Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Sementara bukan hanya Ki Sampan saja yang menyaksikan pertarungan itu. Dari jendela kamar penginapan Ki Sampan ini, Pandan Wangi juga menyaksikan. Sementara, terlihat juga kepala-kepala menyembul dari balik jendela dan pintu rumah-rumah yang tidak jauh dari rumah Ki Sampan.
Pertarungan memang membuat semua penduduk kota Kadipaten Galumbu ini jadi terbangun dari buaian mimpi. Dan mereka tidak ingin melewatkan pertarungan menarik antara pemuda yang sore tadi menginap di rumah Ki Sampan, dengan Dara Iblis. Mereka semua berharap, pemuda itu bisa mengalahkan perempuan berbaju hitam itu. Bahkan melenyapkan untuk selama-lamanya. Dan saat itu juga, terlihat dari ujung jalan ke istana kadipatenan, serombongan prajurit mendatangi tempat pertarungan di halaman rumah Ki Sampan ini. Cahaya api obor mulai terlihat menerangi sekitar tempat ini.
Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Dara Iblis semakin berlangsung sengit. Masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus dahsyat. Sehingga, gerakan-gerakan mereka begitu sulit diikuti mata biasa. Begitu cepatnya, sampai yang terlihat hanya kelebatan bayangan-bayangan putih dan hitam yang saling sambar.
"Phuih! Sial! Tempat ini sudah dipenuhi orang. Huh...! Aku tidak boleh mati konyol di sini, sebelum yang kuinginkan terkabul!" dengus si Dara Iblis.
Mengetahui keadaannya tidak lagi menguntungkan, gadis cantik yang dijuluki Dara Iblis itu mulai mencari celah untuk melepaskan diri dari pertarungan. Dan kesempatan itu pun datang, saat Rangga menyepakkan kakinya dengan gerakan berputar ke arah kaki gadis ini. Saat itu juga....
"Hup! Yeaaah...!"
Kesempatan yang sangat sedikit ini, tidak disia-siakan Dara Iblis. Dengan kecepatan bagai kilat, tubuhnya melesat tinggi ke udara dan langsung meluruk deras ke atas atap rumah Ki Sampan. Dan sebelum Rangga sendiri sempat menyadari, mendadak saja tanpa memutar tubuhnya gadis berbaju hitam itu melepaskan beberapa buah anting-anting emas ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Wus!
Siap!
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rangga melenting dan berputaran di udara, menghindari serangan anting-anting emas itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Dara Iblis sudah tidak terlihat lagi di atas atap rumah Ki Sampan ini.
"Heh! Ke mana dia...?! Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat naik ke atas atap. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak di atas atap rumah ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi Dara Iblis itu tidak juga terlihat. Bahkan bayangannya pun juga sudah tidak terlihat lagi.
"Hhh! Cerdik sekali dia...," dengus Rangga.
Dara Iblis itu memang sudah tidak terlihat lagi. Entah ke mana perginya. Rangga hanya bisa menghela napasnya panjang-panjang, kemudian kembali melompat turun. Ringan sekali gerakannya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah.
Dan baru saja kakinya menjejak tanah, Ki Sampan sudah datang menghampiri bersama Pandan Wangi. Saat itu juga, terlihat Adipati Gadasewu didampingi Rondokulun dan Ki Jalaksena datang menghampiri, diiringi sekitar tiga puluh orang prajurit yang membawa tombak. Ki Sampan segera berlutut sambil memberi sembah hormat, begitu melihat Adipati Gadasewu datang. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya berdiri saja memandangi. Mereka tahu, yang datang itu adalah orang utama di Kadipaten Galumbu ini.
"Kisanak. Aku melihat pertarunganmu tadi dengan si Dara Iblis. Hm.... Sungguh menakjubkan. Kau mampu menandingi kepandaiannya," ujar Adipati Gadasewu langsung, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
'Terima kasih. Hanya kebetulan saja aku tadi bertemu dengannya," sambut Rangga merendah.
"Kisanak, gadis itu sudah sering kali menjarah kadipaten ini. Dan selama ini, belum ada seorang pun yang sanggup menandinginya. Tapi kulihat malam ini, dia mendapat lawan yang seimbang. Hm.... Jika Kisanak tidak keberatan, aku mengundangmu datang ke kadipatenan," kata Adipati Gadasewu lagi.
Rangga tidak langsung menjawab. Dan matanya langsung melirik Pandan Wangi sebentar, kemudian menatap Ki Sampan yang berada agak ke belakang di sebelah kanannya. Laki-laki tua itu hanya diam saja dengan kepala tertunduk. Rangga tahu, Ki Sampan tidak berani membuka suara di depan adipatinya sendiri.
"Maaf, Gusti Adipati. Bukannya menolak. Tapi, aku sudah menyewa rumah Ki Sampan ini untuk bermalam. Tapi kalau Gusti Adipati menginginkan aku mengusir gadis itu, dengan senang hati akan kulakukan," kata Rangga menolak halus.
"Aku mengerti, Kisanak. Baiklah. Kau boleh tinggal di rumah Ki Sampan. Tapi, kuminta datanglah mengunjungiku di kadipatenan besok pagi. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Terus terang, aku kagum sekali melihat kepandaian yang kau miliki," kata Adipati Gadasewu, bisa. mengerti.
"Mudah-mudahan besok pagi tidak ada halangan, Gusti Adipati," ujar Rangga tidak bisa lagi menolak
Adipati Gadasewu kemudian berpamitan, dari segera pergi diiringi para pengawalnya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri memandangi. Tampak beberapa orang berada di depan rumahnya, memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Tapi setelah Adipati Gadasewu tidak terlihat lagi, mereka bergegas masuk ke dalam rumahnya.
"Ayo, Ki. Kita ke dalam lagi," ajak Rangga.
"Baik, Den. Terima kasih, Raden masih mau tinggal di gubukku yang reyot ini."
"Oh, sudahlah. Aku lebih senang bermalam di sini, daripada di istana."
"Aku tidak menyangka, Raden begitu murah dan rendah hati. Padahal ilmu yang Raden miliki sangat tinggi. Bahkan bisa menandingi si Dara Iblis."
Rangga hanya tersenyum saja mendapat pujian seperti itu. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja. Dan mereka kemudian masuk ke dalam.
Merasa di rumahnya ada seorang pendekar tangguh dan digdaya, Ki Sampan tidak lagi merasa takut. Malah pelita di ruangan depan rumahnya dinyalakan besar-besar, sehingga mampu menerangi sekitarnya. Rangga hanya menggelengkan kepala saja melihat tingkah Ki Sampan.
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi menampakkan diri, Rangga dan Pandan Wangi sudah keluar dari rumah penginapan Ki Sampan. Laki-laki tua pemilik penginapan itu mengantarkan kedua pendekar muda ini sampai di depan rumahnya. Dengan menunggang kuda, mereka menuju Istana Kadipaten Galumbu.
Begitu sunyi pagi ini. Kabut masih terlihat cukup tebal menyelimuti seluruh wilayah Kota kadipaten ini. Dan memang, matahari belum lagi menampakkan diri. Hanya kokok ayam jantan dan kicauan burung-burung saja yang menandakan kalau fajar sebentar lagi akan menyingsing.
Baru sampai di depannya saja, Rangga sudah kagum melihat kemegahan istana kadipaten ini. Begitu megah, seperti sebuah istana kerajaan saja. Dan memang, Kadipaten Galumbu ini sangat besar wilayahnya.
"Kenapa berdiri saja, Kakang? Bukankah kedatangan kita ke sini memenuhi undangan Adipati Gadasewu...?" tegur Pandan Wangi, melihat Rangga hanya berdiri saja mematung memandangi bangunan kadipatenan itu.
Mereka memang sudah turun dari kudanya. Rangga melirik sedikit pada gadis cantik di sebelahnya ini, lalu sedikit memberi senyum manis sekali.
"Indah sekali istana ini, Pandan. Tidak kalah dengan Istana Karang Setra," gumam Rangga seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
"Kau ingat tanah kelahiranmu, Kakang?" ujar Pandan Wangi jadi tersenyum.
Dan Rangga hanya diam saja memandangi bangunan megah di depannya ini Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat tanah kelahirannya, Karang Setra. Memang sudah cukup lama mereka tidak kembali ke Karang Setra. Entah apa yang terjadi di sana. Mungkin sudah banyak sekali perubahannya.
"Setelah dari sini, ada baiknya juga kalau kita kembali ke Karang Setra, Kakang. Terus terang, aku juga sudah rindu sekali," kata Pandan Wangi, seakan bisa membaca perasaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya..., kita memang sudah terlalu lama meninggalkan Karang Setra," desah Rangga pelan.
"Kakang.... Lihat itu. Rondokulun sudah keluar," kata Pandan Wangi memberi tahu.
Dari gerbang bangunan megah itu, memang terlihat Rondokulun keluar. Langsung dihampirinya kedua pendekar muda yang masih tetap berdiri memandangi kemegahan bangunan istana kadipaten ini. Rondokulun menjura memberi hormat, setelah dekat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.
"Kenapa berdiri saja di sini? Langsung saja masuk. Gusti Adipati sudah menanti kedatangan kalian," kata Rondokulun ramah.
"Aku benar-benar mengagumi istana ini," ujar Rangga berterus terang.
"Istana ini memang megah. Bahkan tidak kalah megahnya dari istana kerajaan sendiri," kata Rondokulun juga memuji.
Mereka kemudian melangkah bersama-sama menuju istana kadipatenan ini. Rondokulun berjalan di sebelah kanan Rangga. Sedangkan Pandan Wangi berjalan di sebelah kiri sambil menuntun kudanya sendiri.
Seorang prajurit menghampiri, begitu ketiga orang itu melewati pintu gerbang yang dijaga empat orang prajurit bersenjatakan tombak. Prajurit itu mengambil kuda kedua pendekar muda ini. Sedangkan Rondokulun terus mempersilakan mereka, meniti anak-anak tangga yang menuju bagian dalam istana.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan membungkukkan tubuhnya, memberi hormat saat ketiga orang ini melewatinya. Rangga jadi berdecak kagum begitu berada di dalam bangunan istana ini. Begitu megah, sampai kekagumannya tidak lagi disembunyikan.
Dan sampai di ruangan tengah yang luas, mereka langsung disambut Adipati Gadasewu dan Ki Jalaksena. Rupanya Adipati Gadasewu memang sudah mempersiapkan penyambutan pada kedua pendekar ini. Di tengah-tengah ruangan ini terlihat sebuah meja yang sangat besar, dengan beberapa kursi berukir dari kayu jari berbaris di setiap sisinya. Tampak prajurit-prajurit bersenjata tombak mengelilingi ruangan ini.
"Mari, Pendekar. Silakan duduk," sambut Adipati Gadasewu dengan sikap sangat ramah.
"Terima kasih," ucap Rangga membalas keramahan ini
Mereka kemudian duduk di satu meja. Hanya Rondokulun saja yang tetap berdiri di belakang Adipati Gadasewu. Sedangkan Ki Jalaksena duduk bersebelahan dengan Pandan Wangi Rangga sendiri diberi tempat di sebelah lori Adipati Gadasewu. Dan belum lama mereka duduk, muncul gadis-gadis muda berparas cantik membawa baki berisi penuh makanan dan buah-buahan, serta beberapa guci arak.
Rangga jadi agak tertegun juga melihat penyambutan yang begitu mewah. Sungguh tidak disangka kalau Adipati Gadasewu sudah mempersiapkannya begitu matang. Entah apa jadinya kalau sampai tadi kedua pendekar muda ini tidak datang. Pasti akan sangat kecewa hatinya.
"Mari silakan.... Hanya ini yang bisa kupersembahkan pada kalian berdua," kata Adipati Gadasewu tetap ramah.
Rangga hanya tersenyum saja, tidak bisa lagi berkata-kata. Entah apa yang ada dalam hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan beberapa kali Pandan Wangi melirik Rangga yang kelihatan lain. Pandan Wangi sendiri tidak bisa menebak isi hati Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dari sorot matanya, Pandan Wangi mulai khawatir juga. Hanya saja, entah apa yang dikhawatirkannya saat ini.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan Adipati Gadasewu yang ingin memperlihatkan setiap bagian istananya yang megah ini. Seharian penuh kedua pendekar muda itu berada dalam Istana Kadipaten Galumbu ini. Dan setelah matahari benar-benar condong ke arah barat, mereka baru meninggalkan bangunan istana yang megah itu. Namun sebelum mereka pergi, Adipati Gadasewu meminta Rangga untuk meringkus Dara Iblis. Dan adipati itu juga menjanjikan hadiah sangat besar bagi Pendekar Rajawali Sakti. Namun semua itu hanya dibalas senyuman yang sangat sulit diartikan.
"Kakang...," ujar Pandan Wangi setelah mereka cukup jauh berkuda meninggalkan Istana Kadipaten Galumbu.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
"Maaf, kalau aku berkata lancang padamu," ucap Pandan Wangi agak berhati-hati.
"Hm.... Apa yang akan kau katakan, Pandan?"
"Sejak tadi, kuperhatikan kau banyak diam. Terus terang, aku khawatir kau tidak menyukai cara penyambutan Adipati Gadasewu tadi," kata Pandan Wangi berterus terang.
Rangga hanya diam saja. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di sebelahnya, melirik sedikit ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Dan hatinya terus menduga-duga, apa sebenarnya yang saat ini tengah bergelut dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi memang sulit mencari jawabannya. Sementara, Rangga hanya diam saja, seakan enggan membicarakannya.
"Kakang...," tegur Pandan Wangi lagi.
"Hm.... Ada apa, Pandan?" Rangga hanya sedikit saja melirik si Kipas Maut ini.
"Sudah cukup lama aku berjalan denganmu. Aku tahu, ada yang membuat hatimu resah. Kalau masih mempercayaiku, kenapa tidak kau utarakan Kakang? Apa kau sudah menganggapku tidak ada gunanya lagi...?"
Sengaja Pandan Wangi membuat hatinya seakan-akan kesal atas sikap Rangga yang hanya diam saja, seperti tidak memperdulikannya. Dan kata-kata Pandan Wangi barusan rupanya membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak juga. Langkah kaki kudanya dihentikan, dan berpaling menatap wajah si Kipas Maut dengan sorot mata cukup dalam.
"Kenapa kau berkata seperti itu, Pandan?" terdengar begitu dalam nada suara Rangga.
"Kau sendiri, kenapa diam saja?" balas Pandan Wangi.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya panjang-panjang.
Sedangkan Pandan Wangi terdiam, tapi tetap menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dengan bola mata tidak berkedip sedikit pun.
Beberapa saat lamanya, mereka terdiam membisu. Seakan-akan mereka sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Dan perlahan Rangga menghentakkan tali kekang, hingga kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu kembali berjalan perlahan-lahan. Pandan Wangi masih tetap diam sambil memandangi beberapa saat, kemudian menghentakkan kudanya menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Kembali langkah kaki kudanya disejajarkan di samping Dewa Bayu.
"Ayo kita keluar dari kota ini, Pandan," ajak Rangga tiba-tiba.
"Mau apa di...?"
"Hiyaaa...!"
Belum lagi Pandan Wangi menyelesaikan pertanyaannya, Rangga sudah menghentakkan tali kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu melesat cepat bagaikan anak panah terlepas dari busur. Sesaat Pandan Wangi jadi tertegun, namun cepat menggebah kudanya.
"Hiyaaa...!"
Debu seketika mengepul, membubung tinggi ke angkasa saat dua ekor kuda yang ditunggangi kedua pendekar dari Karang Setra itu berpacu cepat menuju timur. Sementara matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Hanya cahaya merah jingganya saja yang menyemburat dari balik sebuah bukit di sebelah barat Kota Kadipaten Galumbu ini.
Kedua pendekar itu terus memacu kudanya dengan kecepatan sangat tinggi. Hingga sebentar saja mereka sudah melewati perbatasan kota yang tidak dijaga seorang prajurit pun. Gerbang perbatasan yang ditandai dua buah bangunan batu berbentuk puri itu kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat di sana. Namun kedua pendekar dari Karang Setra itu terus saja memacu kudanya.
Dan kalau sudah berpacu begini, Pandan Wangi jadi kesal. Masalahnya, tidak mudah untuk bisa mengejar Dewa Bayu. Bahkan untuk mensejajarkannya saja, kuda putih tunggangannya ini bisa mati kehabisan tenaga. Hingga kini, jarak mereka semakin bertambah jauh saja. Sementara, kerimbunan pepohonan sebuah hutan yang cukup lebat sudah tampak di depan mata. Namun kedua pendekar muda itu masih saja terus memacu cepat kudanya.
"Hooop...!"
Setelah sampai di tepian hutan, Rangga menghentikan lari kudanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun, bersamaan terdengar ringkikan Dewa Bayu yang mengangkat kedua kaki depannya. Dan tidak berapa lama kemudian, Pandan Wangi sudah sampai. Gadis itu menghentikan lari kudanya perlahan-lahan, kemudian melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu mendarat tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada yang menarik perhatianmu di sini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tempat ini lebih cocok untuk bicara secara pribadi daripada di rumah Ki Sampan," ujar Rangga tanpa mempedulikan kata-kata Pandan Wangi barusan.
"Hm...." Kening Pandan Wangi jadi berkerut.
"Dengar, Pandan. Aku akan memberimu tugas. Dan ini sangat penting," kata Rangga, dengan mimik wajah sungguh-sungguh.
"Tugas...? Tugas apa, Kakang?!" tanya Pandan Wangi jadi penasaran.
"Kau harus memata-matai Adipati Gadasewu. Bahkan kalau perlu harus mengetahui latar belakang kehidupannya."
"Heh, apa...?!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
101. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Dara Iblis
ActionSerial ke 101. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.