Tentang Pratama 4

10 0 0
                                    

Pratama menghembuskan nafasnya gugup, lagi pula kenapa dia segugup ini, padahal dia hanya ingin mengutarakan perasaannya kepada Ica. Dan hal ini bukan yang pertama kali Pratama alami, bahkan bisa dibilang Pratama sudah pro sekali kalau urusan nembak cewek.

Sepulang sekolah Pratama izin kepada Ica ingin keluar sebentar, dan kesempatan itu dia manfaatkan membeli bunga untuk mendukung acara mengutarakan perasaanya ini terhadap Ica. Dan sekarang dia sudah kembali ke sekolah, langsung menghampiri Ica yang berada di ruang Laboratorium karena cewek itu harus mengerjakan tugas yang diberikan guru kepadanya.

Pratama menyembunyikan bunga kebelakang punggungnya, berjalan menghampiri Ica sambil menetralkan debaran jantungnya.

"Nih ada bunga buat tuan putrinya Pratama," Kata Pratama sambil tersenyum.

Ica menerimanya agak ragu, "Hari ini bukan hari valentine loh Tam,"

Pratama duduk tepat di samping Ica. " Gue mau ngomong sesuatu."

Ica memperhatikan Pratama seksama sampai dia harus menghadap ke cowok itu. "Ngomong aja," Ica langsung memfokuskan lagi ke bukunya.

"Gue suka sama lo, Ca."

Reaksi yang Ica rasakan tentulah terkejut, lalu dia menengok lagi kearah Pratama sambil tersenyum. "Gue juga suka sama lo,"

Gantian Pratama yang terkejut. "Seriusan?"

"Siapa sih cewek yang gak suka sama lo Tam? Ganteng, tajir, humoris juga. Ya karena gue cewek jadi gue juga suka sama lo."

"Terus maksud lo? Lo gak ada perasaan lebih ke gue?"

"Perasaan gue ke lo ya cuma sekedar sahabat aja. Gak lebih, dan gue yakin lo pasti bercanda doang kan?" Ica terkekeh merasa sudah mengetahui rencana Pratama yang ingin menjahilinya saja.

"Gak, gue beneran suka sama lo. Emang sih belum cinta tapi gue pastiin perasaan gue ke lo ini gak main main."

"Dasar playboy akut lo, udah ah gue mau ke kantor dulu. Nih bunganya gue numpang pegangin dulu, nanti berabe kan ke kantor bawa bunga segala." Ica tertawa gembira, lalu berjalan keluar Laboratorium.

Pratama tersenyum melihat Ica yang terlihat gembira sekali. "Dasar, lo doang yang berhasil buat gue deg degan."

Lalu Pratama melihat bunga mawar yang ada di tangannya, "Yah kita di tolak, gak papa lain kali kita coba lagi oke? Jangan sedih ya bunga."

Perhatiannya teralihkan kepada setumpuk buku yang berada di depannya. Ica kalau sudah belajar memang tidak tanggung tanggung, langsung mempelajari buku buku tebal yang kalau dilihat saja sudah membuat enek.

Iseng Pratama membuka buku yang tebal itu, dan pada saat itu juga Pratama langsung menutupnya. Sungguh dia benar benar tidak sanggup melihat buku yang hanya terdiri dari huruf saja.

Dan pada saat menutup Pratama tak sengaja melihat buku berukuran sedang bertuliskan Diary Adelia Fransisca. Sebenarnya Pratama tidak ingin membukanya, tetapi rasa kepo di dalam dirinya sudah meluap luap tak terkendali.

"Liat bentaran doang ya Ca?" Pratama membuka random buku diarynya, tepatnya dia membuka dibagian paling tengah. Dan di kertas itu bertuliskan.

"Hari ini gue pulang bareng sama cecenguk Pratama, sebelum pulang kita makan dulu sih. Nah pada saat jalan mau pulang gue liat ada anak cowok duduk sendirian di trotoar , awalnya ya gue bodo amat. Tapi setelah ngeliat tangannya berdarah gue langsung berentiin Tama dong. Gue kasian banget ngeliat tuh anak cowok, dan pada saat gue tanya dia kenapa? Anehnya tuh anak jawab gak papa dengan ekspresi datar. Padahal jelas jelas gue liat nadinya robek dan darahnya tuh ngalir keluar, akhirnya gue teken lukanya, dan si anak itu gak kesakitan sama sekali woi! Karena gue paham langsung aja gue bawa dia ke rumah sakit. Pada saat di rumah sakit si Pratama nanya ke gue, itu anak kenapa sih kok bisa aneh gitu? Ya gue jawab kalau tuh anak punya penyakit CIPA, penyakit yang sama yang gue alami:)  Gue jelasin sejelas jelasnya ke dia tentang penyakit itu, dan disitu gue bingung banget. Antara memberitahu penyakit gue atau enggak ke dia. Padahal gue punya penyakit yang sama kaya anak cowok itu."

Pratama terkejut bukan main, apa yang dibacanya itu bohongan kan? Tidak mungkin Ica juga memiliki riwayat penyakit CIPA. Penyakit yang sangat berbahaya itu. Pratama menggeleng sambil tersenyum hambar.

"Gak mungkin, itu pasti bohong." Dia bermonolog untuk menenangkan diri sendiri.

"Gak bohong kok, itu beneran. Gue beneran pasien CIPA." Lagi lagi Pratama terkejut, dia langsung mengadah dan melihat Ica tepat di depan wajahnya.

Dan tepat pada saat itu juga bunga yang ada di tangan Pratama jatuh bersamaan dengan satu bulir air mata yang lolos jatuh membasahi pipinya.

Pratama menggeleng, "Bercandanya gak lucu, Ca!"

"Terserah mau percaya apa enggak, tapi gue beneran pasien CIPA. Gue gak bisa ngerasain sakit, gak bisa ngerasain panas atau dingin, dan juga gue gak keringetan." Ica berjalan santai ke samping Pratama lalu dia mengambil bunga yang jatuh tadi.

"Emang lo gak curiga? Kemaren pada saat makan sama lo gue sama sekali gak ngeluarin keringet padahal kan posisinya itu lagi panas banget. Sama gue makan mie ayamnya gak di tiup dulu padahal itu baru mateng. Jawabannya satu gue gak bisa ngerasain itu semua jadi kemaren gue agak gugup takut ketauan sama lo."

Ica menggenggam telapak tangan Pratama, membimbingnya supaya mau berhadapan dengan Ica. Dan pada sat itu juga Ica melihat Pratama dengan mata yang memerah dan berkaca kaca.

"Gue gak mau ngerahasiain ini lagi ke lo, karena lo udah tau sendiri jadi gue gak akan nutupin penyakit ini lagi ke lo. Tapi gue minta tolong jangan kasih tau ke siapapun tentang penyakit gue ini. Karena lo satu satunya orang yang tau, selain keluarga gue."

"Pratama janji ke gue, lo gak bakal ngasih tau ke siapapun?"

Pratama mengangguk lesu, lalu dia membalas genggaman tangan Ica yang terasa dingin sekali. Dan membawanya tepat di depan matanya, "Lo beneran pasien CIPA?"

Ica mengangguk.

Tepat pada saat itu juga Pratama langsung memeluk Ica. Erat sekali, salah satu tangannya tetap setia menggenggam telapak tangan Ica.

"Gue akan selalu ada di samping lo." Kata Pratama.

Ica tersenyum menepuk nepuk punggung Pratama pelan, dan disaat itu juga dia merasakan cengkraman yang makin erat di punggungnya. Yang membuat dia semakin dempet dengan Pratama.

"Gue juga akan selalu ada di samping lo Tam."

***

Vote+Comment.

About Him Named Is Pratama.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang