Aku tahu, Tuanku. Tiada mudah bagi kita, menerbangkan angan yang pernah ditata sedemikian apik, tanpa bisa merengkuhnya kembali. Tepukan pada dada, nyatanya tak mampu menghalau resah gelisah, hingga pelupuk tak ayal terkena basah.Kristal bening jatuh mencipta sejuk pagi. Hiaskan hijau daun-daun dan reranting. Mereka--kristal itu--juga turun di waktu yang sama. Namun berbeda tempat; kedua pelupuk kita. Sejuk pada sapa embun itu, terbias dengan luka yang kian menganga di hati kamu, juga aku tentunya.
Namun ialah takdir yang tersurat, Tuanku. Dekap hangat yang pernah mencemburui mentari, terpaksa hilang dengan berat nada melepas. Rangkaian buku cerita tentang kita yang tersimpan dalam almari lakuna, akan mengundang debu-debu, untuk menutup setiap judul yang kita tulis bersama.
Sebuah bualan bagi kita; tak saling menyakiti satu sama lain. Fakta berkata lantang, ada tangis di sudut ruangan, ada rindu di balik angan. Namun, benteng menjulang memaksa untuk tetap berdiri tanpa bersama, meski ringkih nyatanya.
Suatu pasti dalam kanvas harianku, Tuan. Kau tetap menjadi bait-bait dalam tiap aksara yang terlukis seelok-eloknya. Seperti cinta kita, yang memilih terluka bersama.
Karawang, 13 Agustus 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSA
PoetryBerisi tentang rasa yang diuntai dalam bait-bait aksara. Ada prosa sedih, dan prosa yang membuat tersipu. Beberapa prosa sudah dibukukan.