"You are going to have a baby"
Kalimat itu terngiang terus di pikiran seorang gadis yang terduduk luruh di lantai toilet yang dingin, memeluk kedua kakinya dengan kepala menunduk dalam, hingga keningnya menyentuh lutut.
Sebuah testpack yang masih dalam genggaman gadis itu menunjukkan dua garis merah yang semakin meyakinkannya bahwa saat ini ada janin dalam perutnya. Ada buah hati yang hadir di tengah tengah mereka.
Shani Indira Harlan mengunci dirinya di dalam toilet sejak 10 menit yang lalu, memastikan untuk sekali lagi berita mengejutkan yang baru dia dapat. She is going to have a baby. She is going to be a mother.
Mungkin terkesan meragukan diagnosis dokter yang baru saja memeriksanya, namun Shani benar-benar yakin bahwa saat pertama kali mereka berhubungan seks, Shani baru saja selesai menstruasi. Seharusnya saat itu bukan masa suburnya. Gracio hanya keluar di dalam pada malam itu. Hari-hari berikutnya Shani selalu meminta Gracio untuk menumpahkan spermanya di luar, walau dia harus repot berkali-kali mencuci bed sheet, Shani tidak masalah. Daripada harus repot memikirkan kejadian yang ia takutkan, namun akhirnya terjadi juga.
Tidak mungkin Shani kembali meragukan hasil test pack yang mengklaim memiliki level sensitivitas 25mlU/ml hCG, yang berarti tingkat keakuratannya mencapai 99,9%. Dua garis merah itu menandakan urine Shani saat ini mengandung hormon hCG (human chorionic gonadotropi), yaitu hormon alami yang dibentuk oleh tubuh saat hamil.
Masih dengan memejamkan matanya, Shani menengadahkan kepala. Terbayang dalam pikirannya ia harus mengubur mimpi dan resolusi yang sudah ia susun sejak awal tahun. Untuk pertama kalinya, Shani tidak bisa mengatur kehidupannya.
Shani POV
Hamil di usia 23 tahun bukan harapanku. Aku masih berharap bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat, dan masih bisa meniti jenjang karir di BCG. Bahkan tidak ada dalam resolusi jangka menengahku yaitu dalam 5 tahun ke depan untuk menjadi seorang Ibu dan memiliki seorang bayi. Aku masih ingin mengejar mimpiku, menghabiskan waktu bersama Gracio, dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya.
Tentu sangat salah jika beranggapan aku tidak menginginkan seorang anak. Salah satu impian terbesarku adalah memiliki anak dari Gracio, menjadi seorang Ibu dan berperan sebagai seorang istri yang baik.
Namun bukan sekarang.
Aku ingat pernah membaca kalimat yang begitu indah dituliskan oleh Donna Ball, seorang penulis novel Amerika bahwa motherhood is a choice you make everyday, to put someone else's happiness and well-being ahead of your own, to teach the hard lesson, to do the right thing even when you're not sure what the right this is... and to forgive yourself, over and over again, for doing everything wrong.
Bagaimana mungkin di umurku yang ke 23 tahun, di masa aku yang masih begitu ambisius dan dipenuhi ego ini mampu menjadi seorang Ibu dan mengorbankan banyak hal? Dimana aku harus mempertanggung jawabkan kebahagiaan orang lain, selain kebahagiaanku dan juga membiarkan kebahagiaanku bergantung pada orang lain?
Di lingkunganku bekerja, menunda kehamilan dan istilah childfree bukan hal yang tabu lagi, terutama untuk perempuan-perempuan yang memang sedang mengejar jenjang karir di perusahaan. Kesibukan kami sebagai konsultan, ketidaksiapan kami akan rutinitas yang berbeda, serta keinginan untuk meraih puncak karir menjadi beberapa alasan mengapa teman-temanku yang sudah menikah memilih untuk menunda kehadiran seorang anak bahkan sampai bertahun-tahun, setidaknya sampai mereka siap. Bahkan beberapa, yang sudah menduduki tangga kesuksesan terang-terangan berikrar untuk childfree, yaitu memilih menikah namun tidak untuk mempunyai anak.
Prinsip seperti ini sering dianggap egois oleh masyarakat. Namun menurutku alasan ini bahkan dipertimbangkan supaya tidak menjadi egois dengan mempunyai anak. There is more to life than just having children.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best of You
FanfictionKisah keluarga muda Gracio Harlan dan Shani Indira bersama Shani dan Gracio junior :) Sekuel Head Over Heels