BAGIAN 5

346 20 0
                                    

Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati mendengar kata-kata Rangga yang sama sekati tidak diduga. Sungguh tidak disangka kalau Rangga justru mencurigai Adipati Gadasewu. Padahal, sikap adipati yang masih muda usianya itu sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Bahkan begitu ramah dan dihormati seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini. Tentu saja keinginan itu membuat Pandan Wangi jadi tidak mengerti jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Adipati Gadasewu begitu ramah dan dihormati seluruh rakyatnya. Bagaimana mungkin aku bisa memata-matainya...?" ujar Pandan Wangi mengemukakan penilaiannya.
"Aku tidak ingin kau ikut terbius dan buta oleh penampilannya yang begitu ramah, Pandan. Justru keramahan yang berlebihan membuatku menaruh curiga," tegas Rangga.
"Tapi, Kakang. Adipati Gadasewu sendiri pernah bertarung melawan si Dara Iblis. Bahkan hampir saja mati terbunuh. Mana mungkin dia berada di balik semua peristiwa ini...?" bantah Pandan Wangi lagi
"Aku tidak mengatakan kalau dia ada di belakangnya, Pandan."
"Lalu, apa yang membuatmu curiga?" tanya Pandan Wangi, ingin tahu.
"Hubungannya dengan si Dara Iblis," sahut Rangga tetap tegas nada suaranya.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi jadi semakin tidak mengerti.
"Dengar, Pandan. Dalam setiap kerusuhan yang terjadi di sebuah desa atau kadipaten, tidak terlepas dari keterlibatan pemimpinnya. Dan aku begitu yakin, Adipati Gadasewu terlibat di dalamnya," Rangga mencoba menjelaskan jalan pikirannya.
"Aku masih tidak mengerti, Kakang."
"Memang sulit dimengerti, Pandan. Tapi inilah kenyataannya. Wanita yang dijuluki Dara Iblis itu sengaja mengacaukan keadaan kadipaten ini. Tapi tujuan yang sebenarnya justru pada Adipati Gadasewu sendiri," lagi-lagi Rangga mencoba menjelaskan.
"Maksudmu, nyawa Adipati Gadasewu terancam?" tebak Pandan Wangi.
"Ya, belum pasti, Pandan. Tapi menurutku, Adipati Gadasewu perlu mendapat perhatian yang tidak kecil. Mungkin saja Dara Iblis itu mengincar nyawanya. Tapi ada kemungkinan juga, menginginkan yang lain dari Adipati Gadasewu."
"Bagaimana mungkin kau bisa menarik kesimpulan seperti itu, Kakang?"
"Mudah saja, Pandan. Dari sikap dan keramahannya. Juga, dari kata-katanya tentang Dara Iblis itu, aku merasa kalau Adipati Gadasewu mengenalnya. Atau paling tidak, ada kaitannya yang sangat berhubungan erat Pandan, kau perhatikan pengawalnya yang diakui sebagai saudaranya itu...?"
"Rondokulun maksudmu, Kakang?"
"Benar."
"Ada apa dengan Rondokulun?"
"Semalam, Ki Sampan bilang padaku kalau Rondokulun belum lama berada di Kadipaten Galumbu ini. Dan kedatangannya langsung disambut dan diakui sebagai saudara oleh Adipati Gadasewu. Padahal, tidak seorang pun yang pernah mengenalnya. Dan semua orang tahu kalau Adipati Gadasewu tidak memiliki seorang saudara pun. Dan lagi, kedatangan Rondokulun juga bersamaan dengan munculnya si Dara Iblis."
"Hm.... Jadi, itu yang membuatmu curiga, Kakang?" Pandan Wangi mulai mengerti.
"Bukan hanya itu saja, Pandan."
"Ya, aku mengerti sekarang. Jadi menurutmu, perhatian kita jangan terpusat pada si Dara Iblis saja. Tapi, juga pada Adipati Gadasewu sendiri dan Rondokulun. Begitu kan, Kakang..?"
"Tepat, Pandan. Untuk itu, kita harus membagi tugas. Kau mengawasi Adipati Gadasewu dan Rondokulun. Sedangkan aku tetap berusaha menemukan si Dara Iblis. Barangkali saja rahasianya yang tersimpan bisa terungkap."
Pandan Wangi mengangguk-angguk, sudah mengerti apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu juga sudah merasakan kalau persoalan yang sedang dihadapi seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini tidak ringan. Bahkan bisa membuat kehancuran kadipaten ini.
"Sudah hampir malam, Pandan. Sebaiknya kita kembali ke rumah Ki Sampan," ajak Rangga.
Kembali Pandan Wangi mengangguk. Dan tidak lama kemudian kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah berada di atas punggung kuda masing-masing. Kali ini, mereka tidak tergesa-gesa dalam mengendalikan kudanya. Sementara, matahari semakin tenggelam ke belahan bumi bagian barat. Tidak lama lagi, seluruh permukaan bumi Kadipaten Galumbu akan terselimut kegelapan. Dan sepanjang jalan, sudah tidak ada lagi orang yang terlihat berada di luar rumah. Begitu sunyi terasa, seakan-akan kota kadipaten ini berubah menjadi kota mati yang tidak berpenduduk lagi.
Malam ini Rangga sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Sengaja Pendekar Rajawali Sakti duduk di beranda depan rumah Ki Sampan. Sementara Pandan Wangi sudah sejak tadi mengamati sekitar istana kadipatenan. Sedangkan Rangga sendiri, sengaja berada di luar rumah menunggu kedatangan si Dara Iblis. Tapi sudah jauh malam, gadis berbaju hitam itu belum juga kelihatan batang hidungnya.
"Hm.... Apakah dia malam ini tidak muncul...?" gumam Rangga bicara pada diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke halaman depan rumah Ki Sampan. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Malam begitu sunyi. Tapi Rangga tahu, berpasang-pasang mata terus mengawasinya dari rumah-rumah yang ada di sekitar rumah Ki Sampan ini. Rangga tahu, semua penduduk Kota Kadipaten Galumbu ini ingin menyaksikannya dalam meringkus si Dara Iblis.
Slap!
"Heh...?!"
Tiba-tiba saja Rangga jadi tersentak, begitu merasakan desir angin yang terasa dingin menerpa tubuhnya. Cepat tubuhnya diputar. Dan pada saat itu juga, matanya menangkap satu kelebatan bayangan hitam di atas atap rumah Ki Sampan.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat naik ke atas atap. Lalu tubuhnya kembali melesat dengan hanya menotokkan sedikit ujung jari kakinya di atas atap rumah penginapan ini. Sekilas Rangga masih sempat melihat bayangan hitam itu berkelebat begitu cepat menuju arah Istana Kadipaten Galumbu.
"Hup!"
Dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti bayangan hitam yang berkelebatan begitu cepat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Dan begitu berada di samping kanan Istana Kadipaten Galumbu, bayangan hitam itu lenyap tak terlihat lagi. Rangga langsung menghentikan larinya, dan cepat berlindung di balik sebatang pohon beringin yang cukup besar batangnya. Rimbunnya daun pohon ini membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat.
"Hm..."
Sedikit Rangga menggumam, saat melihat sesosok tubuh ramping berbaju hitam yang cukup ketat sedang mengendap-endap. Begitu rapat tubuhnya pada dinding tembok yang tinggi mengelilingi bangunan istana ini. Bulan yang tertutup awan hitam, membuat keadaan sekitarnya jadi gelap. Dan Rangga terpaksa harus menggunakan aji 'Tatar Netra' agar dapat melihat lebih jelas lagi.
"Dara Iblis...," desis Rangga dalam hati, begitu mengenali orang yang mengendap-endap di pinggiran tembok benteng istana ini.
Pendengaran Rangga yang tajam, mendengar suara ayunan langkah kaki yang begitu halus dari sebelah kirinya. Dan saat berpaling ke kiri, tiba-tiba saja....
Plak!
"Akh...!"
Hanya sedikit saja Rangga terpekik, begitu tiba-tiba sebuah pukulan yang sangat keras menghantam bagian belakang kepalanya. Seketika itu juga, pandangan matanya jadi mengabur. Tubuhnya lalu jadi limbung, kemudian ambruk menggeletak tanpa dapat dikuasai lagi. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menghilangkan rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya, satu hantaman yang sangat keras kembali menerpa kepalanya.
"Ugkh...!"
Hanya sedikit saja keluhan yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali Sakti, karena mendadak saja pandangannya jadi gelap. Lalu, pendengarannya pun mulai berkurang. Dan saat berikutnya, Rangga sudah tidak tahu apa-apa lagi. Kesadarannya seketika lenyap, setelah mendapatkan satu pukulan lagi di bagian belakang kepalanya.
Menjelang matahari terbit, Pandan Wangi sudah kembali ke rumah penginapan Ki Sampan. Gadis itu hanya melihat Ki Sampan duduk terkantuk-kantuk di ruangan tengah. Dan laki-laki tua itu hanya melirik saja saat Pandan Wangi masuk, dengan mata begitu berat
"Oh...?! Maaf, aku tidak tahu kalau kau ada di sini, Ki," ujar Pandan Wangi.
"Aku memang menunggu kalian pulang," sahut Ki Sampan dengan suara lesu karena mengantuk
"Memangnya Kakang Rangga belum kembali, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Semalam, dia ada di depan. Tapi, terus pergi. Aku tidak tahu, ke mana perginya. Dan sampai sekarang, dia belum juga kembali," kata Ki Sampan memberi tahu.
"Mungkin di kamarnya, Ki. Biasanya Kakang Rangga memang begitu. Bisa ada di mana saja tanpa diketahui," kata Pandan Wangi tanpa ada pikiran apa-apa.
"Tidak ada, Nini. Aku sudah melihat kamarnya. Kosong," sahut Ki Sampan.
Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga. Semalam, sebelum mereka menjalankan tugas masing-masing, Rangga sudah meminta agar sebelum pagi bertemu di ruangan depan rumah penginapan ini. Tapi, kenapa sampai sekarang Rangga belum juga kembali...? Pandan Wangi mulai berpikir macam-macam. Tapi gadis itu tidak mau menduga kalau Rangga mengalami sesuatu yang menyulitkan dirinya. Keyakinannya begitu kuat, kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapi.
"Ah.... Sudahlah, Ki. Nanti juga dia kembali. Aku akan istirahat dulu. Nanti kalau Kakang Rangga sudah datang, beri tahu ya, Ki," kata Pandan Wangi mencoba menenangkan diri.
"Baik, Nini," sahut Ki Sampan sambil terkantuk-kantuk.
Pandan Wangi langsung saja melangkah ke dalam, meninggalkan orang tua pemilik rumah penginapan ini. Ki Sampan baru membaringkan tubuh di atas balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar, setelah Pandan Wangi menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan ini dengan ruangan dalam.
Sementara di luar, ayam jantan sudah sejak tadi memperdengarkan suaranya. Dan burung-burung pun sudah mulai berkicauan. Tampak di ufuk timur, rona merah jingga mulai terlihat memancar di balik kabut yang masih terlihat tebal. Dan Pandan Wangi sudah membaringkan tubuhnya di dalam kamar, namun matanya tak dapat dipejamkan sedikit pun. Dia memikirkan Rangga yang belum juga kembali. Padahal sebentar lagi matahari sudah naik.
"Hm..., ke mana Kakang Rangga? Apa terjadi sesuatu padanya...?" gumam Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri. "Ah, nanti juga kembali."
Pandan Wangi mencoba memejamkan matanya. Tapi entah kenapa, hatinya jadi begitu gelisah. Sehingga, dia sulit untuk beristirahat. Padahal rasa kantuk dan lelah sudah menghinggapinya. Gadis itu hanya membaringkan tubuh saja, menelentang memandangi langit-langit kamar penginapan ini. Dan pikirannya terus menerawang jauh, memikirkan Rangga yang belum juga kembali. Sementara, pagi terus merayap naik semakin tinggi. Dan matahari juga sudah menampakkan diri. Cahayanya menerangi seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Namun Pandan Wangi masih tetap berbaring di ranjangnya dengan mata menerawang memandangi langit-langit kamar ini.
"Hhh...! Ke mana Kakang Rangga, ya...?" desah Pandan Wangi seraya bangkit, dan duduk di tepi pembaringan.
Memang tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi pada diri Pendekar Rajawali Sakti semalam. Bahkan sampai tengah hari, Rangga belum juga kembali ke rumah penginapan ini. Tentu saja hal ini membuat Pandan Wangi jadi gelisah tidak menentu. Sementara Ki Sampan sendiri, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan kelihatan gelisah seperti Pandan Wangi. Mereka hanya bisa menunggu, tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak juga kunjung datang. Kegelisahan Pandan Wangi semakin bertambah, saat siang sudah berganti senja, karena Rangga belum juga kelihatan batang hidungnya. Padahal, itu belum pernah dilakukan Pendekar Rajawali, Sakti selama ini.

101. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Dara IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang