2. Teka-Teki

19.9K 261 4
                                    

“Ha—hamil?”

Nyaris saja aku tersedak mendengar pertanyaan Amel. Sementara kini, ia menatapku tajam. Menuntut jawaban seperti yang ia ingini.

“Terus apa?”

Aku mengerjap beberapa kali, sembari memalingkan wajah. Menghindari tatapan Amel yang mengintimidasi.

“Ya ... ya nggaklah!” jawabku sambil menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal.

Hamil? Bagaimana aku melewatkan kemungkinan itu? Dan bagaimana Amel bisa berpikir sejauh itu tentangku?

“Terus apa? Apa yang mau kamu ceritain?”

“Apa mungkin aku salah, Mel? Maksudku, apa mungkin aku jatuh cinta sama orang yang salah?” tanyaku ragu.

“Mungkin. Karena yang kudengar, Pak Eka itu idola di kantor, Nik. Waktu gelagat dia deketin kamu tercium, gosip kalo dia manfaatin kamu itu berembus. Kupikir itu cuma gosip.”

“Itu sebabnya ini semua tetep rahasia, dan aku nggak mau ada yang tau.”

“Dan sekarang aku tau, Nik.” Amel menatapku, meski tak setajam tadi, tetapi tetap saja aku merinding.

“Aku juga takut kalo gosip itu bener. Kita semua belum kenal baik siapa Pak Eka. Sejak dia datang dari kantor pusat, tidak satu pun yang tau latar belakangnya.”

Aku hanya menangguk, setuju dengan ucapan Amel. Selama menjalin hubungan, aku pun tidak pernah mengenal jauh siapa Mas Eka. Terjebak dalam rasa juga kenyamanan yang ia ciptakan, membuatku enggan banyak bertanya.

Mas Eka adalah utusan dari kantor pusat. Pada awal kedatangannya, pria itu sontak menjadi idola bagi para gadis. Bukan saja karena tampangnya yang menawan, tetapi juga tutur kata dan kepandaiannya. Selain itu, sikapnya yang supel dan mudah bergaul membuat siapa saja nyaman berlama-lama di dekat Mas Eka. Aku akui itu.

Kepindahannya bukan tanpa alasan. Kecakapannya dalam bekerjalah yang membuat ia datang ke kota ini, untuk menggantikan salah satu staf keuangan senior yang telah pensiun. Divisi yang menempatkanku sebagai pimpinan.

Jabatan yang kupegang saat usiaku baru menginjak dua puluh lima, membuat semua orang di kantor mengenalku. Terlebih saat mereka menyebut bahwa aku adalah tangan kanan Pak Rendi sang direktur. Hal yang kemudian membuat para karyawan enggan berurusan, jika bukan mendesak.

“Aku cuma takut kalo kamu bukan satu-satunya, Nik,” ucap Amel membuyarkan lamunanku.

“Maksudmu?”

“Di usia Pak Eka yang sekarang, apa mungkin dia masih lajang? Mungkinkah?”

“Ah ... itu ... maksudku, dia nggak mungkin menyatakan cinta sama aku, kalo emang dia sudah beristri, kan?”

Amel tertawa ringan. Mungkin untuk kebodohan dalam kalimatku tadi.

“Nik ... Nik. Kalo semua laki-laki itu baik seperti yang kamu pikirkan, nggak akan ada pelakor ato pebinor!”

“Jadi, maksud kamu aku pelakor?”

“Bukan itu, Anika. Kita cuman belom tau, siapa Pak Eka ini. Dari sikap dan caranya bergaul selama ini, apa kamu nggak kepikiran kalo dia itu seorang Don Juan?”

“Kenapa kamu keliatan nggak suka sama dia?”

“Bukan nggak suka, Nik. Aku ngomong gini cuma sebagai pengingat aja, kok. Supaya lebih hati-hati.”

Aku melanjutkan makanku, tanpa berniat membahas tentang Mas Eka lagi. Hanya membuatku semakin ragu, jika mengingat semua tentang kami.

***

Dosa TermanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang