3. Larasati

13.9K 237 5
                                    

Aku menengadah, membiarkan kucuran air dari shower menerpa wajah. Berusaha mendinginkan diri dan hati, atas hasrat yang belum juga usai. Menjalar, memberi panas yang tak terkendali, padahal hujan kembali deras di luar sana.

Sesuatu dalam dadaku terus saja berdentam hebat, manakala segalanya terputar kembali dalam benak. Menari-nari, tak sedetik pun berniat pergi.

**

“Aku mencintaimu, Anika.”

Lagi, Mas Eka membisikkan kalimat itu tepat di telingaku dengan suara parau dan bergetar.. Entah sudah yang ke berapa, tetapi saat ini sungguh lain terasa. Lebih melambungkan, apalagi saat tangan hangatnya menangkup pipiku yang terasa dingin.

“Mas ....”

Mata kami beradu. Saling mengunci, entah ingin menyampaikan apa. Yang jelas, sesuatu di dalam sini semakin berdentam keras, seakan lepas kendali.

“Aku mencintaimu,” ulangnya dalam, lalu kembali menghapus jarak di antara kami.

Membawaku melambung jauh, seakan tak lagi menjejak bumi dengan semua yang ia lakukan. Mengalunkan syahdu yang membuaiku dalam irama yang diciptakannya.

Setiap kelembutan yang ia berikan sungguh kunikmati kali ini, meski sesungguhnya hati kecilku tak mengizinkan. Bahkan sesuatu di dalam diri ini menuntut lebih, saat sentuhan Mas Eka terasa memanas.

Nyaris saja buai lembut lelaki itu  menenggelamkanku dalam cumbuannya, jika saja ponselku tak nyaring berdering. Hal yang seketika mengembalikan kesadaranku, untuk mendorong tubuh yang merapat padaku itu menjauh.

“M—maaf, aku harus menjawabnya,” kataku bergetar, dengan sisa tenaga yang kupunya.

Mas Eka mendengkus, melonggarkan dekapannya, sementara aku mengambil jarak. Berusaha mengembalikan kesadaran yang entah sempat pergi ke mana. Langkah yang kuambil terasa limbung, setelah sesaat lalu kedua kaki ini sempat melunglai.

“Halo?” jawabku pada ponsel yang tak henti berdering, sementara aku berusaha meredam debar di dada.

[“Nik, kayanya aku nggak bisa pulang cepat. Fatih ... pemulihannya lumayan lama, Nik. Dan untuk itu, dia masih butuh aku.”]

“O—oh. Nggak apa-apa, Mel. K—kamu bisa tinggal di situ sampe Fatih beneran pulih.”

[“Kamu sakit, Nik? Kenapa suaramu begitu?”]

“Ah ... oh ... nggak. Aku—aku cuma kaget waktu nyebut nama Fatih. Aku pikir ada apa-apa,” kilahku agar Amel percaya. “Tapi dia sudah lebih baik, kan?”

[“Alhamdulillah sudah, Nik.” Amel terdengar menghela napas. “Anika, terima kasih.”] terdengar suaranya bergetar.

“Mel, sudahlah. Kamu kaya sama siapa aja. Nanti aku sampaikan ke Pak Rendi, tentang kamu yang butuh tambahan waktu. Tenang aja, aku bisa handle semuanya, kok,” terangku.

Saat panggilan terhenti, kulihat Mas Eka masih memindaiku dari tempatnya tadi berdiri. Maksudku, tempat kami tadi berdiri.

“Maaf, Mas. Aku—aku mau mandi dulu.”

Segera kutinggalkan pria itu tanpa menunggu jawabannya. Aku bahkan tak berani menatap wajahnya.

**

Untung saja Amel menelepon. Kalau tidak, aku bahkan tidak tahu apa yang mungkin  bisa terjadi. Segera aku berganti pakaian setelah kurasa air ini cukup mendinginkan hatiku.  Tak bijak juga membiarkan Mas Eka menungguku di luar sana.

Mengenakan terusan sebatas lutut, aku keluar. Saat tak kudapati Mas Eka di ruang tamu, mataku menyusuri setiap ruang, dan menemukannya sedang berdiri di dapur. Maka, segera aku menujunya.

Dosa TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang