9. Fakta dan Kecewa

4.2K 152 12
                                    

Tak peduli dengan Amel yang terus menepuk punggungku, aku terus saja tergugu dalam tangis. Bahkan, usapan lembut yang biasa menenangkan ini justru semakin membuat air mata deras mengalir. Lolos dari kedua pelupuk mata yang sudah membengkak sejak tadi.

Aku tidak tahu mengapa setiap kata dari Pak Rendi tadi begitu menyakiti. Kebenaran yang awalnya ragu ingin kuketahui, pada akhirnya melumpuhkan sebagian kesadaran yang kumiliki. Remuk redam dan berkeping seolah tak menyisakan apa pun lagi di dalam sini.

Baru kemarin lelaki itu memelukku dengan hangat. Masih pula terasa lembut bibirnya memagut hangat. Bahkan, tanda cinta yang ia ciptakan masih tampak di sekujur tubuh. Namun mengapa, sekejap saja bagiku ia berubah menjadi monster yang menakutkan?

“Sudah, Anika ... kamu sudah terlalu banyak menangis untuk hal yang bahkan nggak pantas buat kamu tangisi,” Amel masih membelai punggungku. Sementara aku masih tergugu, bersimpuh di lantai memeluk lutut.

“Dari tadi Pak Rendi dan Dirga menelpon. Haruskah kujawab?” tanya Amel sembari menunjukkan ponsel padaku.

Aku hanya menggeleng, kemudian menenggelamkan wajah dalam bahu dan lutut. Membayangkan betapa aku memaksa langkah untuk sampai ke ruangan ini. Pun sebisa menahan tangis agar tak tumpah di hadapan Pak Rendi. Meski beberapa kali aku tersaruk dan nyaris jatuh karena berjalan dengan gemetar, juga mata mengembun.

Entah berapa lama aku menangis. Entah sebanyak apa air mata ini tertumpah karena marah, kecewa dan rasa lain yang campur aduk. Menyerangku dalam waktu yang sama, hingga membuat napasku sesak. Hingga terpikir bahwa semua ini harus selesai.

Ya. Selesai dengan caraku tentu saja.

“Mel, aku mau ke Bukittinggi,” kataku seraya bangkit.

“Bukittinggi? Sendiri?” tanyanya terkejut.

Tanpa menjawab, aku segera bergegas. Membasuh wajah lalu mengemas beberapa keperluan dalam tas yang kubawa serta.

“Aku ikut!” Amel menyambar tas saat melihatku bersiap pergi. “Aku temenin sampe sana, Anika.”

“Aku bisa sendiri, Mel. Aku—“

Secepat kilat Amel menyambar kunci mobil yang kupegang, lalu berjalan mendahului. Sementara aku hanya mengekor saja. Pasrah.

“Anika, mau kema—“

Mas Eka tampak terkejut saat melihatku berjalan tergesa. Segera kutepis tangannya yang berniat menggapai. Sejujurnya, lebih dari apa pun aku sangat ingin memaki dan menumpahkan kemarahan serta kekecewaan padanya.  Namun, semua itu enggan kulakukan karena ini di kantor. Maka mengabaikan lelaki itu rasanya cukup. Meski sesuatu di dalam sini bergejolak tak menentu.

Ya ... entah mengapa, mengabaikan Mas Eka pun saat ini terasa sangat menyakiti, meski sejujurnya aku sangat ingin. Mungkin aku sudah kehilangan akal. Mungkin saja.

Mungkin ....

***

Beberapa kali Amel memekik saat mobil yang kukemudikan nyaris menabrak kendaraan di depan kami. Pun tak kuhiraukan beberapa makian yang keluar dari pengendara motor yang sedikit oleng karena terserempet olehku.

“Sudah kubilang, Anika ... aku saja yang nyetir, ya ...?” Termasuk Amel yang mengiba tetapi kuabai.

Aku harus memburu waktu sampai ke kantor Bukittinggi sebelum jam kerja berakhir. Bertemu Larasati adalah prioritas, meski entah aku dapat menjumpai wanita itu di ruangannya atau tidak. Yang pasti, aku tak ingin membuat tiap menit menjadi sia-sia. Hingga perjalanan yang harusnya ditempuh semala tiga jam lebih, bisa terjangkau kurang dari dua jam saja.

Dosa TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang