BAB 4

0 0 0
                                    

Foto itu terus dipandang Kak Azsar usai pulang dari rumah Asiah. Waktu menunjukkan pkl.23.40. Menurutnya, ia masih ingin bersama Asiah karena Asiah adalah saudara sepupu pertama yang ia kenal sekaligus ada rasa nyaman bersamanya. "Aku harus bagaimana?" lirih Kak Azsar. Bunga itu terpilih untuk dibawa pulang seorang pria dengan keadaan yang sudah membaik.

"Beri saja!" ya, mungkin ini sebagian teguh Kak Azsar dan harus dilaksanakan. Pria itu mengiangkan suara Asiah untuk terus meneguhkan hatinya. Kedua orangtuanya sibuk berbicara. "Di hadapanku apa?" tanya Kak Azsar. "Aku belum pernah berinteraksi seperti itu padanya." batin Kak Azsar. Pria berambut klimis itu memilih berbaring dan tidur di mobil.

"Hah, di taman? Terima kasih, Fa!" bahagia Kak Azsar dan panggilan telepon terputus. Bunga itu masih ada di atas laci yang berada di samping tempat tidur Kak Azsar. Ia mandi dan berpakaian serta merapikan membuat ia berbeda.

Hazfa, perempuan itu kini berada di hadapannya. Dengan lugu ia memberi kuntum bunga anggrek itu padanya. Hazfa menerima dan mereka duduk di bangku panjang. Harapan Kak Azsar adalah bisa mengobrol seputar pemandangan taman. Namun pupus karena Hazfa bertanya tentang tugas.

Suasana taman saat itu ramai dan Kak Azsar sangat suka keramaian. Hazfa telah dijelaskan oleh sosok tersebut namun sosok itu terkejut karena perempuan yang ia cinta memandangnya. "Fa!" Hazfa langsung menunduk. Kak Azsar langsung membulatkan jawaban untuk memperjelas yang ia jawab.

"Fa, udara hari ini segar!" Kak Azsar membuka obrolan. Hazfa hanya diam dan memandang seperti tak ada orang di hadapannya. "Baru kali ini aku keluar untuk menyaksikan pemandangan bagus ditambah banyak orang!".

"Hazfa, suasananya beda dari di sekolah." Hazfa kembali memandang pria tersebut. Pria yang dikenal Hazfa adalah sosok tenang dan memahami teman. Namun satu, pria itu mau membuka apa yang ia lihat pada seorang Hazfa, Hazfa bahkan tak menyangka kini harus duduk di rerumputan membiarkan buku tugas menjadi raja.

"Fa, aku beli es krim dulu!" Kak Azsar meninggalkan Hazfa. Hazfa merasakan bahwa bunga itu sedang dipegang olehnya. Apalagi yang memberinya adalah sosok yang sekarang perhatian baginya. Oh, perempuan berkulit putih juga menyukai bunga anggrek dan ia senang diberi bunga tersebut.

Selama tidak ada sosok pria tadi, ada satu rasa yaitu sepi. Ya, hanya sepi di sebelah saja. Menunggu datangnya Kak Azsar adalah sesuatu yang menghibur. "Nah!" Kak Azsar memberi cone es krim alpukat tepat di depan wajah Hazfa. Kak Azsar duduk di sebelah Hazfa dan menyantap cone es krim biskuit dan krim.

"Hahaha, lucu Sar!" perempuan itu memakan es krim alpukat. Suasana makin ramai namun tak meluruhkan perasaan terlena mereka. Duduk di rerumputan adalah perasaan yang nyaman.

"Eh, terus, kita ubah jadi banyak puisi bagaimana?" heran Asiah pada kawan di kelas, Rabert. Rabert yang duduk di pojok tempat Tiara dahulu duduk. Mereka berkelompok untuk menyelesaikan tugas yang tergolong sederhana.

"Aku sudah dapat beberapa bait dilihat dari cerita-cerita yang diberi Ibu Witha!" jawab Rabert. "Aku aneh bila harus menuangkan isinya!". Tadi Rabert datang pkl.08.00 dan Arqa mengawasi dari jauh.

Rabert sibuk menulis ke dalam lembar kertas kosong dan Asiah sibuk membolak-balik buku cerita yang diberi Ibu Witha. Asiah tanpa sadar sudah menulis cepat menjadi satu puisi kemudian ke puisi kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya.

"Angkat Bert!" seru Asiah namun Rabert menggeleng. "Tidak penting, mungkin disuruh ganti baju. Tidak mau Rabert gerah!" dup! itu siapa?

Asiah penasaran namun ia tetap menulis puisi demi puisi dan Rabert sedikit lelah dengan tugas yang diberikan. Ia memilih untuk bermain game karena ia rasa semua sudah selesai. "As, kamu sudah baca majalah yang ada karya Kak Deni?".

"Kamu tahu darimana Kak Deni?" , "Dari pertama kali aku lihat." Rabert setia memosisikan diri membelakangi meja ruang tamu dan bermain game di ponsel pintar. "Aku tidak membaca majalah Bert!" , "Eh, di depan komplek rumahmu ada pedagang kaki lima yang jual majalah dan ada majalah anak terbitan terbaru. Baca ya!" Asiah diam. Namun terkejut karena kawannya keluar dari rumah sembari berteriak aku akan kembali. Asiah menyelesaikan baris akhirnya dan menaruh kepalanya di sofa.

Dua menit kemudian, Rabert kembali membawa 1 majalah anak untuk Asiah. "Eh, aku tidak membaca majalah ini. Kenapa dibeli?" , "Buat kamu As!".

"As, majalahnya bagus dan kita sebagai murid di sekolah harus tahu pengetahuan. Majalah ini berisi pengetahuan dan karakter kita serta cocok juga untuk kita." Asiah mengangguk. "Puisinya sudah selesai!" , "Kamu bawa pulang yang mana?".

"Ada berapa puisi yang selesai?" tanya Arqa pada Asiah. "Banyak Ar dan aku sudah bagi dua dengan Rabert!".

"Oh ya, kata Kak Deni, cerita demi cerita yang dibuat dan dikirim membuat ia tahu akan cinta dan mungkin sayang." Arqa melongo, itu istimewa. Perempuan berambut sebahu membuka majalah dan di halaman cerita pendek, ia menemukan karya Kak Deni.

Cerita yang tersirat akan cinta. Cinta yang diajarkan untuk mengetahui teman. Rasa sakit teman dan berakhir dengan persahabatan. Apa ini sebuah alasan? Apa cinta harus tersusun seperti itu?

"Wa'alaikumussalam Ra!" Asiah mendapat telepon dari Tiara. "As, kenapa kakak itu jadi menghampiri rumahku?" Asiah melongo. Kami masih kelas 1 SD, masalah ini tak harus dihadapi. "Ia memberi isyarat harus memegang kuntum mawar itu atau dijatuhkan untuk diinjak?" , "Kamu paham yang akan dilakukan selanjutnya?" , "Mana ku tahu?".

"As, aku rasanya mau tidur!" , "Ya sudah tidur!" panggilan terputus. Asiah terkejut bukan main. Keadaan Tiara bagaimana di rumah? Ia melihat dari sisi mana?

"Sudah lelah tambah lelah!" celetuk Arqa dan Asiah menatap penuh sosok yang masih membuatnya aneh untuk menanyakan lebih lanjut. Asiah memilih untuk menutup mata dan Arqa duduk di sofa memilih untuk menunduk.

KATEGORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang