Parcel

2.6K 174 19
                                    


Akhirnya, setelah tidur sejam lamanya, badanku terasa enakan sedikit. Mengingat es teh di kulkas membuatku senyum-senyum sendiri. Pasti sudah enak banget kan dinginnya.

Dengan rambut yang masih kocar-kacir, segera kubuka pintu kulkas dan tiba-tiba, senyumku sirna seketika.

Kosong?

Kuraih canteng yang tadinya aku yakin telah mengisinya dengan teh manis bahkan full, sekarang hanya tersisa tetes terakhir.

"Qoisssssss!"

"Apaan sih? Ribut amat!"

"Wah, sekarang kamu sudah makin hebat, yah? Gimana rasanya adik ganteng ku? tehnya manis, kan?"

"Manis, lah. Segar dan melegakan tenggorokan"

"Prakk!"

"Aww!"

"Masih manis?"

"Apa-apaan sih? Sakit tau. Cuci muka sana! Enggak lihat tuh muka di cermin udah kayak kuntilanak bangun tidur"

"Kamu enggak tahu, kesalahan kamu apa. Heh?"

"Salah apa, sih?"
Lihat saja wajahnya benar-benar tidak merasa bersalah.

"Kamu lihat ini?" Tanganku memegang canteng lalu merapatkan benda itu di matanya.
Barang kali dia mines dan tidak bisa melihat dari jarak sejauh sepuluh cm.

Dia kembali meringis dan menggeser benda itu menjauh dari wajahnya.

"Anjayy!"
Umpatnya dan membuat emosiku sudah berada di ubun-ubun. Berani-beraninya dia mengumpatku.

"Apa kamu bilang?"

"Iya, Aku lihat. Tadi isinya penuh, karena haus jadi aku minum semuanya, deh."
Melihat tampang tidak bersalah sama sekali dari wajahnya membuat tinjuku melayang ke lengannya.

Dia kembali meringis dengan sebelah tangan yang mengelus-elus bekas tinjuanku.
Awalnya ia meringis kemudian tertawa mengejekku.

"Mirip pijitan. Hahahha"
Tawanya menggelegar benar-benar membuatku semakin kesal saja.

"Sekarang, aku udah dewasa. Enggak bisa kamu tindas-tindas lagi. Bahkan aku lebih tinggi dan lihat ototku" dia menggeser lengan bajunya kemudian memperlihatkan otot kecilnya.

"Otot? Hahhaha. Kamu bangga dengan otot kecil seperti biji kemiri itu?"

Aku berlalu meninggalkan dia yang masih asyik memamer ototnya sana sini. Entah dengan siapa ia memperlihatkannya. Aku sudah pergi dan dia masih asyik berceloteh. Jangan-jangan, dia berkawan dengan mahluk halus di rumah ini.

Ah.. EGP.

Kembali ku memasuki kamar dan melaksanakan sholat asar. Setelah usai kembali kukenakan pakaian yang cukup rapi dan tentunya jilbab. Parcel buah itu harus segera kubawa sebelum Qois menghabisinya.

Dan di sinilah aku berada.
Di depan rumah tetangga baru. Melihat sekeliling, rasanya rumah ini benar-benar berubah. Beberapa kali menekan bel pintu rumah, akhirnya seseorang muncul dari pintu yang cukup besar itu.

Seorang wanita yang hanya menggunakan piyama tidur. Dia tersenyum. Lalu menyapa.

"Yuk, masuk" ajaknya dan aku mengiyakan.

Ya ampun, wanita itu benar-benar seksi.
Yang menjadi suaminya pasti malas keluar rumah di buatnya.

"Bib, ada tamu!"
Ia berseru dengan suara cukup lembut.

Bib? Bukannya Beb? Biasanya, yang aku dengar seseorang memanggil kekasihnya dengan sebutan Beb. Mungkin kata Bib lebih gaul lagi mungkin.

"Cuman mau bawa ini buat ... " Aku bingung ingin memanggilnya apa?

"Buat Tante?"
Tanyanya.

"Mungkin panggil Kakak aja, kali yah? Soalnya enggak cocok kalau di panggil, Tante. Hehe."

Dia tersenyum kemudian tertawa kecil setelahnya. Merasa sangat tersanjung dengan ucapanku barusan. Tapi, ini reel, loh. Enggak bercanda. Rasanya, dia itu masih cocok untuk di panggil Kak.

"Umur Tante udah hampir lima puluh"

What!

"Ah, pasti bercanda kan, enggak percaya saya."
Benar-benar tidak masuk di akal.

"Enggak percaya?"

Aku menggeleng cepat.

"Bib, ada tamu!"
Teriaknya lagi dan seseorang keluar.

"Iya, Ma!"
Hanya menggunakan celana puntung dan baju kaos hitam. Mendapati wajahnya, kurasa aku hampir saja pingsan saking terkejutnya.

"Pak Dosen!"

Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang