jadi Eyang Gajah Sakti dibunuh orang?"
"Benar, Gusti. Sayangnya, hamba tidak tahu pembunuhnya. Tapi Eyang Gajah Sakti sempat menitipkan pesan padaku agar disampaikan pada Gusti Adipati Gadasewu di Kadipaten Galumbu ini"
"Apa pesannya?"
"Eyang Gajah Sakti meminta agar Gusti Adipati berhati-hati. Seseorang akan mencari dan membunuh Gusti. Tapi bukan hanya itu saja. Karena yang paling penting, Eyang Gajah Sakti juga berpesan agar Gusti Adipati menjaga satu-satunya barang yang dititipkannya."
"Hm...."
"Maaf, Gusti. Eyang Gajah Sakti sudah satu pekan meninggal. Dan hamba baru sempat datang hari ini, karena harus mengurus pertapaan dulu," ucap Rondokulun.
"Itu lebih baik, Rondokulun. Daripada tidak sama sekali."
"Gusti, hamba sudah melaksanakan amanat Eyang Gajah Sakti. Sekarang, hamba mohon diri," ujar Rondokulun berpamitan.
"Kau ingin ke mana, Rondokulun?"
"Hamba akan pergi mengembara, Gusti. Karena hamba sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Sedangkan untuk kembali ke pertapaan, sudah tidak mungkin lagi. Dan yang penting, hamba sudah melaksanakan pesan Eyang Gajah Sakti untuk membakar habis pertapaan," sahut Rondokulun.
"Sebaiknya kau jangan pergi, Rondokulun. Tinggallah di sini. Paling tidak, untuk beberapa hari. Masih banyak yang ingin kuketahui tentang Eyang Gajah Sakti selama aku tidak lagi tinggal di sana," kata Adipati Gadasewu meminta.
"Tapi, Gusti...."
"Kau ada keperluan lain?"
Rondokulun menggeleng.
"Nah! Kalau begitu, tinggallah di sini barang beberapa hari. Aku pasti akan membutuhkanmu di sini. Paling tidak, untuk menghadapi pembunuh Eyang Gajah Sakti. Rondokulun! Kau murid Eyang Gajah Sakti. Dan aku juga muridnya, walaupun ketika aku di sana, kau belum ada. Dan aku yakin, kepandaianmu cukup tinggi. Maka kuingin kau membantuku membekuk pembunuh guru kita," kata Adipati Gadasewu.
"Oh! Jadi..., Gusti Adipati...."
"Kau terkejut kalau kita saudara seperguruan, Rondokulun..?"
"Dewata Yang Agung.... Tidak kusangka kalau Gusti Adipati juga murid Eyang Gajah Sakti."
Adipati Gadasewu tersenyum. Ditepuknya pundak Rondokulun dengan lembut. Memang untuk meminta Rondokulun tinggal di istana kadipatenan ini dalam beberapa hari, Adipati Gadasewu terpaksa harus mengatakan keadaan sebenarnya kalau dirinya juga murid Eyang Gajah Sakti. Padahal dia menjadi murid pertapa tua itu hanya tiga tahun saja, karena harus kembali lagi ke kadipaten ini, saat usianya baru lima belas tahun. Dan dia tidak tahu kalau Eyang Gajah Sakti mengambil murid lain Makanya kini mereka bertemu dalam suasana yang tidak terduga sama sekali.
"Mari, Rondokulun. Aku akan menjamu kau di sini. Jangan sungkan-sungkan. Aku adalah saudaramu. Dan kau boleh tinggal di kadipatenan ini selama kau suka," ujar Adipati Gadasewu.
"Terima kasih, Gusti Adipati. Memang, sebenarnya hamba sendiri belum ada tujuan yang pasti. Kalau memang Gusti Adipati menghendaki, hamba akan mengabdikan diri di sini," sambut Rondokulun gembira.
"Ha ha ha...! Kau saudaraku, Rondokulun. Kau akan selalu bersamaku, ke mana saja aku pergi."
"Hamba, Gusti Adipati."
"Ayo, kita pindah ke ruangan lain. Aku akan perintahkan emban untuk menyiapkan kamarmu, selama kau belum punya tempat tinggal sendiri."
'Terima kasih, Gusti Adipati."
"Jangan panggil aku seperti itu, Rondokulun. Panggil saja aku kakang."
"Tapi...."
"Kau keberatan...? Baiklah. Kau boleh memanggilku begitu di depan orang lain. Tapi kalau hanya berdua saja, aku tidak ingin kau menyebut gusti padaku. Paham...?"
Rondokulun hanya bisa mengangguk saja. Tidak mungkin lagi keinginan orang yang paling berkuasa di Kadipaten Galumbu ini ditolaknya. Dan mereka pun pindah ke ruangan lain. Sikap Adipati Gadasewu begitu akrab, seakan-akan memang baru bertemu saudaranya yang telah berpisah puluhan tahun lamanya.

***

101. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Dara IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang