"Kak Nara, tau gak? Kamil tuh lagi kesel." Adu Kamil kepada kakaknya.
"Gak tau" jawab kak Nara singkat.
"Ish, gitu bet sih"
"Terus harus gimana? Orang beneran gak tau. Yang Kakak tau, cuma kenyataan tentang adek Kakak ini yang gampang banget kesel." Ujar Kak Nara jujur.
"Sumpah ya, punya kakak kok ngeselin banget sih"
"Tuh kan, baru gitu aja udah kesel. Bener kan?" Kak Nara tertawa licik.
"Udah berantemnya. Abisin dulu makanannya!" Bentak Ayah.🍁🍁🍁
"Ting" mesin pemanggang roti itu berdenting. Roti tawar yang tadi diapitnya mencuat seketika. Menandakan bahwa rotinya sudah matang.
"Roti lagi bun?"keluh Kamil.
"Apanya?" Bunda balik bertanya bingung.
"Bekalnya" jawab Kamil.
"Kenapa emang?"
"Bosen Bun. Kalo Kamil gak bawa bekal boleh?" Kamil memelas. Berharap bundanya mengizinkan tak bawa bekal. Bunda selalu membawakan Kamil bekal karena tak mau anaknya jajan sembarangan.
"Boleh, asal gak usah jajan apa-apa. Okay?" Tolak bunda kekeuh.
"Yah...Bunda ngeselin." Keluh Kamil lagi.
"Dih, baru gitu aja udah kesel." Keluhan Kamil barusan malah mengundang celaan baginya.
"Apa sih, Kak? Ya udah Kamil bawa bekal, tapi nanti boleh jajan ya Bun. Please"
"Ya deh" bunda mengalah.🍁🍁🍁
Bel sekolah terdengar seantero sekolah. Banyak siswa berhamburan ke kantin. Kamil dan Fafa menunggu hingga kelas sepi untuk membuka bekal mereka.
"Udah sepi Fa. Ayo makan." Ajak Kamil setelah memastikan kelas benar-benar sepi.
"Yup!" Sahut Fafa.
Belum sempat mereka membuka bekal, Zidan hadir di hadapan mereka dengan tangan membawa kotak bekal.
"Ikutan yak." Pinta Zidan dengan gugup yang semakin berkurang setiap harinya.
Kamil mengurungkan niatnya membuka kotak bekalnya. Ia sudah terlanjur kesal dengan kehadiran Zidan.
"Fa, ke kantin yuk!" Ajak Kamil tiba-tiba.
"Emang boleh sama bundamu?"
"Boleh"
"Ayo, tapi Zidan?"
"Biarin. Dia mau makan bekalnya. Liat tuh keknya enak banget saladnya. Kasian kan kalo gak dimakan." Tunjuk Kamil ke arah kotak bekal transparan Zidan.
"Ya udah kalo gitu. Zidan kita duluan ya." Fafa terlihat canggung dengan Zidan. Tangannya sudah terlanjur ditarik paksa oleh Kamil. Alhasil ia tak bisa apa-apa selain mengikuti Kamil.
"Kamil Fafa, Aku ikut boleh?" Ujar Zidan kecewa.
"Gak usah. Abisin dulu bekalmu!" Teriak Kamil berjalan keluar.
"Soal bekal, bisa nanti. Aku ikut ya" Zidan masih memohon.
Tak ada jawaban dari Kamil. Ia melenggang begitu saja dengan tangannya yang menarik Fafa yang masih terus menatap Zidan iba.🍁🍁🍁
Hari demi hari berlalu. Zidan semakin gencar berusaha menjadi sahabat Kamil. Harapannya tak pernah putus. Begitu pun Kamil, tak pernah gencar menolak Zidan. Semakin ke sini, ia semakin membenci Zidan. Tak suka dengan kelakuan Zidan yang menurutnya tak tau diri. Namun tidak bagi sahabatnya, Fafa. Bagi Fafa sangat mudah menerima siapa pun untuk menjadi temannya. Fafa tak pernah paham dengan jalan pikiran sahabatnya, Kamil.
Berkali-kali Kamil menolak Zidan menjadi sahabatnya. Hingga pada suatu hari ia benar-benar kesal dengan kelakuan Zidan.
"Kamil!" Cegah Zidan ketika Kamil hendak menuju mobilnya.
"Apa!? Ganggu tau!" Bentak Kamil.
"Ya Allah Mil, aku cuma pengen deket sama kamu"
"Kan aku udah bilang berkali-kali. Kalo sahabat itu gak bisa dipaksa. Sahabat itu terbentuk dengan sendirinya. Dan aku gak bisa sahabatan sama orang yang aku gak suka dan gak kebiasa. Dan bukan sahabat namanya kalo gak ada ketulusan diantara keduanya. Inget ini GAK BISA DIPAKSA!" Peringat Kamil dengan nada menekan.
"Tapi kan soal kebiasa itu biar urusan waktu"
"Gak bisa! Buat apa sahabatn kalo gak pernah tulus?! Buat apa sahabatan kalo dipaksa dan terpaksa?!" Kamil makin kesal.
"Udah ah, awas. Aku mau lewat nih!" Usir Kamil.
"Gak mau"
"Minggir ah!" Kamil mendorong Zidan hingga ia terjengkang. Zidan merintih kesakitan.
"Huft, susah banget sih ngadepin orang kek gitu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Kita
Teen FictionJika keluarga adalah tempat kita pulang, maka sahabat adalah kendaraan yang menyertai dan menjaga kita di pengembaraan. Penuh petualangan sebelum akhirnya pulang ke pelukan keluarga.