[02] Goyah

964 214 284
                                    

“Cover me like a blanket, yeah, yeah. With this endless joy, yeah, yeah.”

°°°

Now playing

Wanna One - Light (켜줘)

°°°

Donghyuck mendengus kesal. Sungguh, ia heran, tumben sekali Hana terlambat latihan. Sebenarnya, Jeno sudah pergi terlebih dahulu untuk mencari Hana, tetapi mengingat kejadian kemarin membuat Donghyuck berinisiatif untuk keluar juga dari ruang musik. Rencananya, ia akan mendahului Jeno untuk menemukan Hana. Dan benar, ia menemukan Hana. Gadis itu masih sendirian di lorong loker dan Donghyuck dapat merekahkan senyum karena tidak mendapati Jeno di sekitar sini.

“Hana-chan!” Donghyuck memanggil sembari mendekati Hana yang berdiri di depan loker yang terbuka.

Hana pun menoleh, sedikit terkejut dengan kehadiran Donghyuck yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Donghyuck yang tadinya tersenyum, mendadak menurunkan kedua sudut bibirnya. Pemuda Lee itu dapat melihat iris mata amber yang terlapisi air mata, belum tumpah memang, tapi melihatnya membuat Donghyuck turut bersedih.

“Haechan?” Hana mencoba membalas Donghyuck, meski suaranya terdengar lirih.

Ada yang tidak beres, pikir Donghyuck. Dugaannya benar. Pemuda itu mendapati kertas-kertas bertuliskan olok-olok dan makian yang memenuhi dan menempel pada loker Hana.

“Dasar cewek genit!”

“Pergi dari sini! Dasar orang asing!”

“Berani banget deketin cowok-cowok popular. Cari muka!”

“Kau ini siapa, hah? Kecentilan!”

“Jauhin Jaemin dan Jisung! Awas ya, dia calon pacarku, bego.”

Sekilas Donghyuck membaca kertas-kertas yang berhamburan di sana. Hana pun hanya tertunduk, sembari mengais kertas-kertas itu dan hendak membuangnya. Tanpa menunggu lebih lama, Donghyuck ikut mengambil semua kertas itu dengan tergesa-gesa, termasuk kertas yang berada di genggaman Hana. Ia lekas membuangnya di tempat sampah. Jujur saja, Donghyuck hanya ingin Hana tidak berlarut-larut dalam meratapi tulisan-tulisan penghinaan atas dirinya.

“Haechan …,” gumam Hana sembari menatap Donghyuck selepas membuang kertas-kertas itu.

“Udah, kan?” Donghyuck sedikit mengulas senyumnya. “Kau udah terlambat, tau?”

Ada hening sejemang. Sepertinya, meski kertas-kertas tersebut sudah terbuang, kata-kata itu masih menghinggapi pikiran Hana. Donghyuck menghela napas, kemudian menarik tangan kanan Hana secara sepihak. Sementara, Hana hanya mampu mengikuti dan menyamakan langkah Donghyuck. Anehnya, Donghyuck tidak mengarahkan Hana pada ruang musik, melainkan rooftop sekolah.

“Kenapa kita ke sini?” Hana langsung bertanya, begitu Donghyuck melepas genggaman tangannya.

“Jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya iri padamu,” tutur Donghyuck, berusaha menghibur Hana. “Ada pepatah mengatakan, iri tanda tak mampu. Mereka tidak mampu sepertimu, Ha-chan.”

Hana mengangkat kepala dan bersitatap dengan Donghyuck. Ia memang merasa terhibur, tetapi ada juga yang mengejutkan hatinya.

Ha-chan? Aku tak salah dengar, kan? Batin Hana bertanya.

“Eh?” Hana berseru, selayaknya orang-orang Jepang pada umumnya yang berkata eh dengan sangat manis dan membuat Donghyuck pun menahan kekehan. “Ha-chan?”

“Aku pikir, orang Jepang sangat suka panggilan akrab,” jawab Donghyuck sembari merekahkan senyum dan Hana dapat merasakan pipinya yang memanas. Benar yang dikatakan Donghyuck, Hana sangat menyukai panggilan akrab itu, terutama pengucapannya yang hampir sama dengan nama panggilan Donghyuck. Haechan dan Ha-chan. Ah, Hana sangat-sangat menyukainya.

Jantung perempuan bermarga Kagerama itu mulai berdetak kencang. Embusan udara musim semi menyelimuti atmosfer di sekitar Hana yang menghangat dan mendorong Hana untuk bersenandung.

“이불처럼 나를 덮어 yeah, yeah. 끝이 없는 기쁨을 가져 yeah, yeah.”
(Ibulcheoreom nareul deopeo, yeah, yeah. Kkeuti eopsneun gippeumeul gajyeo Yeah Yeah/Peluk aku seperti sebuah selimut, yeah, yeah. Dengan kebahagiaan tanpa akhir, yeah, yeah.)

Sebait lirik dari lagu milik Wanna One berjudul Light terlintas begitu saja pada benak Hana kala menatap lekat setiap inchi wajah Donghyuck.

Do you feel the sa-mmpph.”

Donghyuck tanpa ba-bi-bu membungkam bibir Hana sebelum menyelesaikan lirik yang ia senandungkan dan mengikis jarak keduanya. Telapak tangan kanan Donghyuck menghalangi Hana untuk membuka mulut, sementara tangan kirinya melingkar di pinggang Hana. Donghyuck sepenuhnya mengunci Hana, sedangkan siswi itu hanya dapat memusatkan atensinya pada iris kecoklatan Donghyuck.

Donghyuck menghela napas sejenak, kemudian meletakkan dahinya pada dahi Hana dan memejamkan mata. Sungguh, andai Donghyuck tidak menutup bibir Hana, sepertinya mereka sudah berciuman sekarang. Hana masih bergeming, ia memang senang bersama dengan Donghyuck, namun ia juga bingung dengan perlakukan Donghyuck padanya saat ini.

“Jangan bersenandung,” ucap Donghyuck di tengah keheningan yang beberapa saat lalu tercipta. “Aku menyukai suaramu, aku …, kau membuatku … ragu.”

Donghyuck kemudian membuka kedua mata, lalu melepaskan Hana. Sementara, Hana mengerutkan kening, masih mencoba mencerna perkataan Donghyuck.

“Ha-chan,” panggil Donghyuck, tetapi kali ini sorot matanya meredup. “Aku bukan laki-laki seperti yang kau pikirkan.”

Tak berselang lama, Donghyuck meninggalkan Hana di tempat itu sendiri. Hanyut dalam perkataan Donghyuck yang masih belum gadis itu mengerti sepenuhnya. Namun, dari situ, secara tak langsung, Donghyuck memberitahu Hana bahwa pemuda itu sudah mengetahui perasaan Hana padanya.

“Ck!” Seseorang berdecak sembari menatap ke atas atap sekolah. “Tidak kusangka, Haechan dan Hana. Kau sudah tau ini?”

Pemuda itu adalah Zhong Chenle, ketua OSIS di sini. Di sampingnya, Jeno mengetatkan rahang dan mengepalkan tangan. Sungguh, ia sangat kesal dengan pemandangan yang tidak mengenakkan yang ia lihat sendiri.

“Kalau saja bukan aku ketua OSIS-nya. Tuh, dua anak sudah diseret karena berbuat mesum di sekolah.” Chenle masih berkoceh. “Berciuman? Yang benar saja?!”

Kata-kata yang terlontar dari bibir Chenle hanya membuat telinga Jeno memanas.

“Oy, Jeno!” Chenle memekik, sebab Jeno sedari tadi masih diam saja. “Ini Hana, Jen. Gila tuh anak, masak Hana dia buat mainan.”

Jeno menggeleng, tidak setuju dengan penuturan Chenle, lalu menoleh pada Chenle dan berkata, “Nggak. Dia serius.”

Chenle lantas mengerutkan keningnya, jelas ia bingung.

“Terus, Choonhee?”

“Chenle.” Jeno memanggil dan disambut tatapan menuntut jawab oleh Chenle. “Kayaknya, Haechan goyah.”

Bersambung
04/02/2020

Another Flower | Lee Haechan✔︎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang