7. Rahasia?

3.6K 156 2
                                    

“Kenapa, Mas?” tanyaku pada Mas Eka.

Dia baru saja kembali setelah menjawab panggilan teleponnya. Mungkin dari ibunya karena nama mama tertera di layar ponselnya, yang sempat kulihat.

Tak menjawab, dia hanya menampakkan wajah murung. Lelaki itu bahkan menghela napas beberapa kali yang membuatku semakin bingung.

“Kenapa?” ulangku.

“Mama ... Mamaku masuk rumah sakit, Sayang,” jawabnya dengan raut wajah menampakkan kesedihan. “Darah tingginya naik, jadi dia drop tadi sore.”

“Sakit? Ya udah, kamu pulang aja, Mas. Nanti aku yang urus surat izin ke Pak Rendi.”

“Tapi ....” Mata sayu itu menatapku. “Lusa ada rapat penting di Bukittinggi yang harus kudatangi, kan? Rencana sore nanti, sepulang kantor aku langsung berangkat.”

“Amel bisa handle meeting di sana, Mas. Kesehatan mama kamu lebih penting, kan? Apalagi, saat di rawat. Pasti dia mau ada anak-anaknya yang menemani. Apa kamu tega kalau—“

“Sudah ada Kakak ipar sama adekku. Selesai urusan di Bukittinggi, aku langsung ke Jakarta.” Mas Eka menatapku, seolah ingin menyampaikan sesuatu.

“Kenapa, Mas? Ada masalah?” tanyaku sembari menangkup tangannya yang terulur di meja.

“Ng ... gimana, ya? Aku nggak enak ngomongnya.”

“Ya ngomong aja kali, Mas. Kaya sama siapa aja! Emang aku ini orang lain buat kamu?”

“Ng ....” Mas Eka terlihat ragu. “Aku mau kasbon boleh, nggak? Soalnya deposit rumah sakit Mama lumayan mahal. Dan uang yang kukirim dipake bayar biaya kuliah Adekku.”

“Kasbon?” ulangku. “Kenapa kasbon? Bukannya tabungan kamu masih ada?” tanyaku penuh selidik.

Betapa tidak? Minggu lalu aku baru saja melihat nilai di buku tabungannya sekitar dua puluh lima juta. Masa iya habis? Itu bukan jumlah yang sedikit, tentu saja.

“Kemaren aku pake bayar tambahan DP, Sayang. Aku ambil DP tinggi supaya cicilannya murah. Terus aku bayar angsuran langsung tiga bulan, supaya tenang,” paparnya.

“Kan sudah kubilang, angsurannya di debet aja dari rekeningku," kataku sembari menyesap minuman, sementara mas eka kembali menyuap makanan ke mulut.

Siang ini kami memilih makan siang di resto ayam bakar tak jauh dari kantor. Menghabiskan waktu istirahat di kantin bersama Mas Eka, aku masih sedikit canggung.

“Nggak enak sama kamu, Sayang.”

“Kalo semuanya nggak enak, terus yang enak dari aku apa dong?” Aku mengerucutkan bibir sebagai tanda protes.

Mas Eka tersenyum sembari menjawil hidungku. “Harus kubilang di sini, atau kamu ikut ke Bukittinggi nanti malam?”

“Ceh!”

***

[Hati-hati, Mas. Jangan ngebut. Luv Yu!]

Kukirim pesan pada Mas Eka begitu aku sampai di rumah. Tadi dia tampak tergesa berangkat. Maklum sudah sore, dan dia harus menyetir sendiri.

Berkali-kali kutawarkan sopir dari kantor, tapi dia menolak. Katanya lebih baik menyetir sendiri, hak itu juga yang disampaikannya pada Pak Rendi. Ya sudah, aku tidak memaksanya lagi.

Sebuah panggilan masuk, sesaat setelah pesan kukirimkan.

“Siap, Sayangku!” jawabnya dari seberang sana.

“Kangen!”balasku lagi, sembari tersenyum.

“Aku juga,” jawabnya lirih.

“Tapi aku ditinggal, berarti kamu nggak kangen, kan?”

Dosa TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang