Lambat laun kusadari. Sekulum senyum yang kau beri, bukan sebagai pertanda hadirnya aku di hati. Lembut sapamu membelai telinga, bukan sebuah pesan bahwa hadirku amat berarti.
Pada malam ini, setelah rembulan ke-sekian kita nikmati. Ia bercerita, memaksa diri segera tersadar akan apa yang terjadi.
Netra yang selama ini seolah kututup dengan keyakinan bahwa kau tak mencintainya, dan menegaskan hati bahwa hanya aku yang kau miliki, kini mengalirkan bendungan yang tertahan sejak lama. Sebongkah batu menghantam dada, menyumbat pernapasan yang setiap embusnya mendendangkan sebuah nama--dirimu yang tak menganggapku ada.
Ya. Ini salahku. Seharusnya sedari awal tersadar, bahwa bahagiamu adalah dia. Bukan aku--yang ternyata hanya tempat untuk melontar senyum semata, tanpa rasa yang sama.
Terima kasih, Tuan. Kau pernah menjadi pelangi yang menghias dinding hati. Kini, biar aku belajar membias elokmu dengan menerima kenyataan yang ada.
Hingga saat namamu disebut, tak lagi ada getaran pada rongga. Dan aku ikut tersenyum, melihatmu dengannya berbahagia.
Kecamuk, 25 Juni 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSA
PoetryBerisi tentang rasa yang diuntai dalam bait-bait aksara. Ada prosa sedih, dan prosa yang membuat tersipu. Beberapa prosa sudah dibukukan.