8. Peringatan

3.7K 184 16
                                    

"Jadi, yang datang dari pusat itu Pak Dirga?" tanyaku sembari mencium kuntum-kuntum Mawar dalam dekapan.

Saat ini, aku hanya menjamu tamu jauh ini di ruanganku. Tadinya, aku ingin mengajaknya makan di luar, tapi dia menolak. Katanya hanya ingin berbincang berdua saja tanpa ada orang lain di sekitar kami.

Pria yang duduk di depanku itu hanya tersenyum. Memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi, sementara matanya memindai wajahku lekat sejak tadi.

"Pak? Bukannya kita sudah sepakat mengenai panggilan masing-masing?"

"Ah ... tapi ini di kantor, dan masih jam kerja, Pak. Saya tidak terbiasa dengan-"

"Ayolah, Anika. Kenapa kamu kaku sekali? Aku datang jauh-jauh karena-"

"Apa Cabang Padang jadi yang pertama?" potongku cepat.

"Apa?"

"Apa kantor ini yang akan kita audit keuangannya lebih dulu?"

Lagi, Dirga menatapku dengan senyuman penuh arti. Ia yang tadi mencondongkan badan ke arahku, kini menarik diri dan tersandar di kursi. Namun, matanya masih terus menatapku seperti tadi.

Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki itu tentangku. Namun, tatapan yang sedari tadi ia hunjamkan untukku tak ayal membuat sesuatu di dalam sini berdebar aneh.

"Apa alasan itu cukup untuk bikin aku bisa lebih lama di kantor kamu?"

"Ah ... jadi benar? Saya yang akan dikuliti pertama kali?" Aku menyunggingkan senyuman termanisku.

"Ngg ... kamu harus memilih kata yang lain. Dan jangan seformal itu sama aku, Anika."

"Oke. Kapan kamu mau mulai?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Sejak tadi. Aku sudah mulai inspeksi sejak tadi, bukan?"

Ah ... Dirga ini benar-benar bisa membuat setiap gadis bisa merona dengan gombalannya. Wajahku pun sekarang mungkin semerah cabe!

Saat aku menatap Dirga, sekelebat bayangan Mas Eka hadir. Kembali mengundang sejuta tanya seperti yang tertanam dalam benak sepanjang hari tadi. Apa mungkin ... aku bisa bertanya pada Mas Eka padanya?

Ng ... tapi bagaimana jika dia curiga padaku? Curiga bahwa aku dan Mas Eka-

"Kenapa?" tanya Dirga mengagetkanku.
"Kenapa liat aku sampe seperti itu? Kangen?"

Pada akhir kalimat yang diucap Dirga, kami berdua tertawa. Dia memang seperti itu, mungkin terbiasa mengungkapkan perasaan saat bercanda.

Pada saat kami tergelak, pintu terbuka. Menampilkan sosok Mas Eka di sana. Sesaat dia menatap ke arah kami dengan sorot tajam yang aneh. Namun beberapa saat kemudian segalanya tampak normal di wajah tampan itu.

"Eka?"

"Dirga?"

Dirga bangkit dan mengulurkan tangan. Kedua pria itu saling menjabat, sementara aku memerhatikan mereka berdua yang seolah menepis kecanggungan di antara keduanya.

"Kalian saling kenal?" tanya Mas Eka.

Terdengar biasa, tapi itu penuh selidik menurut versiku.

"Ah ... Pak Dirga ini tergabung dalam tim audit dari kantor pusat. Dia ... dia yang akan membuat kita mungkin tidak tidur malam ini," paparku.

"Oh ... wah ... tambah mantap saja posisi kamu, Bro!" Mas Eka melempar senyum pada Dirga yang berdiri dengan menyembunyikan tangan ke dalam saku celana.

"Kamu juga tambah ganteng di sini. Apa-"

"Oh iya, Bu Anika, jam berapa kita mulai?" potong Mas Eka seolah mengalihkan tanya dari Dirga. Saat ini keduanya tampak ... berusaha saling mengintimidasi satu sama lain.

Dosa TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang