BAGIAN 2

428 22 1
                                    

Kedatangan Rondokulun memang membuat sikap Adipati Gadasewu berubah. Seakan-akan peristiwa semalam yang menewaskan dua orang pemuda penduduk Kadipaten Galumbu sudah dilupakannya. Tentu saja perubahan itu sangat menarik perhatian Ki Jalaksena. Laki-laki setengah baya itu memang tidak tahu. Tapi mengingat yang datang adalah utusan Eyang Gajah Sakti, seorang pertapa di puncak Gunung Halimun, Ki Jalaksena tidak lagi mencurigai kehadiran Rondokulun. Terlebih lagi, setelah Adipati Gadasewu mengatakan kalau Rondokulun saudaranya. Sehingga, pemuda itu kini diterima dengan baik di kadipatenan ini. Bahkan dilayani sebagaimana layaknya anggota keluarga adipati.
Namun setelah malam datang, Adipati Gadasewu jadi kelihatan gelisah di dalam kamarnya. Entah sudah berapa kali mondar-mondar memutari kamarnya yang luas dan indah ini. Sesekali dia berdiri di jendela, dan memandangi bulan yang malam ini bersinar penuh. Sementara malam terus merayap semakin larut, tapi sedikit pun Adipati Gadasewu belum bisa memicingkan matanya. Dari raut wajah dan sinar matanya, dia kelihatan begitu gelisah.
"Aku tidak yakin kalau dia yang membunuh Eyang Gajah Sakti. Hm.... Bagaimana mungkin Eyang Gaja Sakti bisa dikalahkannya...?" gumam Adipati Gadasewu, bicara sendiri.
Kembali adipati itu melangkah menghampiri jendela. Dan baru saja berdiri di sana memandangi bulan, mendadak....
Wusss!
"Heh...?! Ups!"
Cepat-cepat Adipati Gadasewu menarik tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba terlihat secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat menerobos masuk melalui jendela. Cahaya kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Adipati Gadasewu yang miring ke kiri, dan langsung menghantam dinding kamar ini.
"Hup!"
Seperti seekor kancil, Adipati Gadasewu melompat ke luar kamarnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah berumput yang mulai dibasahi embun.
"Hm.... Hup!"
Sekilas Adipati Gadasewu melihat sebuah bayangan berkelebat di atas atap bangunan istana kadipaten ini. Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya langsung melesat naik ke atas atap. Hanya sekali saja tubuhnya berputar, lalu manis sekali kakinya menjejak atas atap. Namun saat itu bayangan hitam tadi terlihat lagi, tengah meluruk turun melewati tembok bagian belakang yang cukup tinggi ini.
"Hup!"
Adipati Gadasewu jadi penasaran. Cepat tubuhnya melesat mengejar bayangan hitam itu. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekati lesatan saja, adipati berusia muda itu sudah berada di luar tembok pagar batu yang mengelilingi bangunan istana kadipaten ini.
"Hap!"
Ringan sekali Adipati Gadasewu menjejakkan kakinya di tanah. Sebentar matanya yang tajam beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya.
Srak!
"Hm...."
Adipati Gadasewu langsung berpaling ke kanan, begitu terdengar gesekan suara semak. Dan saat itu matanya melihat satu bayangan hitam melesat begitu cepat dari sebelah kanannya.
"Hup! Yeaaah...!"
Langsung saja Adipati Gadasewu melesat mengejar bayangan hitam itu. Dan bayangan hitam itu masih sempat terlihat berkelebat begitu cepat, melompati atap-atap rumah penduduk Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga sedikit pun Gadasewu terus mengamati ke mana saja arah gerakan bayangan hitam itu dengan mata tajam.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berputaran di udara, Adipati Gadasewu melenting dari sebuah atap rumah, dan kembali menjejak tanah. Tapi saat itu juga tubuhnya terus melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah tinggi sekali. Sementara bayangan hitam itu seakan tidak bisa terkejar. Dan begitu sampai di sebuah perkebunan, bayangan hitam itu kembali lenyap. Maka Adipati Gadasewu seketika menghentikan larinya. Sambil berdiri tegak, padangannya beredar ke sekeliling. Begitu tajam sorot matanya, seakan hendak menembus gelapnya malam di tengah-tengah kebun ini. Dan ketika kepalanya bergerak ke kanan....
"Heh...?!"
Wut!
"Ups...!"
Hampir saja wajah Adipati Gadasewu yang tampan itu terbabat pedang berwarna kuning keemasan, kalau saja tidak cepat-cepat menarik kepalanya ke kanan. Dan mata pedang yang berkilatan kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan hidungnya.
"Hap!"
Cepat-cepat Adipati Gadasewu melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Dan kini di depannya sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Bajunya ketat berwarna hitam, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang berwarna kuning keemasan, tergenggam di depan dadanya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus jantung adipati berusia muda ini.
Sementara Adipati Gadasewu sendiri memandanginya dengan kelopak mata agak berkerut. Rasanya, gadis ini belum pernah dikenalnya. Bahkan melihatnya pun baru kali ini. Tapi kenapa tiba-tiba saja menyerang...? Pertanyaan itu yang terus mengganggu benaknya.
"Nisanak, siapa kau? Dan, kenapa menyerangku?" tanya Adipati Gadasewu penasaran.
"Jangan banyak tanya, Gadasewu! Sebut saja leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!" bentak gadis itu garang.
"Heh...?!"
Adipati Gadasewu jadi terperanjat setengah mati, hingga sampai terlonjak dua langkah ke belakang.
"Bersiaplah menerima kematianmu, Gadasewu! Hiyaaat...!"
"Eh, tunggu...."
Bet!
"Ups...!"
Kembali Adipati Gadasewu jadi terhenyak, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini sudah menyerangnya dengan kecepatan sangat luar biasa. Pedang emasnya berkelebat begitu cepat, menyodok ke arah dada. Namun dengan gerakan manis sekali, serangan itu berhasil dihindarinya. Kembali Adipati Gadasewu melompat ke belakang, berusaha menghindari pertarungan. Tapi gadis yang tidak dikenalnya ini malah terus menyerangnya dengan ganas.
"Hup! Yeaaah...!"
Adipati Gadasewu yang tidak ingin bertarung tanpa jelas alasannya, cepat-cepat melompat naik ke atas pohon. Tapi tanpa diduga sama sekali, gadis itu sudah melesat cepat mengejarnya sambil kembali membabatkan pedang emasnya yang mengarah tepat ke dada adipati muda ini
"Hiyaaa...!"
Wut!
"Haiiit...!"
Adipati Ganda sewu terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serangan gadis ini. Lalu tubuhnya kembali meluruk turun, dan manis sekali kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, gadis berbaju hitam itu sudah melesat dan langsung menyerang dengan kecepatan kilat.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Berulang kali gadis itu membabatkan pedangnya, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun Adipati Gadasewu memang bukan orang yang kosong. Dengan gerakan-gerakan indah dan liukan lentur, setiap serangan yang datang berhasil dihindarinya.
"Gila! Serangannya dahsyat sekali. Uh...!" keluh Adipati Gadasewu.
Dan memang, semakin jauh mereka bertarung, serangan-serangan gadis itu terasa semakin berbahaya saja. Gerakan-gerakan pedangnya begitu cepat luar biasa. Sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya kuning keemasan saja yang bergulung-gulung, mengurung setiap celah gerak adipati ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu mendapat kesempatan, Adipati Gadasewu langsung melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Serangan balasan ini rupanya membuat gadis itu jadi terhenyak juga. Buru-buru tubuhnya meliuk sambil membabatkan pedangnya menyilang di depan dada. Dan pada saat itu juga, Adipati Gadasewu melesat ke belakang sejauh satu batang tombak.
"Hap!"
Jleg!
Ringan sekali gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Dan kini, jarak antara mereka hanya berkisar satu batang tombak
"Huh, Pengecut! Kenapa terus menghindar, Gadasewu? Kau takut menghadapiku, heh...?!" dengus gadis itu sinis.
"Nisanak! Bukannya aku takut. Tapi aku tidak ingin bertarung tanpa alasan jelas," kata Adipati Gadasewu berusaha lembut.
"Jadi kau ingin alasan, heh...?!"
Adipati Gadasewu hanya diam saja.
"Baik... Dengar, Gadasewu. Aku akan membunuhmu dengan alasan yang jelas atau tidak. Dan yang pasti, kau harus mati di tanganku. Nah! Itu alasanku untuk mengirimmu ke neraka!" ancam gadis itu dingin.
Adipati Gadasewu hanya diam saja. Dia tahu, gadis ini tidak akan mungkin memberi alasan jelas dan benar. Tapi kalau pertarungan ini diteruskan, bukannya tidak mungkin salah seorang ada yang tewas. Dan ini yang tidak diinginkannya. Rasanya memang berat melenyapkan nyawa orang lain tanpa alasan pasti. Terlebih lagi, kalau orang itu tidak memiliki persoalan sedikit pun dengannya. Bahkan yang sudah jelas-jelas bersalah pun, masih bisa diberi ampun. Tapi gadis ini....
"Mampus kau, Gadasewu! Hih! Yeaaah...!"
Wuk!
"Eh...?!"
Adipati Gadasewu jadi terperangah setengah mati, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini menghentakkan tangan kirinya setelah menyarungkan pedangnya ke dalam warangka di punggung. Dan saat itu juga, beberapa buah benda berbentuk anting yang berwarna kuning keemasan, melesat secepat kilat ke arahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat Adipati Gadasewu melenting ke udara, menghindari serangan gadis berbaju hitam itu. Tapi belum juga bisa menjejakkan kakinya kembali ke tanah, gadis berbaju hitam itu sudah kembali melancarkan serangan. Kedua tangannya bergerak melontarkan anting-anting emas dengan kecepatan luar biasa sekali.
"Hup! Hiyaaa...!"
Adipati Gadasewu terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari anting-anting emas yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Sementara gadis berbaju hitam itu terus melontarkan senjata-senjatanya sambil bergerak cepat mengelilingi Adipati Gadasewu. Dan ini tentu saja membuat adipati berusia muda itu kelabakan. Anting-anting emas itu tampak datang dari segala arah, mengancam seluruh tubuhnya.
"Edan...! Hih!"
Cring!
Adipati Gadasewu jadi geram mendapat serangan yang begitu beruntun tanpa henti. Maka pedangnya cepat dicabut. Lalu bagaikan kilat pedangnya diputar untuk melindungi tubuhnya dari incaran anting-anting emas itu.
Tring! Trang...!
Entah berapa kati anting-anting emas itu tersampok pedang adipati ini. Tapi gadis berbaju hitam itu terus saja menyerang dengan kecepatan tinggi sekali. Sikapnya seakan-akan tidak peduli kalau serangannya tidak ada yang mendapatkan hasil. Sementara dengan pedang di tangan, Adipati Gadasewu tidak lagi kelihatan kelabakan. Pedangnya bergerak begitu cepat, sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya keperakan yang bergulung-gulung menyambar anting-anting emas yang terus berhamburan di sekitar tubuhnya.
"Huh! Alot juga adipati ini!" dengus gadis itu dalam hati, mengakui ketangguhan Adipati Gadasewu.
Meskipun mengakui dalam hati, tapi gadis itu tidak mau menyerah begitu saja. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat saja. Tidak berhasil dengan senjata anting emasnya, gadis itu menggunakan jurus-jurus silatnya yang dahsyat dan sesekali menggunakan ilmu kedigdayaan. Sementara, Adipati Gadasewu terus bertahan walaupun semakin terdesak saja.
Dan pada jurus-jurus selanjutnya, beberapa kali pukulan keras yang dilancarkan gadis itu sudah berhasil disarangkan ke tubuh Adipati Gadasewu. Darah sudah mulai mengalir dari sudut bibir adipati ini. Keadaannya semakin terdesak saja, dan sulit untuk balas menyerang. Entah sudah berapa kali pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya. Namun pada saat yang sangat tidak menguntungkan ini, mendadak saja....
"Menyingkirlah, Kakang Adipati...!"
Slap!
"Heh...?! Ups!"
Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rondokulun muncul. Langsung diterjangnya gadis berbaju hitam ini. Kedatangan Rondokulun tentu saja membuat gadis itu jadi terkejut. Dan hampir saja satu pukulan yang sangat keras mendarat di wajahnya. Untung saja kepalannya segera ditarik ke belakang. Dan saat itu juga, Adipati Gadasewu melompat ke belakang. Tapi tubuhnya langsung terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah.
"Hup!"
Sementara gadis berbaju serba hitam itu cepat-cepat melesat ke belakang sejauh dua batang tombak. Setelah beberapa kali berputaran di udara, kakinya menjejak tanah dengan mantap. Dan di depannya kini, berdiri Rondokulun yang merupakan murid Eyang Gajah Sakti di pertapaan puncaW Gunung Halimun.
"Huh! Satu saat nanti, kau tidak akan lolos dariku, Gadasewu!" dengus gadis itu kesal.
Sebentar gadis itu menatap tajam Rondokulun. Dan....
"Kau juga akan mampus di tanganku!"
Setelah berkata demikian, gadis berbaju hitam yang tidak dikenal itu cepat bagai kilat melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rondokulun masih tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian gadis itu. Dan badannya bergegas berbalik, begitu mendengar suara batuk dari belakangnya.
"Kakang Adipati...."
Rondokulun cepat-cepat menghampiri Adipati Gadasewu yang tampak kelihatan begitu parah keadaannya. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung pedang yang ditekan ke tanah. Darah di mulutnya terlihat menggumpal kental.
"Aku tidak apa-apa, Rondokulun. Untung kau cepat datang...," kata Adipati Gadasewu lirih.
"Kau terluka, Kakang," kata Rondokulun, bernada cemas.
Adipati Gadasewu berusaha tersenyum. Kakinya hendak melangkah, tapi tubuhnya jadi terhuyung. Bahkan hampir saja ambruk kalau Rondokulun tidak cepat-cepat menyangganya. "Bawa aku ke bawah pohon itu, Rondokulun," pinta Adipati Gadasewu.
"Baik, Kakang."
Rondokulun membawa Adipati Gadasewu ke bawah pohon yang diinginkannya. Kemudian, adipati itu duduk bersila di sana. Sementara, Rondokulun mengambil tempat tidak jauh di depannya. Terus dipandanginya adipati berusia muda yang tengah melakukan semadi untuk menyembuhkan luka-luka dalam yang dideritanya.
Dan malam pun terus merayap semakin larut Rondokulun masih setia menunggui Adipati Gadasewu bersemadi. Hatinya agak cemas juga, melihat darah terus mengucur dari mulut dan hidung. Tapi kecemasannya langsung sirna, begitu melihat kelopak mata Adipati Gadasewu terbuka. Dan darah yang keluar dari mulutnya juga tidak lagi berwarna kehitaman.
"Phuuuh...!"
Adipati Gadasewu menyemburkan darah yang menggumpal memenuhi rongga mulutnya, kemudian beberapa kali melakukan gerakan tangan. Dan akhirnya, kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada, dan perlahan-lahan turun hingga berada di atas lututnya.
Adipati Gadasewu tersenyum melihat Rondokulun masih tetap duduk bersila, tidak seberapa jauh di depannya. Dengan gerakan tangannya, dipanggilnya pemuda yang diakui sebagai saudara seperguruannya itu.
"Ada yang bisa kubantu, Kakang?" tanya Rondokulun setelah dekat.
"Rondokulun.... Kau tahu, siapa gadis itu tadi?" Adipati Gadasewu balik melontarkan pertanyaan.
"Tidak, Kakang. Baru kali ini aku melihatnya," sahut Rondokulun. "Kakang mengenalnya...?"
"Sayang.... Aku juga tidak sempat mengenalinya. Dan aku juga tidak tahu, apa maksudnya hendak membunuhku," pelan sekali suara Adipati Gadasewu.
"Kakang, mungkin gadis itu yang membunuh Eyang Gajah Sakti," tebak Rondokulun.
"Melihat dari kepandaiannya, rasanya kemungkinan itu memang ada. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku benar-benar dijadikan mainan olehnya."
Rondokulun jadi terdiam. Sementara Adipati Gadasewu juga tidak membuka suara lagi. Dan untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Angin yang bertiup malam ini terasa semakin bertambah dingin. Perlahan Adipati Gadasewu mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata Rondokulun yang duduk bersila di depannya.
"Rondokulun, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Adipati Gadasewu ingin tahu.
"Sebenarnya sejak Kakang keluar dari kamar, aku sudah membuntuti," sahut Rondokulun terus terang.
"Jadi kau tahu semua yang terjadi?" tanya Adipati Gadasewu lagi.
"Maaf, Kakang. Bukan maksudku untuk membuntuti. Aku hanya khawatir saja," ucap Rondokulun.
"Ah.... Kalau kau tidak ada, tentu besok pagi aku sudah ditemukan terbujur jadi mayat, Rondokulun. Terima kasih, kau sudah menyelamatkan nyawaku."
"Kakang, sebenarnya kau bisa mengalahkannya. Tapi Kakang terlalu memberi hati dan kesempatan lawan untuk melakukan serangan dan terus menekan. Aku kira, tidak akan berakhir seperti ini kalau Kakang sama sekali tidak memberi kesempatan. Maaf, Kakang. Bukannya aku menggurui. Tapi kulihat, Kakang tadi seperti mengalah padanya."
Adipati Gadasewu jadi tersenyum. Entah kenapa...? Mungkin kebenaran penilaian Rondokulun tadi diakuinya. Dia tadi memang terlalu memberi hati dan kesempatan pada lawannya. Akibatnya, jadi termakan sendiri. Gadis itu memanfaatkannya untuk terus menekan dengan serangan-serangannya yang gencar dan cepat. Tapi meski tidak diberi kesempatan pun, Adipati Gadasewu tidak yakin akan berhasil mengalahkannya. Sudah dirasakannya kalau tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu sangat tinggi. Paling tidak, berada beberapa tingkat di atas kepandaian yang dimilikinya.
"Ayo kita pulang, Rondokulun," ajak Adipati Gadasewu sambil bangkit berdiri.
Rondokulun cepat-cepat bangun, dan membantu adipati ini berdiri. Kemudian mereka berjalan bersama-sama, kembali ke istana kadipatenan. Tidak ada lagi yang dibicarakan dan terdiam membisu selama berjalan pulang. Kelihatannya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Bahkan beberapa kali terdengar hembusan napas Adipati Gadasewu yang panjang dan terasa begitu berat.

***

101. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Dara IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang