"Mas, yang coklat satu"
"Toppingnya Dek?"
"Mm...apa ya? Itu aja Mas, chocochip sama keju"
"Bentar ya Dek"
"Siap Mas. Berapa?"
"Lima belas ribu"
"Ini ya Mas uangnya"
Lima menit menunggu akhirnya tenggorokan kering Kamil, basah seketika.
"Eh Mil, di sini rupanya. Perpus yuk!" ajak Fafa sambil terengah-engah.
"Udah dari tadi di perpus. Sekarang ayah udah nunggu di mobil" tolak Kamil.
"Eh, udah dijemput aja" jawab sahabatnya kecewa.
"Iya, makannya aku ke sini. Gimana Fa, mau pulang bareng atau mau tetep ke perpus?" Tawar Kamil.
"Mm, gimana ya? Ikut aja deh. Percuma juga ke perpus, gak ada temennya. Kebetulan juga hari ini aku pulang naik angkot. Lumayan dapet tumpangan gratis" Fafa menerima tawaran Kamil.
Ke perpus ada lah kebiasaan mereka setiap istirahat setelah menghabiskan bekal mereka dan setiap pulang sekolah sambil menunggu dijemput. Jam jam kosong pun terkadang mereka manfaatkan untuk pergi ke perpus. Meski hanya sekedar melihat-lihat buku, rebahan di ruang baca lesehan, atau hanya sekedar ngadem di perpus. Hal ini mereka jadikan hobi 3 bulan terakhir ini di sekolah baru mereka.Mobil putih itu mulai membaur dengan mobil-mobil lain. Dengan gesitnya menyalip satu per satu kendaraan di depannya. Dengan kecepatan standar, mobil itu membelah jalanan kota siang ini. Sedikit ramai dengan hawa membara membakar tubuh.
Di dalam mobil itu senyap. Tak ada suara apa pun selain desingan AC mobil yang dinyalakan denhan suhu terendah.
"Yah" celetuk Kamil memecah hening.
"Apa sayang?" Sahut ayahnya masih dengan fokusnya menatap jalan.
"Kamil boleh beli buku?"
"Buku apa? Besok aja, kasihan Fafa. Masak harus ikut ke mana kita pergi." Tolak ayah halus.
"Nanti sore Yah?" Kamil menego
"Besok atau enggak sama sekali. Ayah capek!" Tolak ayah lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit menekan.
"Ya deh..." Kamil mencoba mengalah.
"Buku apa sih Mil?" sela Fafa
"Itu loh, novel baru. Tau kan?"
"Oh, yang itu. Taulah. Kalo itu mah diperpus ada Mil. Besok pinjem aja" saran Fafa.
"Emang ada beneran?" Tanya Kamil tak percaya.
"Ada lah. Ih gak percayaan deh"
"Ya deh, percaya"🍁🍁🍁
"Fafa!!!" Teriak Kamil sekembalinya ia dari kamar mandi mengagetkan seisi kelas.
"Aduh, mana sih tuh orang? Katanya mau nemeni pinjem buku. Malah ngilak tanpa jejak." Gerutu Kamil merutuki temannya.
"Kamil!" Kejut Fafa dari balik pintu
"Wush!" Kamil terperanjat
"Dari mana aja?!" Tanya Kamil kesal
"Dari kantin." Jawab Fafa tanpa rasa bersalah.
"Lama banget. Gak ajak ajak lagi"
"Eh, abis udah laper banget. Maklum tadi gak sempet sarapan. Lagian kamu juga gak ada di kelas. Toh kamu juga gak boleh jajan di kantin kan sama bundamu"
"Ya udah, ayo. Jadi kan?" Kamil terus terang.
"Ke mana?"
"Ya elah, masih tanya lagi. Inget kan, janjimu kemaren siang?" Kamil meyakinkan.
"Apaan? Yang mana sih?"Jawab Fafa tak berdosa.
"Ke perpus Fafa! Inget kan?"
"Ngapain ke perpus?"
"Hadeh. FAFA!!!" Teriak Kamil sambil menepuk dahi.🍁🍁🍁
Cursor pada kolom searching itu berkedip-kedip. Dengan setia menanti huruf-huruf yang akan mengejarnya.
"Tenggelamnya cinta pujangga" gumam Kamil bersamaan dengan tangannya yang gesit memencet tombol-tombol pada keyboard di depannya. Setelah menunggu sekitar lima detik sejak ia tekan tombol enter, akhirnya muncullah gambar cover buku itu pada samping kanan atas layar. Dengan berbagai deskripsi di sampingnya.
"Rak nomor 480 kategori fiksi dengan label oranye." Pekik Kamil
"Ayo Fa, aku udah tau letak bukunya"
"Yup!"Tak lama kemudian buku itu sudah berada di genggaman Kamil. Ia segera membawa ke meja peminjaman. Di sana telah ada pustakawan yang menunggu.
"Kak, aku pinjam ini" ujarnya
"Nama, kelas, nis?" timpal kakak pustakawan
"Ananta Kamil von Bismarc, kelas tujuh Ibnu Firnas, nisnya 2770" jawab Kamil semangat.
"Kartu pustaka?" tanya kakak pustakawan.
"Nah" Kamil merogoh saku bajunya. Lalu mengulurkan tangannya memberikan kartu pustakanya.🍁🍁🍁
Tanpa disadari ada yang memerhatikan gerak gerik Kamil. Dalam hatinya tertanam rasa kagum pada remaja blasteran Jerman-Prancis itu. Membuatnya memiliki keinginan untuk dekat dengannya.
"Orang itu kan yang katanya blasteran. Udah keliatan dari mukanya. Yang selama ini jadi juara kelas?" Gumamnya dalam hati. Berharap bisa menjadi bagian dari mereka.
"Udah ganteng, lucu, pinter, ramah lagi. Seneng deh kalo bisa jadi sahabatnya. Beruntung banget ya sahabatnya." Bisiknya dalam hati. Kata-kata seperti itulah yang saat ini terbisik dalam hati kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Kita
Teen FictionJika keluarga adalah tempat kita pulang, maka sahabat adalah kendaraan yang menyertai dan menjaga kita di pengembaraan. Penuh petualangan sebelum akhirnya pulang ke pelukan keluarga.