Aroma lezat menguar dari dapur. Ditambahnya penyedap rasa setelah ia cicipi masakannya yang ternyata kurang gurih.
"Bunda!" Kamil menepuk pundak bundanya dari belakang. Membuat bndanya melonjak kaget.
"Astaghfirullah Kamil, udah pulang?"
"Udah. Masak apa bun?"
"Sop bayam."
"Ada tempe gorengnya kan?"
"Ada sayang"
"Yeay!"
"Kapan mateng?"
"Bentar lagi. Sana gih ganti baju dulu"Kamil pun melenggang ke kamarnya di lantai dua. Tak sabar menanti waktu makan sore tiba. Perutnya sudah merintih menuntut haknya.
"Kak, Kamil dapet bukunya." Pamer Kamil kepada kakanya setelah selesai ganti baju.
"Buku apa?" Sahut kakanya malas.
"Tenggelamnya Cinta Pujangga. Gitu banget sih nanggepinnya" Jawab Kamil sinis.
"Eh, beneran?" Seketika kakanya menjadi antusias. Dicopotnya headphonenya lalu ia kalungkan ke lehernya.
"Iya lah." Sombong Kamil
"Da..." Kata kata Kakaknya tercekat.
"Stop Kak, coba deh denger. Ada yang manggil kita. Itu artinya..." Sela Kamil sambil menangkupkan tangannya ke telinganya, kemudian melirik jam di tangannya.
"Kak, ayo makan!" Teriaknya membuat kakaknya geleng-geleng. Ia pun mengikuti langkah adiknya.
"Nanti pinjem ya dek" Kak Nara menyikut adiknya ketika sampai di meja makan. Tentu saja dengan nada dan muka memelas.
"Dih, Kamil dulu lah" sergah Kamil.
"Habis kamu selesai?"
"Kamil kembaliin ke perpus."
"Aih, Kakak pinjem dulu." Kak Nara mulai kesal
"Mm, boleh gak ya?" Tanya Kamil pada dirinya.
"Bolehlah, ya..." Paksa kak Nara.🍁🍁🍁
"Scroll terus Dan, sampe ketemu." Tangan kanannya memperlambat geraknya. Matanya tak berhenti menatap satu per satu nama akun dengan teliti. Berharap menemukan nama akun seseorang.
Sebelumnya ia telah menanyakan siapa nama orang yang ia kagumi akhir-akhir ini. Berbagai hal ia tanyakan termasuk apa nama akun instagram orang itu.
Tiba-tiba seluruh geraknya terhenti. Menyisakan bibirnya yang ia biarkan komat-kamit merapal sebuah untaian kalimat syukur. Lalu seketika bersorak senang.
"Bapak, Ibuk, Mbak, Zidan nemu akunnya!" Teriaknya dari dalam kamarnya. Mengalahkan suara koloni jangkrik yang sedang berorkestra.
"Diem bisa gak?! Suaranya mbak mbak reporter jadi gak kedengeran tau!" Balas kakaknya dari ruang keluarga sambil mengeraskan volume TV. Teriakannya tak kalah keras dari Zidan.🍁🍁🍁
"Bismillah, semangat Dan" bisiknya dalam hati. Kedua telapak tangannya ia tangkupkan lalu ia gosok gosokkan. Entah apa tujuannya. Padahal udara pagi ini tak dingin sama sekali. Mungkin ia tujukan untuk meredakan rasa gugupnya. Matanya menatap lekat remaja dengan tas yang digendong satu talinya yang ia yakini adalah Kamil. Secara perlahan namun pasti, ia cepatkan langkahnya mendekati remaja itu.
"Kamil!" sapa Zidan
Kamil menengok ke arah suara itu. Bingung dengan siapa gerangan yang baru saja menyapanya.
Meski sudah hampir empat bulan Kamil bersekolah di ranah barunya, namun ia belum mengenal banyak siswa. Karena memang Kamil adalah remaja yang tertutup. Ia tak mau memulai percakapan dengan orang yang belum ia kenal. Namun jika sudah kenal, tak henti-hentinya ia bercakap ini itu. Walau begitu ia adalah remaja periang, ramah, namun pemalu.
Kamil terjebak di antara pilihan antara harus membalas sapaan Zidan yang belum ia kenal atau membiarkannya begitu saja. Ia tak terbiasa dengan orang asing.
Akhirnya ia memutuskan untuk tersenyum simpul kepada Zidan, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Zidan yang masih disampingnya dibuatnya melongo dengan sikapi dinginnya. 'Seginnya kah sikapnya ke orang yang belum ia kenal?' Zidan bertanya dalam hati.
"Huft...its okay lah gak dibales. Setidaknya aku udah berani nyoba. Toh, dia juga udah ngasih senyumnya. Lumayan lah."🍁🍁🍁
Kamil masih dibuat bingung dengan remaja yang baru saja menyapanya. Wajahnya terlihat familier di ingatannya. 'Tapi siapa ya?'
"Mil!" Fafa memecah lamunan Kamil. Rupanya sedari tadi ia menyaksikan kejadian itu dari balkon di depan lelas mereka.
"Ya?" Sahut Kamil kaget
"Siapa Mil?" Sergap Fafa tiba-tiba
"Siapa apa?" Tanya Kamil tak mengerti
"Yang barusan nyapa Kamu"
"Oh" sahut Kamil mulai mengerti
"Entah, kek pernah liat orangnya"
"Yaelah Mil, iyalah pernah liat. Orang temen sekelas"
"Iyakah?"
"Hadeh, temen sekelas aja gak kenal. Segitu tertutupnya sama orang lain"
"Eh, terlalu tertutup ya?"
"Ya gitu"
"Napa sih tanya tanya dia?"
"Gak papa sih, kasian aja liatnya"🍁🍁🍁
Kelas Kamil sepi. Tersisa 3 anak di dalamnya. Kamil sendiri, Fafa, dan Zidan yang terpisah jauh dari tempat duduk mereka. Kamil dan Fafa memang jarang ke kantin untuk jajan. Mereka selalu dibawakan bekal oleh orang tua mereka.
Seperti halnya hari ini. Mereka menikmati bekal itu berdua di meja mereka di lojok kelas paling depan. Tanpa menyadari dan memedulikan orang di belakang mereka. Lebih tepatnya 7 meja di belakang mereka. Di barisan paling belakang. Tawa mereka lepas sesekali.
"Eeh Fa, itu!" Kamil berseru kalap
"Apa?" Timpal Fafa ikutan kalap
"Tomatnya mau merosot" tunjuk Kamil ke arah sandwich yang dimakan Fafa.
"Eh eh, tolong Mil, ambilin tisu!" Seru Fafa cemas
"Ambil sendiri. Manja!" Canda Kamil
"Ya ampun, tolong lah Mil. Cepetan, susah nih geraknya. Takut jatuh tomtnya!" Melas Fafa
"Iya iya" Kamil mengalah
Belum selesai Kamil mengambil tisu untuk Fafa, tiba-tiba Fafa menjerit. Membuat Kamil ikut menjerit bersamanya. Rupanya tomat tadi benar-benar jatuh.
"Huwahahaha!!!" Tawa mereka lepas setelahnya.
Yang di belakang sana hanya bisa melihat gerak-gerik mereka. 'Betapa bahagianya memiliki sahabat.'"Misi" tawa mereka terhenti
Kamil .embalikkan tubuhnya. Melihat ke arah asal suara. Ia menatap kesal remaja itu. 'Ah, ini lagi'
"Kenalin aku Zidan" ujar remaja tadi gugup sambil mengulurkan tangan mengajak salaman.
"Enggak kok. Tenang aja. Santuy." Seloroh Fafa tiba-tiba.
"Kenalin juga aku Fafa." Malah Fafa yang menerima uluran tangan Zidan.
"Eh" Zidan terlihat bingung.
"Kamil kan?" Zidan mencoba memastikan. Takut menanggung malu bila salah orang.
"Yap bener Ananta Kamil von Bismarc. Remaja kelahiran Bordeaux Prancis." Potong Fafa
"Wush! Sewot amat sih" sergah Kamil.
"Aku Kamil. Nice to meet you." Kamil mengembangkam bibirnya. Sangat menawan. Meski terpaksa.
"Nice to meet you too." Jawab Zidan.
"Boleh gabung?" Sambung Zidan malu-malu.
"Oh, boleh boleh. Boleh banget dong. Ayo sini gabung." Lagi-lagi Fafa yang menjawab.
"Eheh." Zidan melangkah mendekati mereka. Pelan-pelan.
"Ayo sini gak usah malu-malu. Mau gak sandwich? Nah, aku masih ada satu." Fafa geregetan melihat Zidan yang malu malu mendekati mereka.
Kamil menyikut perut Fafa tak terima. Dalam hatinya menggerutu 'Siapa sih, ganggu aja. Gak kenal juga. Ikut ikut aja. Ngapain coba. Hiih, mana Fafa ngizinin lagi. Ngeselin banget sih.'
"Bentar, aku kebelet nih." Kamil mencari alasan. Ia tak suka apabila ada orang yang mengganggunya ketika ia asyik dengan dunianya. Meski orang itu tak berniat mengganggu. Tapi selama Kamil merasa tetganggu ia akan tetap kesal dengan oang itu. Apalagi orang yang belum ia kenal dekat. 'Siapa sih dia' anggapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Kita
Teen FictionJika keluarga adalah tempat kita pulang, maka sahabat adalah kendaraan yang menyertai dan menjaga kita di pengembaraan. Penuh petualangan sebelum akhirnya pulang ke pelukan keluarga.