1. Anika

38.9K 340 8
                                    

“Anika, tunggu!” Mas Eka mengejar lalu meraih tanganku, hingga aku menghentikan langkah.

“Maaf, jaga sikap Bapak. Ini di kantor, Pak. Dan kita tidak sedekat itu, hingga Pak Eka bisa menyebut nama saya, apalagi ....” Kuarahkan pandangan pada tangannya yang mencengkeram erat lenganku.

Lelaki dengan lesung di pipi kanannya itu melepaskan tanganku, lalu mundur selangkah. “Maaf,” ujarnya dengan mata masih mengunci tatapanku.

Mungkin dia kembali tersadar akan komitmen yang kami buat. Tetap bersikap wajar satu sama lain, layaknya atasan dan bawahan selama di kantor. Hal yang selalu kutekankan untuk ia pahami dan patuhi.

“Anika ...,” gumamnya lemah dengan tatapan mengiba.

“Jaga sikap Bapak selama kita bekerja,” tandasku penuh penekanan sebelum berlalu.

Bukan untuk meninggalkan pria itu, tapi ini adalah sebuah usaha untuk menyembunyikan air mata yang siap tumpah atas kecewaku. Ya. Kecewa yang teramat dalam atas kejujuran yang baru saja dia ungkapkan. Tertekan atas hubungan ini, tanpa mau percaya atas alasan yang kuberikan.

Cepat aku berjalan, menghindari tatap curiga beberapa karyawan yang berpapasan. Tak ingin jika wajah muram ini terlihat oleh mereka. Tanganku baru saja meraih gagang pintu saat seseorang lagi-lagi menghentikanku.

“Bu Anika, ini ada—“

“Sampai jam dua nanti, aku tidak ingin ada siapa pun yang masuk ke ruanganku,”  tegasku pada Amel yang menghalau di depan ruangan.

“Anika?” panggilnya lemah, wanita itu berusaha menggapai bahuku, tetapi segera aku menepis tangannya.

“Please, Mel.”

Tak bisa kutahan air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata. Buliran itu menetes, sebagai tanda kelemahan yang coba aku sembunyikan selama ini.

“Apa ada sesuatu?” tanya Amel lagi, sembari meletakkan map yang tadi akan ia berikan padaku.

Amel adalah satu-satunya sahabat dekatku di kota ini. Kami bahkan tinggal bersama pada sebuah rumah kecil nan asri, salah satu fasilitas yang kudapat dari kantor. Jadi, menyembunyikan sesuatu darinya, adalah hal yang percuma kulakukan. Meski sudah menjadi kesepakatan, bahwa kami tak boleh terlibat hal pribadi pada saat jam kerja, sesuai permintaan Amel.

Awalnya aku keberatan saat Amel begitu menjunjung profesionalisme di atas persahabatan kami. Alasannya sepele, dia tidak ingin mengganggu kinerjanya karena kedekatan secara pribadi. Padahal di luar, kami sangatlah akrab layaknya saudara. Namun, akhirnya ide itu kuterima, karena kami masih bisa bercanda di jam istirahat. Saat menghabiskan makan siang misalnya.

Segera aku masuk ke ruanganku, diikuti Amel. Dia tampak cemas saat melihatku langsung menumpahkan tangis begitu dia menutup pintu.

“Anika ....” Amel membelai punggungku, seolah berusaha memberi kekuatan.

“Aku nggak tau harus apa lagi, Mel. Aku nggak tau! Kenapa semuanya seperti jadi salahku sekarang?” ratapku masih dengan menyembunyikan wajah, tertunduk menempelkan kening di meja.

“Apa ini ada hubungannya sama Pak Rendi?” terka Amel yang semakin membuat tangisku menjadi.

“Mel ... aku mau sendiri.”

“Oke. Sudah, ya ... sudah. Jangan dipikirkan. Aku selesaikan laporan mingguan untuk meeting siang nanti, ya. Kalo memang kamu belum siap, nanti bisa aku undur sampai jam tiga.”

Amel melangkah meninggalkanku di akhir ucapannya. Sementara aku masih di sini, tertelungkup dalam sesal dan juga kecewa yang teramat dalam.

***

Dosa TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang