10. Mimpi

5.1K 176 14
                                    


“Tidurlah,” bisik Mas Eka sambil mengecup keningku, setelah menaikkan selimut. Menutupi tubuhku yang sedikit menggigil.

Hanya kuanggukkan kepala untuk menjawab bisikan itu. Sementara mataku yang masih sembab kini memejam dan terasa panas.
Sejak kejadian sore tadi, aku mendadak pusing dan badanku panas tinggi. Mungkin karena terlalu lelah berpikir dan tidak sedikit pun sempat tertidur beberapa hari ini.

“Demamnya tinggi sekali.” Kurasakan tangan dingin Amel menempel di keningku.

Mengandalkan pandangan yang mengabur, aku membuka mata dan melihat Amel memasang wajah kaku seperti biasa. Ya ... saat di hadapan Mas Eka, dia memang selalu seperti itu. Seolah waspada dan juga tak henti mengingatkan agar aku hati-hati.

“Aku akan menemaninya. Sebaknya Pak Eka pulang,” kata Amel penuh penekanan. “Dan itu, obati luka Bapak sebelum infeksi,” lanjutnya ketus.

“Aku akan tetap di sini, Mel. Anika seperti itu karena salahku. Jadi, kumohon, biarkan aku menemaninya.

Terdengar Amel tertawa meski samar, “Jadi, sekarang Pak Eka sudah tau, sejauh apa menyakiti Anika?” desis Amel masih dengan penekanan yang sama.

Aku masih memejam. Antara memaksa tubuh beristirahat, atau menikmati nyeri yang berdenyut dari kepala hingga kaki. Ah ... kapan obat yang diberikan Amel bereaksi? Sudah hampir satu jam, tapi semuanya masih sakit dan rasanya semakin dingin.

“Dia akan baik-baik saja tanpa Pak Eka. Seperti yang saya katakan tadi, sebaiknya Bapak pulang.”

Ah ... bagaimana aku bisa tidur jika dua orang ini terus saja berdebat?

“Amel, kumoh—“

Belum selesai kalimat Mas Eka, saat terdengar ketukan samar dari arah pintu depan. Dengan rumah berukuran semungil ini, aku bahkan bisa mendengar jika ada seseorang yang sedang mandi, meski dari kamarku.

Terdengar langkah Amel menjauh, dan ranjang yang bergerak. Lalu sebentuk tangan mengusap dahiku dan mengganti kompres.

“Maaf ....” Kata itu kembali kudengar untuk ke sekian kali.

Baru saja aku merasa ada damai yang menyusup seiring kecupan lembut di pipi, saat terdengar derap langkah kasar mendekat. Ingin rasanya aku membuka mata, tapi lagi-lagi sangat berat rasanya.

“Jadi, akhirnya dia tau semuanya?”
Ranjang bergerak lagi, dan terasa tubuh Mas Eka menjauh.

“Dirga? Kenapa kamu di sini?”

“Jadi benar, dia tau?”

“Pak Dirga, Pak Eka, saya mohon kalian berdua pergi! Anika ... Anika butuh istirahat!” Amel memekik, entah apa yang terjadi. Namun sempat kudengar dengusan napas kasar sebelum kamar ini kembali sepi.

***

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Mas Eka saat datang sore ini. Wajah pria itu masih lebam, juga sudut bibir meninggalkan jejak luka yang hampir mengering.

Apa mungkin Pak Dirga memukulnya saat itu? Entahlah. Begitu banyak hal yang tidak kuketahui dari mereka berdua, dan aku sama sekali tidak ingin tahu.

“Masih sakit, karenamu,” jawabku sembari membuang wajah. Menatap punggung tangan yang masih tertanam jarum di sana.

Tiga hari ini aku dirawat di rumah sakit dan Mas Eka selalu menemani sepanjang malam, meski sering beradu mulut dengan Amel.

Sebenarnya Ayah dan Ibuku berkeras datang saat mengetahui bahwa putrinya ini dirawat.
Namun, aku melarang mereka. Kasihan jika harus merawatku, sementara ada suster yang baik dan selalu membantu. Aku hanya menjanjikan, bahwa akan pulang ke Lubuk Linggau begitu sehat nanti dan mereka memahami keinginan anaknya ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dosa TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang