BAB 6

0 0 0
                                    

Asiah kali ini harus berangkat sekolah sendiri. Di perjalanan, ia melihat banyak pasangan muda maupun tua sedang mengobrol dengan pandangan yang tak ia duga. Ia melanjutkan kembali perjalanan menuju sekolah.

"Halo!" sapa Asiah melucu namun seorang pria membuyarkan melucu Asiah. Ia seperti berbunga-bunga namun tertahan karena melihat sosok perempuan berkuncir di hadapannya. "Sudah tak ada lagi." ungkapnya dan Asiah tak paham.

"Dia harus pergi, meninggalkan diri yang sudah terus menjaga. Apa dia tak tahu bahwa yang sudah tak mampu bisa dibentuk kembali?" Asiah mau paham namun rasanya belum pantas. "Selama ini saya apa?" Asiah memilih menatap kakak pria yang sudah tak tahan lagi.

"Nih!" Asiah diberi bunga padahal tak mampu membuat sosok di hadapannya kembali menjadi dirinya. "Saya harus pergi!" Asiah menatap kakak itu sampai tak ada di hadapannya. Asiah menyimpan di tas dan menuju kelas 1A.

"Kenapa bunganya hilang ya?" heran Tiara saat Asiah memasuki kelas. Sementara Rabert sibuk menulis, padahal ia jelas-jelas melihat Rabert mengumpulkan tugas. Sementara Asiah baru membuka tas untuk mengambil buku.

"As!" Rabert menghampiri Asiah yang berjalan dengan sedikit cepat. Ehm, ia harus mendengar tentang peristiwa cinta kembali. "Seseorang bertekuk lutut untuk menyatakan cinta dan ditolak. Wuh…" Asiah mengangguk. Peristiwa demi peristiwa dan suasana demi suasana dialami seorang Asiah. Melihat dan mendengar dari berbagai penjuru.

"Pak, saya Asiah Zalikha Yusuf dari kelas 1A mengumpulkan tugas Agama Islam!" tegas Asiah pada Pak Tino, guru Agama Islam yang bertemu dengan Asiah saat ia mengelilingi sekolah.

"Terima kasih, Nak!" mata Asiah tak sengaja menangkap koran yang menerbitkan puisi tentang cinta.

'Tenggelam Laut dan Tiada Dirimu'

"Yuhu…" , "Ayo Bert!" Asiah mendahului Rabert untuk keluar dari ruang guru. Rabert menyusulnya. Tak lama Tiara datang ke ruang guru untuk menghampiri Pak Tino namun ia tertegun karena beliau membacakan puisi cinta dari seorang yang Tiara kenal.

"Kak Musa putus cinta!" teriak Tiara dan Pak Tino kini menurunkan korannya. "Ada apa denganmu, Nak?" Tiara menggeleng dan ia kemari untuk menanyakan keadaan Ibu Witha.

"Ra, baca buku apa?" tanya Asiah sambil memakan makanan dari kantin. Tiara memilih diam dan fokus pada buku yang ia baca. Asiah juga mendiamkan Tiara dan memakan makanan di hadapannya. Selesai makan, Asiah membaca buku cetak pelajaran. Ia larut untuk mengerti maksud dari materi tersebut.

---

"Akhir-akhir ini anakku seperti tak ada suasana. Apa aku memotret dirinya dan dimasukkan ke album foto?" seorang mama membaca katalog fotografi dan meneliti tiap karya pemotret.

"Ada 20 foto dan album foto ini bagus untuknya!" ucap mama dan melakukan banyak hal untuk seorang Asiah.

Langit saat ini masih cerah, ada senggang untuk melihat pemandangan. Sang mama yang melahirkan anak yang pemerhati tersebut melihat pemandangan kota. Belum awan yang sangat putih. Dilihatnya teman-teman kerja yang mengerjakan tugas dengan sibuk. Tugas yang dikerjakan juga sudah selesai.

---

Asiah pulang dengan berbagai macam yang ia tak duga. Pria tadi memberi kuntum bunga, Kak Vitalasa kembali memberinya coklat, dan Kak Deni memberinya pin. Pin itu tertulis kata semangat. Sampai di rumah, Asiah memilih membaringkan diri.

"Bert!" singkat Asiah dalam telepon. "As, kita disuruh buat 1 buku berisi puisi kita!" , "Baik!" , "Aku ke rumahmu ya!" , "Kapan?" , "Sore!" , "Apa!" panggilan terputus. Arqa mendekati Asiah. "Cie!" Asiah tersenyum.

Sekarang masih siang, Asiah kembali mengerjakan tugas dan Arqa kembali menemaninya. "Kai, jika aku mengenalmu, mungkin aku akan tahu cinta lebih banyak." batin Arqa. Arqa melihat ke jendela kamar Asiah. Seorang pria memberi setangkai bunga pada perempuan dan ia menerima. Keduanya melenggang. "Golongan mereka apa?"

Arqa mencoba mengetahui rupa Kaila di sela menjaga Asiah. Asiah yang terus mengingat orangtuanya yang work holic. Di sela kesepian komplek, semua menjadi waktu untuknya berpikir tentang dirinya dan Kaila.

Selesai mengerjakan tugas, ia membaca novel. Novelnya memasuki bab 5. Ia kembali larut dalam suasana membaca. Perempuan yang sudah ia ketahui adalah ia harus kuat menghadapi segala situasi. Perempuan yang harus cinta dengan dirinya sendiri. Cinta? Hm… sungguh seorang yang 'cinta' untuk dirinya sendiri harus teguh.

"Halo Bert!" Asiah menyajikan dua air mineral. Ia menyerahkan kertas kosong pada Rabert. Arqa di belakang mereka dengan senyum. Rabert mulai menulis dan Asiah juga mulai menulis. Rabert iseng menyalakan lagu agar suasana tak sepi.

"As, kenapa sih kamu belum pernah cerita tentang orangtuamu?" tanya Rabert sambil menulis. Asiah tetap teguh untuk menulis bait demi bait. Baris yang mulai membuat Asiah paham akan sebuah keindahan.

"Ada apa Bert?" Asiah sedikit mengingat kejadian saat Rabert tak menjawab panggilan telepon. "Tidak. Rasanya ingin sekali bertemu dengan orangtuamu." Asiah mengangguk dan tetap menulis. Tiga puisi selesai ditulis Asiah. Rabert sudah enam puisi. "Oh ya, aku akan mengeluarkan buku, kamu kalau mau mencari sumber dari buku yang ku bawa." , "Iya!" Ada 6 buku yang Rabert bawa.

"As, orangtuaku cuek sekali. Menurutku, pulang pukul 5 sore adalah saat yang tepat untuk mengetahui keadaanku. Aku tak bisa melakukan apapun, hanya mengerjakan tugas di kamar. Membiarkan pintu terbuka, membiarkan pendingin menyala. Membiarkan lagu berdendang,"

"Orangtuaku keduanya bekerja dan selalu memberiku kesenangan dengan apapun. Namun, kehadiran mereka membuatku bahagia. Ini apa As? Apa seperti cinta orang-orang di luar sana? Banyak novel yang ku baca. Kenapa harus suasana romantis? Bahkan cinta mereka ada di bawah orangtuaku? Apa aku berhak mendapat cinta tingkat orangtuaku?"

"Ayah hanya menatapku, ibu selalu memasakkan sarapan. Aku ingin sekali mendengar suara keduanya. As, jika aku tak paham akan diriku sendiri bagaimana? Apa aku harus seperti genre romantis dalam sebuah novel? Membiarkan diriku larut melihat semua mulai dari cinta hingga di luar itu?" Asiah mendengar dan beberapa ia paham.

"Mereka sayang kamu Bert!" Asiah terlintas ucapan Kak Deni. "Sayang mereka besar, hati mereka untukmu!" Asiah mengganti kertas kosong dan menulisnya. Sayang, Asiah juga harus menyayangi dirinya sendiri. Asiah juga tak mau terjebak dalam keburukan. Rabert, ia menidurkan kepalanya di meja tamu. Asiah mengerti, ia melihat Rabert lelah.

Asiah tersadar akan sesuatu, baris terakhirnya ia taruh di tumpukkan kertas karyanya. Ia menyentuh kening Rabert. Rabert demam. Asiah menidurkan Rabert di sofa panjang dan mengambil air dan lap untuk mengompres kawannya.

"Iya Ma!" Asiah menerima panggilan telepon dengan pengeras suara. "Oh, iya hati-hati Ma!" panggilan terputus. Orangtuanya akan pulang dan Rabert masih disini. Demamnya belum turun. Ia belum tahu nomor telepon orangtua kawannya. "Bert, bangun!" guncang Asiah melihat Rabert tak sadarkan diri.

Asiah membiarkan lap itu di kening Rabert dan terus menulis puisi sambil ditemani Arqa. Hingga malam tiba, orangtua Asiah datang. Asiah berkata bahwa temannya ke rumah untuk mengerjakan tugas dari Ibu Witha namun ia demam dan belum sadarkan diri.

"Ayah telepon orangtua temanmu dulu. Namanya siapa?" , "Rabert, Yah!" ayah langsung menelepon dan orangtua Rabert akan datang. "Astaghfirullahal azim, demamnya belum turun." tak lama kedua orangtua Rabert datang. Ucapan terima kasih disampaikan dan Rabert bersama keluarganya pulang. Asiah memutuskan untuk menyimpan tumpukkan puisi Rabert bersama di tempat terpisah.

KATEGORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang