BAGIAN 6

339 21 0
                                    

Rangga terus berlari-lari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menyusuri lorong yang cukup panjang dan berliku ini. Tapi setelah cukup lama berlari, tidak juga menemukan ujung lorong ini. Dan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya. Keningnya jadi berkerut begitu di depannya terlihat sebuah pintu yang sudah jebol.
"Edan...! Rupanya sejak tadi aku berputar-putar saja di sini..!" dengus Rangga baru menyadari.
Rangga berdiri tegak memandangi sekitarnya dengan sinar mata begitu tajam. Perlahan kemudian kakinya terayun melangkah. Setiap dinding di kiri dan kanannya mendapat perhatian yang tajam. Dugaannya, pasti ada dinding rahasia yang dijadikan pintu keluar dari tempat ini. Bahkan langit-langit lorong ini juga mendapat perhatian yang seksama. Rangga terus berjalan perlahan-lahan, menyusuri lorong yang entah sudah berapa kali dilaluinya.
Namun belum jauh berjalan, tiba-tiba saja ayunan kakinya terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap sebuah suara yang terdengar begitu kecil.
"Air...," desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti semakin mempertajam pendengarannya. Benar! Telinganya mendengar suara air bergemericik dari balik dinding batu lorong di sebelah kanannya ini. Cepat dihampirinya, dan ditempelkan telinganya ke dinding itu. Tapi, sesaat kemudian pemuda berbaju rompi putih ini jadi tertegun.
"Hm.... Aku berada di bawah air terjun," gumam Rangga lagi, masih terdengar perlahan. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah dua tindak ke belakang.
"Pasti ada jalan keluar dan masuk ke sini. Tapi..," kembali Rangga tertegun.
Rangga tidak yakin, kalau jalan keluar dari lorong batu ini melalui air terjun yang berada di balik dinding batu lorong ini. Terlalu besar bahayanya kalau dinding batu ini dijebol. Memang tidak terlalu sulit. Tapi, air terjun itu bisa menerobos, masuk ke dalam. Akibatnya, dia akan terkubur hidup-hidup di dalam lorong ini.
"Hhh! Apa akalku sekarang...?" desah Rangga perlahan.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Otaknya terus berputar keras mencari jalan keluar. Sedikit pun tidak ada celah di sekitarnya. Sedangkan suara air di balik dinding ini terdengar begitu jelas di telinganya, walaupun sangat pelan. Perlahan kakinya kembali bergerak menggeser ke belakang, sampai hampir sampai merapat dengan dinding di belakangnya. Dan pada saat itu....
"Heh...?!"
Rangga jadi terlonjak kaget, begitu tiba-tiba merasakan adanya desir angin yang sangat halus menerpa punggungnya. Pendekar Rajawali Sakti sampai terlompat selangkah ke depan, dan cepat berbalik. Dipandanginya dinding yang tadi berada di belakangnya. Hanya dinding batu yang kelihatannya begitu kokoh. Tapi, dari mana ada hembusan angin tadi...?
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati dinding itu. Dan tangannya segera terulur ke depan. Tidak ada lagi hembusan angin terasa di tangannya. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut Diraba-rabanya dinding, batu itu dengan cermat. Dan ketika jari tangannya berada di bagian bawah dinding batu ini, raut wajahnya seketika jadi bersinar.
"Dewata Yang Agung.... Inilah pintu yang kucari," desah Rangga, begitu merasakan hembusan angin dari bagian bawah dinding batu ini
Tapi sejenak kemudian, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun. Dan perlahan-lahan kakinya melangkah mundur sampai punggungnya menyentuh dinding batu di belakangnya. Sebentar Rangga berdiri tegak memandangi dinding batu di depannya. Sementara, kedua tangannya sudah terkepal di pinggang. Sesaat kemudian....
"Hap! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan di saat kedua telapak tangannya terbuka, seketika itu juga melesat cahaya merah bagai api dari kedua telapak tangannya. Dan...
Glarrr!
Dinding batu di depannya seketika hancur berkeping-keping terhajar dua cahaya merah yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Debu kontan mengepul, membuat pandangan matanya jadi terhalang. Namun wajahnya jadi cerah, karena di balik dinding yang hancur itu terlihat pepohonan yang bermandikan cahaya matahari. Bergegas Rangga melompat ke luar. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah di luar....
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Heh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, karena tiba-tiba saja dari sekelilingnya sudah berlompatan orang-orang berseragam serba hitam dan bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung saja menyerang ganas dari segala penjuru.
"Hup! Yeaaah...!"
Tidak ada waktu lagi bagi Rangga untuk mencegah. Maka cepat tubuhnya melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali sambil melepaskan satu pukulan cukup keras ke arah orang yang berada paling dekat dengannya.
Plak!
"Akh...!"
Orang itu memekik tertahan, dan kontan terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah. Sekilas diperhatikannya keadaan sekitar. Ada lebih kurang dua puluh orang berseragam hitam dan bersenjata golok terhunus sudah mengepung dirinya. Mereka adalah pemuda-pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Kini dua puluh orang berpakaian serba hitam itu bergerak perlahan menggeser kakinya mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti. Golok yang tergenggam di tangan kanan bergerak-gerak di depan dada, memancarkan cahaya putih keperakan yang membuat hari siapa saja akan bergetar melihatnya. Tapi Rangga malah kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh golok yang berkilatan tajam di sekelilingnya.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Begitu terdengar teriakan memberi perintah, kedua puluh orang berpakaian serba hitam ini serentak berlompatan menyerang. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, cepat merentangkan kedua tangannya ke samping. Dan saat itu juga, tubuhnya bergerak cepat meliuk-liuk seperti belut, sambil mengibaskan kedua tangannya. Kecepatannya, sangat sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan saat itu juga....
Plak!
Diegkh!
"Akh!"
"Aaa...!"
Terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan tertahan, bersamaan berkelebatnya kedua tangan Rangga yang menyambar para pengeroyoknya. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam itu berpelantingan ke belakang, dengan kepala pecah dan dada remuk. Mereka yang terkena kibasan tangan Rangga dalam penggunaan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tidak ada yang bisa bangkit berdiri lagi. Mereka tewas seketika itu juga dengan kepala pecah dan beberapa orang remuk dadanya.
"Hih! Yeaaah...!"
Menghadapi orang-orang seperti ini, Rangga tidak mau lagi tanggung-tanggung. Terlebih lagi, sekarang ini tidak memiliki senjata apa pun juga. Dia tidak tahu, di mana pedang pusakanya sekarang berada. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa. Hingga tidak ada seorang pun dari para penyerang yang sanggup menghadang. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, dua puluh orang berpakaian serba hitam itu sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Bau anyir darah seketika menyeruak menusuk hidung, terbawa hembusan angin.
"Huh!"
Rangga mendengus kecil memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Dan saat itu keningnya jadi berkerut, melihat sebuah air terjun yang tidak begitu besar. Dan tidak jauh dari situ, terdapat sebuah pondok kecil yang sangat sederhana, tapi kelihatan cukup bersih.
"Hm...," sedikit Rangga menggumam kecil. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling Dia tahu kalau sekarang berada di sebuah puncak gunung yang berselimut kabut cukup tebal. Sehingga, cahaya matahari hampir tidak bisa menembusnya. Dan udara di sini juga terasa begitu dingin. Hanya saja Rangga tidak tahu, apa nama gunung ini.
"Coba kulihat, ada apa di dalam pondok itu...," gumam Rangga.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati pondok kecil yang berada tidak jauh dari air terjun. Rupanya air terjun itulah yang sempat didengar Rangga dari dalam lorong batu yang mengurungnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah perlahan-lahan dengan mata menyorot tajam memandang ke sekitarnya. Pendengarannya juga terpasang begitu tajam, menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Rangga baru berhenti melangkah setelah berada cukup dekat di depan pondok kecil itu. Sebentar diamatinya keadaan sekitarnya. Namun sedikit pun tidak terdengar adanya tanda-tanda kehidupan. Kembali kakinya melangkah mendekati pondok itu dengan sikap sangat hati-hati.
"Hm.... Rupanya ada orang di dalam pondok ini," gumam Rangga setelah dekat dengan beranda pondok itu.
Telinganya yang tajam mendengar adanya tarikan napas yang begitu halus dari dalam pondok. Tapi kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Tarikan napas itu terdengar sangat lemah, seperti dari orang yang tengah menderita.
"Hup!"
Cepat Ranggga melesat menabrak pintu pondok itu. Sekali gedor dengan tangan kirinya saja, pintu kayu biasa itu hancur berkeping-keping.
Brak!
"Heh...?!"
Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu melihat di dalam ruangan pondok ini terdapat seorang laki-laki tua yang seluruh tubuhnya tengah terikat menyatu dengan tiang yang berdiri di tengah-tengah. Bergegas dihampainya laki-laki tua itu. Tapi belum juga dekat, tiba-tiba dari atas atap meluncur sebatang tombak ke arahnya.
"Ups..!"
Hampir saja mata tombak itu menghunjam tubuhnya, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat mengegos. Dan tombak itu langsung menancap tepat di depan laki-laki tua yang terikat di tiang seluruh tubuhnya.
"Hup!"
Tanpa berpaling lagi sedikit pun juga, Rangga cepat merundukkan tubuhnya. Dijumputnya sepotong kayu pecahan pintu. Dan secepat kilat, tubuhnya berputar sambil melemparkan potongan kayu itu ke atas atap.
"Hih! Yeaaah...!"
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan panjang melengking tinggi, yang kemudian disusui jatuhnya sesosok tubuh dari atas atap pondok ini. Tampak sebuah potongan kayu tertancap tembus di lehernya. Hanya sedikit saja orang itu mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi dengan nyawa melayang.
Rangga tidak menghiraukan orang berbaju serba hitam itu. Cepat-cepat dihampirinya laki-laki tua ini, dan melepaskan tambang yang mengikat seluruh tubuhnya. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya sedikit, menatap wajah Rangga yang berada dekat di depannya.
"Bawa aku keluar dari sini, Anak Muda...," lirih sekali suara laki-laki tua ini
"Baik. Hup...!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat menyambar tubuh tua itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan bagai kilat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah berada cukup jauh di luar pondok.
Rangga menurunkan laki-laki tua berbaju jubah putih panjang ini dari pondongannya dan meletakkannya di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Sehingga, tubuhnya terlindung dari sorotan teriknya matahari. Tampak darah kering menggumpal di dalam rongga mulutnya. Dan jubah putihnya ternoda darah yang sudah mengering.
"Anak muda, siapa kau? Kenapa kau ada di sini...?" tanya orang tua itu, lemah sekali suaranya.
"Aku Rangga. Kebetulan saja aku berada di sini," sahut Rangga tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Aku Eyang Gajah Sakti. Puncak Gunung Halimun ini tempat tinggalku. Tapi, sekarang mereka sudah menguasainya. Hhh.... Gadis itu..., gadis itu menginginkan lebih dari pertapaanku yang buruk, ini. Anak muda..., tolonglah aku. Pergilah ke Kadipaten Galumbu. Katakan pada Adipati Gadasewu, agar bisa mempertahankan istana dari rongrongan Sarita. Jangan sampai gadis itu menguasainya."
Laki-laki tua yang ternyata bernama Eyang Gajah Sakti ini terbatuk beberapa kali. Begitu lemah keadaannya. Dari luka-luka yang menggurat di tubuhnya, sudah bisa dipastikan kalau Eyang Gajah Sakti mendapatkan siksaan yang cukup parah.
Sementara Rangga hanya membisu saja. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Dan rasa-rasanya, Rangga pernah mendengar nama Eyang Gajah Sakti. Dan memang Adipati Gadasewu pernah bercerita kalau Eyang Gajah Sakti adalah gurunya, yang telah tewas terbunuh. Jadi, bukankah seharusnya laki-laki di hadapannya ini sudah mati? Tapi kenapa kenyataannya begini? Walaupun, memang tampaknya umur Eyang Gajah Sakti tak akan lama lagi. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung. Lantas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti? Apakah gadis yang baru saja disebutkannya?
"Siapa gadis itu, Eyang?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Sarita.... Dia anak tiri Kanda Adipati Payangga, Ayahanda Adipati Gadasewu. Gadis itu telah menaruh dendam pada keluarga adipati, karena ibunya bersama dirinya merasa disia-siakan. Dia bukan hanya ingin merampas istana peninggalan Adipati Payangga, tapi juga akan menghancurkan Kadipaten Galumbu. Bahkan Sarita merasa berhak atas Kadipaten Galumbu. Ukh...! Anak muda.... Katakan pada Adipati Gadasewu, jangan mempercayai siapa pun juga. Apalagi orang yang bernama Rondokulun. Dia itu kekasih Sarita, yang bermaksud merebut kekuasaan Adipati Gadasewu. Ugkh...!"
"Eyang...."
Beberapa kali Eyang Gajah Sakti terbatuk dan menyemburkan ludah yang bercampur darah kental berwarna agak kehitaman. Keadaannya semakin terlihat lemah. Dan napasnya juga sudah mulai tersendat. Rangga tahu, laki-laki tua ini tidak mungkin lagi bisa ditolong. Siksaan yang diterimanya begitu berat. Tak jelas, sudah berapa lama Eyang Gajah Sakti tersiksa di puncak Gunung Halimun ini.
"Hhh...!"
Rangga hanya bisa menarik napas panjang saja, melihat Eyang Gajah Sakti sudah terkulai tidak bernyawa lagi. Perlahan diusapnya wajah laki-laki tua itu hingga kedua matanya terpejam. Lalu, dibaringkannya di bawah pohon ini. Sebentar Rangga memandangi tubuh tua yang sudah tidak bernyawa itu. Terngiang kembali kata-kata Eyang Gajah Sakti yang terakhir.
Rangga memang baru kali ini melihat Eyang Gajah Sakti. Tapi dari kata-katanya yang terakhir, bisa diketahui kalau apa yang terjadi di Kadipaten Galumbu hanya persoalan keluarga dan perebutan kekuasaan saja. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak menyukai cara gadis yang berjuluk Dara Iblis itu.
"Hm.... Nyawa Adipati Gadasewu benar-benar terancam sekarang. Aku harus segera kembali ke Kadipaten Galumbu," gumam Rangga perlahan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandangi tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur tidak bernyawa lagi di depannya. Kini jelas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti. Selain gadis yang bernama Sarita, ternyata Rondokulun ikut terlibat. Padahal, pemuda itu adalah murid Eyang Gajah Sakti sendiri. Mungkin karena terbuai oleh cintanya pada Sarita, Rondokulun jadi lupa diri. Bahkan ikut bersekongkol. Rondokulun kemudian pergi ke Kadipaten Galumbu untuk pura-pura mengabarkan pada Adipati Gadasewu bahwa Eyang Gajah Sakti telah tewas. Dan itu memang siasat Rondokulun, agar bisa menyusup ke dalam istana. Dengan demikian, dia bisa membaca kelemahan dan kekuatan prajurit. Baru setelah itu, istana bisa dikuasainya.
"Maaf, Eyang. Kalau aku sudah menyelesaikan semua amanatmu, aku akan kembali lagi untuk menguburkanmu di sini," ujar Rangga pelan.
Setelah berkata demikian, cepat sekali Rangga melesat pergi menuruni puncak Gunung Halimun yang selalu terselimut kabut ini. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu tanpa diketahui sama sekali, sepasang mata yang sangat indah mengamati perbuatan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan pemilik sepasang mata itu baru keluar dari balik semak tempatnya bersembunyi, setelah Rangga benar-benar tidak terlihat lagi bayangannya.
Ternyata dia seorang gadis muda yang sangat cantik. Baju hitam pekat yang dikenakannya begitu ketat, membungkus tubuh yang ramping, indah, dan padat berisi. Sebilah pedang bergagang emas berbentuk bintang pada ujung tangkainya terlihat menyembul dari balik punggungnya. Gadis itu berdiri tegak tidak jauh dari tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur kaki tidak bernyawa lagi.
"Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., dia benar-benar manusia tangguh yang sukar sekali dihadapi," gumam wanita itu perlahan.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi tubuh-tubuh berbaju hitam yang bergelimpangan di sekitar puncak Gunung Halimun ini.
"Benar-benar tangguh dia. Semua anak buahku tewas di tangannya," gumam gadis itu lagi perlahan.
Beberapa saat wanita berwajah cantik itu terdiam membisu, berdiri tegak memandang ke arah kepergian Rangga tadi. Dia tahu, arah yang dituju Pendekar Rajawali Sakti adalah Kadipaten Galumbu.
"Hhh! Kedudukan Kakang Rondokulun sudah terancam. Aku harus mendahuluinya, sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menemui Adipati Gadasewu Huh! Memang sebaiknya adipati keparat itu kubunuh saja. Karena dia, aku sengsara seumur hidup!"
Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagal kilat, wanita berbaju hitam yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis itu melesat cepat menuruni puncak Gunung Halimun. Tapi arah yang dituju tidak sama dengan yang dilalui Pendekar Rajawali Sakti.
Tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Dara Iblis memang sudah tinggi sekali. Sehingga hanya bayangan putih saja yang berkelebat begitu cepat bagai kilat, menembus tebalnya kabut yang menyelimuti seluruh puncak gunung ini. Dan dalam waktu sebentar saja, bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, puncak Gunung Halimun ini jadi sunyi senyap, tanpa terdengar suara sedikit pun juga. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek daun-daun.

***

101. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Dara IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang