BAGIAN 3

422 21 0
                                    

Kota Kadipaten Galumbu terasa tampak tenang. Tidak ada lagi yang membicarakan peristiwa pembunuhan dua anak muda beberapa malam yang lalu. Ketenangan ini begitu terasa, sehingga Adipati Gadasewu memusatkan penjagaan di sekitar istana kadipaten saja.
Siang ini udara di Kota Kadipaten Galumbu terasa begitu panas. Matahari bersinar terik, tanpa terhalang awan di langit sedikit pun. Seakan-akan sinarnya yang panas menyengat, hendak membakar seluruh permukaan bumi ini. Musim kering memang sudah mulai merambat wilayah Kadipaten Galumbu. Tidak heran kalau sungai-sungai sudah mulai kelihatan susut. Dan debu semakin banyak bertebaran di sepanjang jalan.
Namun teriknya mentari, tidak menghalangi dua anak muda yang berjalan mengoyak tanah berdebu sambil menuntun kudanya. Keringat terlihat membasahi seluruh tubuh mereka, bercampur dengan debu yang mengepul tersapu angin di jalan tanah ini.
"Matahari sudah ada di atas kepala. Tapi belum juga menemukan sungai..," terdengar suara keluhan dari gadis berbaju biru muda yang berjalan sambil menuntun kuda putih.
Sedangkan pemuda yang berada di sebelah kanannya hanya melirik sedikit saja. Memang sudah setengah harian ini mereka berjalan, tapi belum satu sungai pun ditemukan. Padahal, bukan hanya mereka saja yang kepanasan, tapi kuda-kuda yang dituntun pun juga sudah mendengus-dengus kehausan. Sedangkan matahari siang ini bersinar begitu terik membuat kulit terasa terbakar.
"Kakang, kau dengar itu...?"
"Aku sudah mendengarnya sejak tadi."
"Ayo kita ke sana, Kakang. Kuda-kuda ini sudah kehausan sekali."
Kembali pemuda itu hanya tersenyum saja. Sedangkan gadis berwajah cantik berbaju biru sudah berjalan cepat, setengah berlari sambil menuntun kudanya, menuju suara air yang didengarnya.
Dan memang, setelah mereka melewati sebuah tikungan jalan ini, terlihat sebuah mata air yang mengalir dari sepotong bambu yang tertampung pada sebuah kolam berbatu. Dan kelihatannya, tempat ini begitu sunyi. Tidak ada seorang pun yang terlihat Padahal tidak jauh dari mata air ini terdapat Kota Kadipaten Galumbu.
"Pandan, tunggu...!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih yang berjalan belakangan berseru nyaring, begitu gadis yang berjalan bersamanya tadi sudah langsung akan terjun ke dalam kolam mata air ini. Gadis itu jadi berhenti dan berpaling ke belakang.
"Tunggu dulu, Pandan. Aku periksa, barangkali saja air ini tidak bisa dipakai," kata pemuda itu setelah dekat.
"Kau terlalu curiga, Kakang."
"Lihat sekelilingmu, Pandan."
Gadis yang dipanggil Pandan itu segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia memang Pandan Wangi yang di kalangan rimba persilatan, dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak lain adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Pandan Wangi melangkah mundur sambil tetap memegangi tali kekang kudanya. Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri kolam mata air itu. Pendekar Rajawali Sakti berlutut di tepi kolam, lalu mencelupkan ujung jari tangannya ke dalam kolam. Tidak berapa lama kemudian, ujung jari telunjuknya sudah diangkat. Beberapa saat, dipandanginya jari telunjuk yang basah oleh air kolam ini.
"Beracun...?" tanya Pandan Wangi tidak sabar lagi.
"Tidak," sahut Rangga seraya tersenyum dan menggeleng.
Pandan Wangi juga tersenyum. Langsung dihampirinya kolam itu, lalu dibasuhnya wajah dan lengannya. Setelah tenggorokannya dibasahi air jernih ini, kudanya segera ditarik ke tepi kolam itu. Sementara Rangga sudah sejak tadi menyegarkan tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti kini duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Pandangannya tidak berhenti memperhatikan keadaan sekelilingnya. Kemudian, matanya terpaku pada Kota Kadipaten Galumbu yang perbatasannya sudah dilewati tadi.
"Sudah hilang lelahmu, Pandan?" tanya Rangga, tanpa sedikit pun memalingkan perhatiannya dari Kota Kadipaten Galumbu.
"Sebentar lagi," sahut Pandan Wangi terdengar malas suaranya.
Rangga sedikit melirik gadis itu. Dari sudut ekor matanya, Pandan Wangi terlihat tengah merebahkan tubuh tidak jauh dari kolam batu mata air itu. Sepertinya, dia juga tengah melindungi diri dari sengatan matahari di bawah pohon yang cukup rimbun daunnya. Perlahan Rangga bangkit berdiri. Tubuhnya digerak-gerakkan sebentar untuk menghilangkan rasa pegal yang sejak tadi dirasakan.
"Ayo, Pandan. Kita bisa istirahat lagi nanti di sana," ajak Rangga lagi.
"Hhh...!"
Sambil mengeluh malas, Pandan Wangi bangun juga. Kemudian diambilnya kuda tunggangannya dan kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu dituntunnya kuda-kuda itu mendekati pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini
"Hup!"
Mereka berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing. Dan sebentar kemudian, mereka sudah berpacu di jalan tanah yang berdebu ini menuju ke Kota Kadipaten Galumbu.
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Sementara, Rangga berjalan-jalan menikmati suasana malam di kota yang cukup besar ini, setelah mendapatkan rumah penginapan. Sedangkan Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Memang, Pandan Wangi merasa malas sekali keluar dari kamarnya. Gadis itu ingin melepaskan lelah, setelah seharian penuh terpanggang sinar matahari.
Berkerut juga kening Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan kota yang cukup besar ini begitu sunyi kalau malam. Dan selama berjalan, tidak seorang pun dijumpai. Begitu sunyi, bagaikan sebuah kota mati yang tidak berpenghuni. Bahkan rumah-rumah yang ada hanya menyalakan pelita di beranda depan saja. Pendekar Rajawali Sakti kembali lagi ke rumah penginapan tempat Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Dan seorang laki-laki berusia lanjut yang merupakan pemilik rumahi penginapan ini menyambutnya di pintu depan.
"Dari mana malam-malam begini, Den?" tegur laki-laki itu mencoba tersenyum ramah.
"Jalan-jalan, Ki. Melihat keadaan," sahut Rangga.
"Kalau saja tahu, pasti aku sudah melarangmu keluar malam-malam sendirian," desah orang tua itu seakan menyesali perbuatan tamunya ini.
"Kenapa, Ki?" tanya Rangga jadi heran.
"Terlalu berbahaya, Den. Kota ini sudah tidak aman lagi," sahut pemilik kedai yang biasanya dipanggil Ki Sampan ini. "Apa kau melihat ada orang lain di luar rumah...?"
Rangga hanya menggeleng saja.
"Sudah beberapa hari ini, tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah."
"Kenapa begitu, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
Ki Sampan tidak langsung menjawab. Matanya lantas melirik ke kanan dan ke kiri, seakan takut ada orang lain yang mendengar. Kemudian cepat-cepat dibawanya Pendekar Rajawali Sakti masuk. Rangga hanya mengikuti saja dengan wajah mencerminkan keheranan. Ki Sampan menutup pintu, lalu menguncinya dengan palang. Kemudian diajaknya Pendekar Rajawali Sakti duduk di sebuah balai-balai bambu, beralaskan selembar tikar daun pandan yang dianyam halus.
"Kau tahu, Den. Sudah beberapa hari ini ada Dara Iblis berkeliaran," terdengar begitu pelan suara Ki Sampan.
"Dara Iblis...?"
"Betul. Semua orang mengatakan, dia itu si Dara Iblis yang berkeliaran mencari korban setiap malam. Siapa saja yang dijumpai, pasti mati dibunuh. Bahkan Gusti Adipati sendiri hampir terbunuh waktu hendak menangkapnya. Tapi, untung saja saudara angkatnya cepat datang menolong. Sejak saat itu, tindakan si Dara Iblis semakin bertambah liar. Dia tidak peduli lagi. Siapa saja yang berhadapan dengannya, langsung dibunuh."
"Hm.... Jadi itu sebabnya tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah...?" gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
"Bukan hanya malam saja, Den. Siang juga tidak ada yang berani jauh-jauh meninggalkan rumahnya. Dara Iblis itu sekarang sudah berani muncul siang hari."
"Bukankah kadipaten ini punya pasukan prajurit, Ki. Kenapa tidak dikerahkan saja untuk meringkusnya...?"
"Percuma saja, Den. Dara Iblis itu sangat tangguh. Entah sudah berapa orang prajurit yang tewas di tangannya. Bahkan Gusti Adipati yang berilmu tinggi, hampir tewas terbunuh."
"Sudah berapa lama keadaan seperti ini terjadi, Ki?" tanya Rangga jadi tertarik mendengarnya.
"Sudah hampir satu purnama, Den. Dan sudah tidak terhitung lagi, orang yang mati dibunuh Dara Iblis itu. Bahkan dalam sehari bisa lima orang, yang terbunuh," sahut Ki Sampan, masih terdengar pelan suaranya.
Saat itu tiba-tiba saja terdengar lolongan anjing yang sangat panjang di kejauhan. Dan tak berapa lama kemudian, terdengar ringkikan kuda. Rangga melihat wajah Ki Sampan seketika itu juga jadi pucat pasi dengan tubuh menggeletar seperti terserang demam.
"Dia..., dia datang...," desis Ki Sampan bergetar perlahan.
"Hm...."
Rangga langsung saja turun dari balai-balai bambu itu. Tapi belum juga melangkah, Ki Sampan sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa Rangga tidak jadi melangkah mendekati pintu.
"Jangan, Den. Jangan keluar. Kau bisa mati dibunuhnya," cegah Ki Sampan ketakutan.
"Tenang saja, Ki Aku hanya ingin melihat rupanya saja," kata Rangga sambil melepaskan cekalan tangan orang tua itu dengan halus.
"Den...." Suara Ki Sampan jadi tercekat di tenggorokan.
Sementara Rangga sudah melangkah mendekati pintu. Hati-hati sekali palang pintu itu dibuka. Lalu dengan perlahan juga, dibukanya pintu depan rumah penginapan ini. Sementara, Ki Sampan masih tetap duduk di balai-balai bambu itu dengan wajah terlihat semakin pucat.
Sedangkan Rangga sudah melangkah ke luar rumah dengan ayunan kaki begitu tenang. Ki Sampan bergegas turun dari balai-balai bambu ini, dan tergopoh-gopoh mendekati pintu. Buru-buru ditutupnya pintu, walaupun tidak penuh. Dan dia segera mengintip keluar. Tampak pemuda yang menjadi tamunya itu berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah penginapannya. Jelas sekali kalau sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti menantang, ingin bertemu orang yang dijuluki si Dara Iblis.
"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"
Wajah Ki Sampan seketika jadi memucat bagai mayat, begitu tiba-tiba terdengar tawa terkikik mengerikan. Seluruh tubuhnya jadi bergetar lemas. Dan belum juga suara terkikik itu menghilang dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu, di depan pemuda ini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Bajunya hitam pekat, menyandang pedang bergagang berbentuk bintang emas di punggungnya.
"Hm...."
"Hik hik hik..! Rupanya ada juga orang yang bernyali besar di sini. Bagus...! Aku memang sudah kesal. Mereka semua pengecut! Juga, Gadasewu pengecut itu!"
Terdengar begitu dingin nada suara gadis ini. Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya. Seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti sedang menilai, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki wanita yang dijuluki Dara Iblis ini.
"Anak muda, siapa kau?! Hm.... Apa kau sudah bosan hidup, hingga berani menantangku disini...?" ketus sekali suara si Dara Iblis ini.
"Aku Rangga yang memang ingin menghentikan perbuatan terkutukmu itu, Nisanak," sahut Rangga tegas.
"Hi hi hi...! Berani kau berkata begitu padaku, heh...?! Kau tahu, siapa aku?! Akulah yang dijuluki Dara Iblis! Huh! Aku tidak peduli dengan nama itu. Dan yang penting, aku ingin membunuh habis semua orang di sini."
"Kau tentu punya alasannya."
"Phuih! Ada atau tidak, itu bukan urusanmu!"
"Hm...."
"Bersiaplah untuk menjemput kematian, Kisanak!"
Rangga hanya diam saja, tapi sudah siap kalau Dara Iblis itu melakukan serangan. Sementara si Dara Iblis juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti ini. Sorot matanya begitu dalam sampai menusuk bola mata Rangga. Perlahan langkah kakinya berkeser ke kanan tiga langkah, kemudian.
"Hiyaaaat...!"
Sret!
Cring!
Wut!
"Haiiiit...!"
Rangga jadi terkesiap juga sejenak, melihat kecepatan gerak Dara Iblis dalam mencabut pedangnya. Sambil melompat, pedang itu langsung dibabarkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan manis sekali, pemuda tampan berbaju rompi putih itu menghindarinya. Akibatnya, ujung pedang berwarna kuning keemasan itu hanya lewat di bawah kakinya.
"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Kisanak! Terimalah seranganku ini. Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Bet!
Kembali gadis itu menyerang, membabatkan pedangnya ke arah dada. Tapi, kali ini Rangga tidak hanya menghindar saja. Dan begitu ujung pedang Dara Iblis lewat di depan dadanya, secepat kilat tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!"
Namun tanpa diduga sama sekali, gadis itu malah menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan itu tentu saja membuat Rangga jadi terhenyak tidak menyangka. Tapi, untuk menarik kembali tendangannya sudah terlambat. Dan....
Plak!
"Ikh...!"
"Ups!"
Mereka sama-sama terpental ke belakang begitu tendangan Rangga menghantam tangan Dara Iblis. Meskipun tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi sedikit pun tidak ada pengaruhnya pada tangan gadis itu. Dan ini membuat Rangga jadi berpikir. Memang, gadis ini tidak bisa dipandang ringan. Apalagi, kekuatan tenaga dalamnya sungguh luar biasa.
Sementara si Dara Iblis tampaknya juga tidak lagi bisa memandang rendah pemuda berbaju rompi ini. Tendangan yang diberikan Rangga tadi, sempat juga membuat jantungnya bergetar. Malah sempat juga tulang tangannya terasa nyeri. Untung saja serangan itu tadi ditangkis dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga tidak mengakibatkan luka sedikit pun juga.
"Apa mungkin desa kadipaten ini memiliki pemuda yang tangguh...?" Gumam Dara Iblis bertanya sendiri dalam hari.
Sejenak ditatapnya Rangga dengan sinar mata sangat tajam menusuk, seperti ingin menembus jantung pemuda ini. Kemudian kakinya bergeser ke kanan perlahan sambil menyemburkan ludahnya. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Sorot matanya juga terlihat begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan gerakan kaki gadis cantik berbaju hitam ketat ini.
"Hap! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Dara Iblis kembali melesat bagai kilat dengan ujung pedang tertuju lurus ke tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri hanya diam menunggu serangan lebih dekat lagi. Dan begitu ujung pedang berwarna kuning keemasan itu hampir saja menembus tenggorokannya, mendadak...
"Hats! Yeaaa...!"
Sambil mengegoskan kepalanya ke kanan, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Dara Iblis jadi terperangah tidak menyangka.
"Hap!"
Namun dengan gerakan indah sekati, gadis itu meliukkan tubuhnya. Sehingga, pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tidak sampai mengenai dadanya.
"Hap! Yeaaah...!"
Dara Iblis kembali melenting ke udara. Dan pada saat itu juga pedangnya dibabarkan ke arah kepala pemuda ini. Tapi hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindar. Hanya sedikit saja mata pedang berwarna kuning keemasan itu berkelebat menyambar di atas kepala Rangga.
"Hih! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat-cepat melesat ke udara. Langsung kedua tangannya direntangkan. Bagaikan kilat, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat bergantian, membabat ke arah bagian tubuh Dara Iblis yang mematikan.
"Setan! Ikh...!"
Wuk!
Untuk kedua kalinya Dara Iblis terhenyak. Maka cepat-cepat pedangnya diputar untuk melindungi diri dari serangan dahsyat pemuda ini. Dari gerakan-gerakannya, sudah bisa diketahui kalau Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir. Gerakan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat, sampai kedua tangannya bagaikan berubah menjadi ribuan jumlahnya. Dan memang, Rangga bukan hanya mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' saja, tapi juga dipadukan dengan jurus 'Seribu Rajawali'.

***

101. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Dara IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang