Saban waktu, kau melangkah dari arah yang semu. Mengetuk dinding kokoh, pertahanan yang kubuat dengan ribuan peluh dan air mata yang turun silih berganti. Lambaimu dari kejauhan, mampu menghancurkannya. Runtuh.
Seulas senyum yang kauberi, menuntun tiap bait oleh jemari. Lihai kuukir aksara, menuangkan sejumput asa yang memenuhi lakuna. Bayangmu seakan menjadi pelangi tersendiri di benak, lalu melahirkan lengkung sabit yang spontan tercipta di bibir.
Tiap lembar begitu berharga. Kulipat rapi, tersimpan dalam almari hati. Kepingan hati yang runtuh, kau susun kembali menjadi buku-buku tentang kebersamaan--kita.
Lalu saat ini, mengapa kau genggam sebuah belati? Seakan terbiasa, kau koyak kepingan hati yang baru saja berdiri tegap. Leraiku tiada berarti, hingga kembali relung ini terluka. Bahkan di dalamnya berisi sebuah nama, dirimu.
Bagaimana dengan tumpukan lembar itu? Yang terlukis hanya karenamu. Sedang kini, jingga pun tak nampak indahnya ketika senja menyapa. Ultramarin, hilang pula anggunnya.
Karenamu, meluluh-lantakkan almari ini. Jemari seakan hilang pula lentiknya untuk bermain, pada baris-baris yang terbiasa dirangkai apik.
Lalu, bagaimana denganku?
13 April 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSA
PoetryBerisi tentang rasa yang diuntai dalam bait-bait aksara. Ada prosa sedih, dan prosa yang membuat tersipu. Beberapa prosa sudah dibukukan.