Tentang Pratama 5

15 0 0
                                    

Begitu sampai mereka berdua langsung turun dari mobil. Ica meminta kepada Pratama sebelum pulang supaya mereka menjenguk Bastian dulu, anak cowok yang mereka tolong kemarin.

Ica berniat jalan lebih dulu, tetapi pegangan tangan Pratama membuatnya berhenti dan menengok ke belakang lagi. "Kenapa?" Tanya Ica.

"Lo ati ati jalannya, awas kesandung. Perhatiin di bawah ada apa, jangan sampe ketusuk apa apa. Jangan sampe ketabrak orang juga,"

Ica tertawa mendengarnya. "Iya, yaampun gak usah lebay gitu sih."

"Gue gak percaya, jalan sampingan sama gue aja. Pegangan sama gue jangan lepas."  Pratama masih menampilkan wajah yang serius, karena jujur dia juga merasa sangat cemas.

Karena Ica tidak mau memperpanjang lagi, akhirnya dia mengikuti keinginan Pratama. Dia langkahkan kakinya mundur mensejajarkan dirinya dengan Pratama. Lalu tangannya langsung di genggam erat sekali oleh Pratama.

"Pelan pelan aja jalannya,"

Ica menghela nafas, lalu dia biarkan tangannya di tarik oleh Pratama perlahan. Dia mengikuti perintah cowok itu yang menyuruhnya jalan pelan pelan.

Sama halnya dengan Pratama dia sangat hati hati menggandeng Ica, matanya awas ke semua arah. Kanan, kiri, atas, bawah, semuanya benar benar Pratama perhatikan. Takutnya nanti ada sesuatu yang mengenai tubuh Ica.

Matanya membulat ketika melihat satu suster yang berjalan tepat kearah Ica, tangannya membawa peralatan seperti gunting dan semacamnya, dan susuter itu tidak memperhatikan jalan dia terlalu sibuk membenahi peralatan yang berada ditangannya.

Langsung saja Pratama berdiri di hadapan Ica, memunggungi wanita itu. Berniat melindungi Ica dari suster yang bisa saja akan melukai Ica. Suster itu berhenti.

"Sus jalannya liat kedepan dong, nanti kalo nabrak saya gimana?" Tanya Pratama tak terima, kedua tangannya setia memegangi lengan Ica yang berada tepat di belakangnya.

"Iya maaf mas." Suster itu pergi, Pratama langsung berbalik kearah Ica.

"Lo gak papa kan?"

Ica menggeleng sambil tersenyum. "Gak papa, mas Pratama." 

"Tuh suster ngeselin banget njir, udah jalan gak liat kedepan. Manggil gue 'mas' lagi, emang gue setua itu apa?" Gerutu Pratama.

"Haha, lagian lo berlebihan banget sih. Gak usah di gituin segala gue juga bakal ngehindar kali."

"Bukannya berlebihan, hanya antisipasi."

***

"Gimana keadaan lo?" Tanya Ica begitu sampai di kamar Bastian, Ica tepat berdiri di samping brankar Bastian.

"Aku udah lebih baik kok kak," Jawab Bastian sambil tersenyum.

"Makan obatnya yang teratur, ikutin kata dokternya. Jangan nakal." Pratama ikut menasehati.

"Ica sama Pratama jadi repot repot jengukin Bastian segala," Ibu Bastian yang berada di samping Ica langsung angkat suara.

"Gak papa kok bu, satu arah sama rumah aku juga. Jadi sekalian aja, maaf ini aku sama Pratama cuma bisa bawa buah aja."

"Heh, kamu pake bawa buah segala. Makasih banyak ya, kamu baik banget. Kalo kemarin gak ada kalian berdua mungkin Bastian-"

"Udahlah bu, gak usah mikir aneh aneh. Lagi juga kita nolongin orang yang emang butuh pertolongan." Ica memotong ucapan Ibu Bastian yang semakin ngawur.

"Kalian udah makan? Mau bapak belikan makanan?" Kali ini bapak Bastian angkat bicara.

"Gak usah pak, kebetulan kita baru aja makan." Tolak Pratama sopan.

"Iya lagi juga, aku sama Pratama gak bisa lama lama. Mau langsung pamit pulang."

"Kok buru buru sih? Gak mau kakan bareng dulu?"

Ica menggeleng. "Gak usah bu, makasih banget. Mau pamit pulang."

"Yaudah hati hati ya."

***

Pratama menggeleng takjub melihat seisi kamar Ica yang terlihat sangat rapih dan tersusun. Tadi Ica menawarinya untuk mampir kerumahnya, tentu saja dengan senang hati Pratama menerimanya.

Tidak ada yang istimewa dari kamar Ica semua monoton, kamar yang di dominasi warna coklat itu terlihat biasa saja. Kecuali alat alat yang cukup menyita perhatian Pratama.

"Itu apaan Ca?" Pratama menunjuk kearah alat yang berada tepat diatas ranjang Ica.

"Itu alat ngecek suhu. Kan gue gak bisa ngerasain suhu, jadi gue pake alat itu supaya gue tau suhunya lagi dingin atau lagi panas. Biar bisa antisipasi aja." Jelas Ica yang sudah duduk di sofa.

"Tipi lo banyak juga ya," Pratama terheran melihat televisi yang berada di kamar Ica sampai ada tiga.

"Enggak lah, tipi gue cuma ada satu. Itu yang dua monitor dari cctv, dia yang mantau kalo gue lagi tidur. Karena gue gak bisa ngerasain sakit jadi gue gak bakal tau apa yang gue lakuin ketika gue tidur. Entah gue gigit lidah gue sendiri atau tiba tiba gue   kena sesuatu, nah dua monitor itu kehubung sama kamar mamah papah gue. Nanti kalo gue kenapa kenapa mereka bisa tau, dan langsung bisa nyamperin gue kesini."

Pratama mengangguk.

Lalu dia berjalan kearah meja dekat sofa yang Ica duduki.

"Ini kenapa ada termometer dan temen temennya?" Lagi lagi Pratama bertanya.

"Buat ngecek suhu tubuh lah, yang ini buat ngecek tekanan darah gue, nah kalo stetoskop buat ngecek denyut jantung gue. Setiap hari gue harus ngelakuin hal itu supaya tau ada yang salah gak dari tubuh gue."

"Maksud lo biar lo tau kalo tubuh lo lagi sakit apa enggak?"

"Hm,"

"Emang lo tau darah lo normal, detak jantung lo normal dari mana?" Tanya Pratama lagi.

"Setelah gue ngecek semuanya, gue bakal kasih laporannya ke dokter yang biasa nanganin gue. Ribet kan harus bolak balik rumah sakit setiap hari, jadi pake alternatif ini aja."

Pratama semakin mengerti. Lalu dia tetap melihat benda benda yang ada di atas meja itu. Semuanya dia lihat tidak terlewati satu pun. Dan matanya terhenti ketika melihat buku yang menuliskan jadwal Ica ke rumah sakit untuk kontrol. Pratama tersenyum kala mengetahui kalau besok adalah jadwal Ica kontrol.

"Besok jadwal lo kontrol?"

"Iya keknya, males banget padahal. Bosen setiap minggu datengnya ke rumah sakit mulu." Adu Ica.

***

Ica tertawa ketika Pratama mengeluarkan argumennya yang menurutnya lucu. Mereka berjalan kearah pintu karena Pratama sudah berniat pulang, dan Ica di suruh mengantar sampai depan.

Tepat di depan mobil Pratama, cowok itu langsung masuk dan mengambil bingkisan yang dibungkus oleh mamah Ica.

"Sori gue nyuruh lo mampir dulu, jadi kesorean deh pulangnya." Ica menyampaikan rasa tak enak hatinya karena menyuruh Pratama mampir dulu.

"Yaelah sans si, gue juga mau kan. Eh btw makasih bingkisannya."

"Sama sama, salam ke ortu lo ya."

"Iya gue salamin, bilang dari calon mantu." Pratama tertawa melihat perubahan drastis di wajah Ica.

"Ya sesuka hati lo aja dah."

"Yaudah gue pulang dulu, nanti pas mau masuk ati ati jalannya awas kesandung."

"Iya bawel, dah be carefoul."

***

Vote+Comment.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

About Him Named Is Pratama.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang